Share

6. Tak Ada Harapan

Tiga orang itu saling melirik satu sama lain. Suasananya berubah kaku, Luna beberapa kali diam-diam menarik ujung seragam Opet disampingnya, bermaksud meminta bantuan. Wajahnya mulai terlihat gelisah, tapi entah kenapa Opet sama sekali tidak menyadarinya. Sejatinya Opet juga bingung harus berbuat apa, apalagi mendapat tatapan intens dari Pak Juan seperti ini.

Rasanya seperti tengah diintrogasi guna mendapat izin dari mertua. 

"Jika sekali dua kali setidaknya masih bisa saya toleransi."

Opet meneguk ludahnya sendiri, sebelumnya ia juga sudah menduga hal ini akan terjadi. Ditatapnya Pak Juan setenang mungkin.

"Tapi jika terus-terusan seperti ini, artinya semua nilai-nilai kamu itu tidak murni, Aluna." Pria berkaca mata itu lantas menatap Luna prihatin.

"Tapi saya yang kerjain kok pak," sambar Luna dengan nada memelas.

Pak Juan mengernyit bingung, tak yakin dengan pernyataan Luna barusan. "Jadi yang benar, kamu yang kerjain apa Rio yang kerjain?!" tanyanya mulai jengkel.

Keduanya berjengit kaget saat pria dihadapan mereka menaikan nada suaranya. Pria yang dikenal punya humor tinggi saat mengajar dikelas itu kini terlihat mengerikan yang mampu membuatnya keduanya bergidik takut.

Opet menoleh, melempar tatapannya pada Luna seolah memberi gadis itu isyarat untuk menjawab pertanyaan Pak Juan seadanya. Intinya, ia pasrah. 

"Dua-duanya deh pak," jawab Luna akhirnya. Pak Juan membenarkan letak kaca matanya, membingungkan.

Lantas setelahnya ia menatap Opet yang sejak tadi hanya duduk menyimak. "Rio, saya tau kamu ini sahabat terdekatnya Luna dan kamu salah satu murid teladan disekolah ini. Tapi jika kamu bersikap seperti ini terus pada Luna, kemungkinan Luna sekolah gak bakal dapat apa-apa." Pak Juan menghela nafas sejenak. "Jadi, bisa kan kamu bantu dorong Luna buat belajar, bukannya kamu yang malah mengerjakan tugas Luna. Lagian bukannya kelas kalian ini berbeda?"

Si empu yang terkait pembicaraan malah menguap lebar, melirik Opet lewat ekor matanya. Sungguh tak tahu diri, gerutu Opet dalam hatinya.

"Luna belajar juga gak bakal pinter-pinter, Pak," cicit Opet.

Brakkk...

Pak Juan dan Opet sontak berjengit kaget saat tiba-tiba Luna menggeplak meja dengan buku yang diambilnya asal entah dari mana. 

"Yahh... semutnya mati," gumam gadis itu tanpa dosa seraya menatap nanar seekor semut yang sudah tak bernyawa. Opet meringis, sementara Pak Juan hanya menatap datar.

💤💤💤

"Gue pinter kok. Cuman dalam hal lain yang gak orang lain ketahui." Bibirnya maju 5 senti selepas keluar dari ruangan kantor guru bersamaan dengan berbunyinya bel istirahat. Waktu kosongnya terbuang sia-sia, pikir Luna.

"Contohnya?" tanya Opet berharap jawaban Luna kali ini tak membuatnya ingin menepuk jidat. Bahkan detik ini saja Opet masih jengkel dengan kelakuan Luna barusan.

"Merangkai mimpi yang indah." Entah Opet harus ngakak atau bagaimana, tapi melihat bagaimana Luna mengatakannya dengan ekpresi seolah putus asa membuatnya terlihat menyebalkan.

Sudahlah, Luna memang terlalu sulit untuk dipahami. Beruntung hanya satu yang sepertinya didunia ini.

"Molor terus!" gadis itu mendengus kesal, kini rambutnya berantakan oleh ulah Opet.

"Itu kebutuhan, memangnya lo gak butuh molor?"

"Gue molor ya seperlunya. Gak kayak lo, molor terus gak bakal dapet apa-apa."

Luna tertegun, entah kenapa kalimat Opet berusan berhasil menyentil hatinya. Bukankah maksud Opet ia tidak berguna? Baiklah, Luna seharusnya bersikap seperti biasanya yang tak peduli terhadap perkataan orang lain. Tapi untuk kali ini, Luna tak bisa menerimanya. Terlebih kata-kata itu keluar dari mulut seseorang terdekatnya yang harusnya bisa mengenal Luna dengan baik.

Ia mengedarkan pandangannya pada siswa-siswi yang berlalu lalang dilorong sekolah dengan segala kegiatannya. 

Gadis itu menatap Opet sekilas sembari menghela nafas panjang, menghembuskannya kasar. "BUAT LO! LO! LO SEMUA!"

Opet melotot saat Luna berteriak dan menunjuk secara acak siswa-siswi disepanjang koridor tiba-tiba tanpa alasan. 

"DENGERIN UCAPAN GUE BAIK-BAIK YA! LIAT AJA! GUE MUNGKIN PEMALAS! TAPI GUE GAK SEBODOH YANG KALIAN KIRA!"

"GUE BISA PINTER! GUE BAKAL TUNJUKIN KE KALIAN KALO GUE INI GAK BISA DIREMEHIN... Mmphh!!!"

"Lo malah keliatan kayak orang gila kalo kayak gini caranya." Opet membekap mulut Luna, menyeretnya menghindari segala tatapan berbeda-beda makna yang mengarah padanya.

Gadis itu meronta, menghempaskan tangan Opet kasar. "Kenapa gue harus peduli?" sinisnya.

Opet merotasikan bola matanya. "Jelas, selain keliatan kayak orang gila dan bodoh lo kayak gak punya harga diri tahu gak?"

"Gue-" Luna tak melanjutkan perkataannya, gadis itu memilih melenggang berlalu meninggalkan Opet yang terpaku saat menyadari kata-katanya yang diduga melukai perasaan Luna. Apa ia kelewatan?

Dengan langkah seribu, ia mengejar Luna, mensejajarkan dirinya kembali dengan gadis itu yang kini tampak engan menatapnya. Seketika perasaan bersalah menyusup masuk diantara relung hatinya.

"Maaf, gue gak bermaksud ngomong kayak gitu," tutur Opet pelan.

Gadis itu tak menggubrisnya, tetap melangkah dengan pandangan lurus ke depan. Opet berdecak, laki-laki itu mulai uring-uringan tak jelas.

"Lun, maafin gue. Gue gak bisa didiemin sama lo kayak gini."

Luna lantas menoleh setelahnya, menampilkan senyuman termanisnya. Opet bahkan masih tak menyangka Luna bisa kembali dalam mood baiknya dalam hitungan menit.

"Gue tau, gue harusnya sadar. Gue bakal lebih berusaha buat belajar dan buktiin sama lo kalo gue bisa jadi lebih baik." 

Opet melotot, kali ini tak percaya dengan penuturan Luna barusan. Ah, gadis itu memang sulit ditebak. Tapi setidaknya ia bersyukur, Luna tak marah padanya. Beberapa menit yang lalu adalah hal yang membuat jantung Opet rasanya berdetak dua kali lebih cepat tanpa sebab, ia takut.

"Lo gak marah sama gue, kan?"

"Jongkok!" Suruh Luna, bukannya menjawab.

"Mau ngapain?" dahi laki-laki itu mengernyit heran.

"Gue bakal jadi orang pinter, gue bakal belajar abis ini," ungkapnya. Opet masih tak mengerti dengan perubahan mood gadis itu sebelum akhirnya menurut begitu saja, mengantisipasi agar Luna tidak bertindak anarkis. 

"Terus apa hubungannya lo nyuruh gue jongkok?"

"Gue capek teriak-teriak. Ke kantin yuk, beliin gue minum, haus!" Detik berikutnya Luna sudah melompat kepunggung Opet, memeluk lehernya nyaman, setengah menyekik sepertinya. Ya, sepertinya Luna menyimpan dendam. Dan Opet hanya bisa pasrah kala Luna melempar senyuman smirk tanpa dosa.

Laki-laki itu bangkit setengah oleng dengan wajah memprihatinkan. "Lo emang udah gak ada harapan Lun," lirih Opet. 

Sementara orang-orang disekitar yang menyaksikan adegan itu mengelang tak heran. Sedikit iri dengan hubungan keduanya, tapi terlepas dari itu ada hal lain yang tak pernah orang lain duga diantara Opet dan Luna kedepannya.

To Be Continue...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status