Share

Bab 2

Aku memandangnya tak berkedip. Anak berambut agak ikal dan bertubuh sedikit agak kecil dariku ini, rupanya cerdas juga. Bahasanya sungguh berkelas, siapa dia, bisik hati kecilku.

“Hoya, namamu siapa? Kalau aku, Enda,” tanyaku setengah ragu-ragu. Aku takut dia hanya basa-basi, sok ramah padaku. Atau, hanya karena dia juga punya perasaan tak suka pada sifat dan kelakuan Benhart yang angkuh itu. Aku tak tahu, apa dia mau berteman denganku. Tapi…dugaanku ternyata salah. Aku jadi malu sendiri. Anak ini seperti membaca keraguan hatiku, makanya dia tersenyum padaku. Lagi-lagi aku mendapat pelajaran, ternyata jadi orang itu tak boleh su’uzon. Su’uzon atau berburuk sangka pada orang lain dapat mempersempit dunia. Aku pun jadi tak ragu lagi sodorkan tangan untuk berkenalan, setelah telapak tangan kananku kugosok-gosokkan ke celanaku.

“Yan Utama Nasution… Panggil aja aku, Yan,” sambutnya dengan hangat. “Kau Enda mau lihat hasil Test masuk juga, kan?”

Wooow! Dengar ucapan Yan Utama Nst begitu mantap, bersahabat, membuatku ketularan semangat. Lalu, aku pun mengangguk, sambil tersenyum. Hatiku senang sekali dapat teman baru yang cerdas dan berbudi ini. Dari namanya saja sudah ketahuan dia keturunan orang Tapanuli Selatan atau Mandailing, berbeda denganku yang keturunan Jawa dan sudah dua generasi di tanah Deli ini. Kami sama-sama pendatang di tanah Deli ini. Namun perbedaannya, kalau Yan Utama Nasution ini memang keturunan orang yang suka merantau, suka tantangan untuk mencari penghidupan yang lebih baik dengan menggunakan kekuatan otak. Sementara, keluargaku terdampar di tanah Deli dari tanah Jawa akibat tipu daya kolonial dengan sistem kuli-kontraknya. Orang menyebutnya keturunan jawa kontrak atau “Jakon”.

Semangat persahabatan yang diperlihatkan Yan Utama Nasution membuat kami cepat akrab. Lalu kami pun berjalan beriring menuju tempat pengumuman hasil test masuk SMP 9 itu. Aku jadi tertegun, kulihat orang-orang sudah pada tak sabar, rela berjubel-jubel, bahkan terjadi saling sikut dan dorong berebut tempat untuk melihat nama yang diterima masuk di SMP 9 ini di depan papan pengumuman yang terpampang di depan kantor TU itu. Ciri masyarakat bawah yang selalu tak sabar, suka berebut tempat.

Memang sungguh ironi, sekolah SMP 9 yang terletak di Pulo Brayan Medan ini masih sangat sederhana, lihat saja bangunannya sebahagian masih berdinding papan dan beratapkan seng, namun yang berebut ingin menggantungkan harapan merajut mimpi berjubel hampir duaribu tiga ratus orang. Sementara, daya tampung sekolah ini sebenarnya sangat terbatas, namun memaksakan diri menampung sembilan rombel (rombongan belajar) alias kelas. Wow! Coba bayangkan, pada waktu itu setiap rombel terdiri lebih dari 60 siswa, begitu penuh-sesaknya kelas. Itu pun hanya mampu menampung seperempat jumlah peserta yang berebut masuk ke SMP 9. Namun, alasan utama orang berbondong-bondong berebut masuk SMP 9 karena berbiaya murah dan masih dapat terjangkau oleh masyarakat bawah.

Tiba-tiba terjadi keributan kecil di tengah-tengah kerumunan orang di depan papan pengumuman, ketika pengawal pribadi Benhart memaksa, menghalau kerumunan dengan menghardik.

“Minggir…minggirrr!” teriaknya dengan garang, sambil menepuk bahu orang yang menghalangi langkahnya, lalu mendorong dengan kasar hingga sempoyongan orang yang menghalanginya itu, matanya pun melotot-mencorong memandang setiap orang yang menghalangi jalannya. Ternyata, tak ada yang berani menentangnya. Apalagi, beradu mata. Terutama para orangtua yang tahu siapa sebenarnya si tukang pukul yang bernama “Ronggur Sang Penakluk” centeng di Perkebunan tempat mereka menggantungkan hidup. Mereka tak mau berurusan dengan si centeng yang terkenal tak punya perikemanusiaan itu, maka buru-buru ditariknya anaknya untuk mencari aman. Mereka pada mengkeret, begitu tahu tukang pukul yang tinggi besar, berotot, galak dan beringas itu melangkah maju. Mereka pun menyibakkan diri beri jalan pada si tukang pukul itu. Sementara, Benhart dengan senyum jumawanya jalan di belakang si tukang pukul, sambil mempermainkan tongkat kecilnya.

Ratusan, bahkan mendekati seribu pasang-mata tertuju pada Benhart yang angkuh itu dengan diliputi berbagai macam keluhan, seperti perasaan jengkel, benci, iri dan gentar. Bahkan, tidak sedikit yang berharap Benhart tidak diterima di SMP 9 ini. Mereka takut, jika Benhart diterima di SMP 9 ini sudah terbayang dia bakal jadi biang kerok masalah atau biang keributan yang dapat menyulitkan mereka. Mereka pun sudah membayangkan tidak akan dapat belajar dengan tenang.

Sementara, Benhart tak peduli. Dia gunakan tongkatnya perlahan-lahan untuk memperhatikan deretan nama yang terpampang di papan pengumuman itu. Tak perlu waktu lama, senyum angkuh Benhart menghiasi wajahnya, setelah dia berhasil menemukan namanya terpampang di deretan kolom kedua, baris ketiga. Senyum Benhart bagai duri menyusuk ulu hati, berarti derita oleh banyak orang.

“Yesss!” Tiba-tiba, Benhart berteriak kegirangan dan berakrobat dengan melemparkan tongkatnya ke udara dan menangkapnya kembali pakai tangan kiri dan membalikkan tubuhnya. Disapunya seluruh wajah di sekelilingnya, sambil membusungkan dada menyombongkan diri. Lalu menyentilkan ujung jari jempol tangan kanannya pada ujung hidungnya dan menyunggingkan senyum jumawanya.

Ach!

Desah cemas terdengar lirih di antara kerumunan yang lihat tingkah pola kegirangan Benhart. Mereka tak habis pikir, mengapa seorang Benhart mau memilih sekolah rakyat ini untuk menempuh jenjang studinya. Bukankah ada sekolah elit di Kota Medan yang biasa dipilih oleh kaum borjuis seperti dia? Berbagai kecurigaan pun muncul di kepala mereka. Terror yang cukup kental di benak mereka adalah kecurigaan atau su’uzon, jangan-jangan kehadiran Benhart memang sengaja untuk membuat mereka tak mudah mengenyam pendidikan agar mereka tak betah sekolah. Putus sekolah jadi kuli?! Perkebunan butuh kuli. Yaaah…! mereka keturunan kuli tetap jadi kuli. 

“Benharttt!” teriak seseorang yang sebayanya dan memiliki tubuh tinggi kurus, wajah lancip, berkulit kuning langsat, berbaju liris-liris tangan pendek dan bercelana ponggol bertali melingkar bahunya dengan girangnya, setelah dia berhasil menyeruak kerumunan yang mengelilingi Benhart. Dirinya diikuti seseorang yang sebaya juga dengannya. Tapi yang satu ini sebaliknya, anak ini gemuk pendek dan selalu menebar senyum-menyeringai.

“Hai Liem Bok, Bogeld!” balas teriak Benhart. Benhart begitu gembira lihat dua sahabatnya muncul. “Bagaimana kalian juga lulus?!”

“Ya, iyalah!” jawab Liem Bok dan Bogeld bareng. Mereka pun saling berpelukan melampiaskan kegembiraan mereka. Tak lama kemudian, mereka melepas temu-kangen hingga terlibat obrolan yang mengasyikan, sambil duduk di bangku panjang di bawah satu dari dua pohon Swietenia mahagoni yang ada di halaman sekolah yang telah berusia lebih 50 tahunan, kali. Wajarlah, kalau lingkar batang pohon Swietenia mahagoni ini mencapai lebih satu meter dan berdaun rindang meneduhi halaman sekolah.

Sementara, aku menyaksikan pemandangan kontras yang sempat menyiutkan hatiku juga di saat Benhart meneriakkan kegembiraannya karena diterima masuk di SMP 9 ini.  Kulihat di salah satu bangku panjang di depan kelas yang di pojok terdapat seorang anak perempuan duduk menangis sesenggukan, sambil menutupi wajahnya dengan saputangan bermotif sulaman kembang-kembang. Di sampingnya duduk seorang ibu berbaju lusuh kain belacu, ciri khas buruh petik daun duit alias Tobacco di perkebunan PTP IX yang sedang mengeluh, memiris hati. Wajah ibu yang penuh dengan guratan derita itu kelihatan bertambah kelam oleh jeritan hati yang nelangsa yang sedang menggelayuti hatinya. Jadinya, rasa ingin tahuku pun semakin besar, hingga aku pun mendekat, ingin tahu.

Ah! Aku terperanjat, gadis manis itu kan Sundari, temanku sekelas di SD 120. Bahkan, rumah Sundari ini tadinya tak begitu jauh dari rumahku di Pasar 11. Namun kini, rumah Sundari sudah dipindahkan oleh pihak perkebunan entah ke mana. Dulu, kakek Sundari ini dan kakekku telah berikrar jadi saudara senasib sepenanggungan. Maklumlah, pembentukan ikatan saudara ini biasa terjadi di kalangan para kuli-kontrak karena adanya perasaan senasib-sepenanggungan, tanpa sanak-saudara dan sekapal yang dibawa Belanda dari tanah Jawa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status