Share

Bab 6

Sementara, aku jadi keki sekali lihat kekonyolan teman-teman baruku ini. Ada-ada saja mereka, membuat wajahku jadi merah-padam. Namun, walau begitu aku harus tetap berusaha untuk tersenyum, mengatasi tekanan olok-olokan teman-teman baruku ini. Walau itu senyum kecut sekalipun. Biarlah, tiada guna aku berbantah-bantahan soal ini, malah bisa saja aku semakin terpojok nantinya. Aku memilih diam. Mungkin ini resep mujarab mengatasi tekanan olokan teman-temanku ini, membiarkan mereka berceloteh, menghamburkan rasa riang-gembira. Tak ada salahnya aku larut dan masuk dalam kekonyolan ini. Toh, tanpa menampilkan tindakan reaktif, malah ada keuntungannya bagiku, yaitu akan mendapatkan jantung teman-temanku, semakin dekat aku dengan teman-teman baruku ini, bisik hati kecilku.

“Kasihan amat kau Enda jadi bahan olok-olokan.”

Ah! Tapi itu kan hal biasa. Olok-olokan jamak terjadi dalam dinamika kehidupan manusia. Mengapa musti heran?! Mengapa musti harus kebakaran jenggot kalau pas kebetulan jadi korban olok-olokan? Cetek sekali mentalnya kalau sampai turut kebakaran, habislah sudah. (cetek itu artinya dangkal atau tipis). Padahal, orang memancing olok-olokan tak lain hanya ingin menciptakan kekonyolan sebagai objek permainan jiwa untuk melepas rasa haus dahaga alam kejenakaan. Semakin tersudut korban, semakin mengasyikkan dinamika kejenakaan dan kenikmatanlah yang menjadi muara. Kali ini memang lagi apes, Enda Kiebo giliran jadi korban objeknya Indra Kesuma dan Suheng.

“Tenang kawan! Cerita ini bermula, dari negeri dongeng SD 120,” Indra Kesuma pun mendayu-dayu berkisah dengan suara diafragmanya yang berat, sembari menggerakkan kedua tangannya, mempermainkan melodi perhatian penonton. Penonton pun menahan nafas, sambil melekatkan sorot mata tak lekang pada mimik wajah Indra Kesuma. “Kebetulan aku kenal guru Erika Purnama Panjaitan. Konon dia berkata, kini telah lahir SANG PEMIMPI BESAR yang akan mengubah negeri paradoks di ranah Deli. Tiada yang memungkiri ranah Deli kesohor makmur di dunia. Namunnn…”  Penonton semakin gemas lihat penampilan Indra Kesuma yang lebih gokill dari Peni Rose dalam membawakan acara infotainment “Silet”. Coba bayangkan kala itu gaya penyat-penyot wajah Indra Kesuma itu, laksana pembadut mempermainkan alunan melodi perasaan penonton. “…siapa sangka di balik kemakmuran ini menebar kantong-kantong ke-mis-kin-nan… Ini realistis kawannn! Gubuk-gubuk reot be-te-baran di selah-selah kemilaunya daun-duit itu kawan. Apa ini bukan merupakan bukti, kawan? Ke-mis-kin-nan itu ada di depan mata kita, kawannn!  Namun, siapa yang peduli ‘tuk gali akar penyebab kemiskinan itu kawan, kalau bukan SANG PEMIMPI BESAR?!”  Setelah mengatur ritme tempo dramatisir, lalu Indra Kesuma menjatuhkan matanya padaku, sambil menunjuk, “Dialah Enda Kiebo…Sang Pemimpi Besar itu, kawannn…”

Lantas, aku sambut banyolan Indra Kesuma tersebut dengan senyum kuda, hingga membuat suasana jadi tambah gemuruh.

“Huh, utopia!” lenguh Bogeld dari balik kerumunan, sambil berlalu.

“Wahai kawannn! Janganlah kau remehkan SANG PEMIMPI BESAR kami. Dia udah punya TEKAD and CARA untuk hapus VIRUS MENTAL KULI yang jadi akar masalah dan yang bersemayam di hati kalian. Inilah kisah dari negeri dongeng, kawannn…” sahut Indra Kesuma dengan bergaya mengakhiri tonil banyolannya.

“Huiii, ngaco kaliii!” koar cemoohan penonton berkumandang nyaring, sembari menjungkirkan acungan jempol ke bawah dan menjungkit-jungkitkan pinggulnya, laksana dikomando saja tuh anak-anak menciptakan gaya parodi khas anak SMP 9.

Indra Kesuma pun tak mau kalah bergaya, langsung cengengesan dan menampilkan gaya pantomim, laksana Septian Dwi Cahyo melakonkan orang yang tiba-tiba menahan sesak buang air kecil dengan mengapitkan kedua pahanya, sembari celingukan kesana-kemari dan beringsut-ingsut menyambut reaksi cemoohan anak-anak lainnya itu. Tentu anak-anak lainnya itu jadi keki juga lihat ulah Indra Kesuma dan langsung membubarkan diri, sambil mencemooh.

“Huuuh!”

 Sebaliknya, Suheng, Yan Utama, Julbrito, Ratna Sari, Arif Budiman, Zainab Maria dan Elfi Zahara malah terbahak-bahak lihat kekonyolan Indra Kesuma. Bahkan, Zainab Maria dan Elfi Zahara sampai menahan sakit perutnya, saking gelinya.

Sementara itu, Liem Bok dan Bogeld sibuk wara-wiri menyusuri halaman maupun koridor sekolah cari keberadaan Benhart yang tak tahu di mana juntrungannya. Mereka sudah melongok di kelas Satu E tempat mereka ditempatkan. Bahkan, mereka sudah melacak pada setiap kelas Satu, namun Benhart tak kelihatan batang hidungnya juga. Di sela-sela deru nafas yang memburu, tersirat roman kecewa menghiasi wajah keduanya. Alhasil, mereka berdua terduduk lesu di bangku panjang depan kelas Satu E.

“Di mana sih Benhart ini,” gerutu Liem Bok terbata-bata. “Apa dia belum datang? Padahal sebentar lagi kan lonceng masuk.”

“Manalah aku tau,” sahut Bogeld tak kalah kesalnya.

Sesaat kemudian, mereka berdua terdiam dan larut dalam alam maya masing-masing. Mungkin kalau zaman kini, tidak perlu bingung mencari seseorang karena zaman Hp. Orang mudah dihubungi sebab hampir semua orang sudah memilikinya, tidak kecuali anak pelajar pun sudah pada demam genggam Hp. Namun ini terjadi di akhir tahun 70-an, zamannya HT (Handy Talky). Namun, orang yang memiliki HT dapat dihitung dengan jari, sangat sedikit sekali, sebab untuk memilikinya bukanlah perkara yang mudah, harus ada izin khusus.

Liem Bok dan Bogeld tak menyadari, Benhart yang mereka cari sebenarnya lagi asyik seorang diri menikmati nikmatnya makan pisang goreng pedas, tahu isi dan teh manis dingin, suguhan khas kantin sekolah SMP 9 masa itu. Wajarlah, kalau Liem Bok dan Bogeld tidak menemukan Benhart, sebab lokasi kantin sekolah ini terletak di belakang lokal kelas Tiga, sehingga tak kelihatan dari halaman sekolah. Untuk masuk ke sana harus melalui lorong yang terdapat di antara lokal kelas Tiga di sisi Timur. Mungkin saja mereka belum tahu keberadaan kantin sekolah ini, maklum ini hari pertama mereka bersekolah di SMP 9.

Tak lama berselang, lonceng pertanda masuk sekolah berbunyi nyaring. Terlihat, para siswa pun menyambut bunyi lonceng dengan gembira, lalu membentuk barisan di depan kelasnya masing-masing. Benhart pun segera menghabiskan teh manis dinginnya dan lalu bergegas tinggalkan kantin sekolah menuju barisan kelasnya, di kelas Satu E.

“Darimana saja si kau Ben?” tegur Bogeld, begitu dia lihat Benhart memasuki barisan di sebelahnya. Kebetulan mereka berada di barisan kelas Satu E paling belakang. “Capek kami cari kau, tau!”

Benhart bukannya menjawab, malah dia mesam-mesem, sambil mempermainkan matanya.

“Payah kau!” gerutu Bogeld.

“Tenanglah kawan. Santai aja,” sergah Benhart ringan. “Aku tadi di kantin. Biasalah ingin tau bagaimana suguhan kantin baru kita.”

“Makan saja yang kau pikirkan Ben!” timpal Liem Bok terbata-bata.

“Itulah yang penting. Biar aku gak gagap kayak kau itu!”

Wajah Liem Bok sempat semburat merah, ulu hatinya langsung nyeri ditohok Benhart. Namun, Liem Bok hanya bisa tersenyum masam. Dia tak mungkin marah pada Benhart. Konyol itu artinya. Bisa celaka dua belas dirinya. Bahkan, seluruh keluarganya bisa binasa, kalau dia bermain-main dengan Benhart. Apalagi sempat menyakiti hatinya. Sebab, keluarganya sangat tergantung pada orangtua Benhart. Terutama ayahnya, sebagai Administrator di perkebunan Sampali itu yang menentukan hidup matinya roda ekonomi keluarganya. Maklumlah urat-nadi perekonomian keluarganya sebagai penyalur utama kebutuhan logistik di perkebunan Sampali.

Teringat akan hal itu, makanya Liem Bok berusaha membaiki Benhart. Apa namanya itu cari muka atau menjilat, entahlah. Tapi ach, persetan apapun namanya itu, masa bodoh! Jeritan dari bilik hatinya yang lain. Makanya, dia pun menebalkan mukanya.

 “Ben, ada kabar gak sedap nih,” bisik Liem Bok.

Benhart langsung tertarik, makanya dia setengah menoleh, ingin dengar lebih lanjut omongan Liem Bok.

“Apa itu?”

“Kau tau kan anak kuli yang kita kerjai kemarin itu?!”

“Iya, kenapa rupanya?”

“Dia ternyata sekolah di sini sekarang. Di kelas Satu A lagi.”

“Apa?” Benhart terperanjat, secara refleks dia menarik baju Liem Bok dengan kasar. “Mungkin kalian salah lihat, kali!”

“Benar Ben,” tandas Bogeld tak mau ketinggalan untuk meyakinkan Benhart. “Kami gak salah lihat. Kalau gak salah mereka tadi nyebut namanya, Enda Kiebo.”

“Iya Ben, mereka tadi malah menjuluki dia, Sang Pemimpi Besar gitu,” sambung Liem Bok.

Benhart terdiam. Hati kecilnya merasa tak senang dia satu sekolahan dengan anak kuli yang satu ini. Walau kenyataannya anak yang sekolah di SMP 9 ini sebahagian besar dapat dikategorikan anak kuli. Namun entah mengapa Benhart merasa tak srek dengan anak kuli yang bernama Enda Kiebo ini.

“Ben, kurasa di sini ada kecurangan,” ucap Bogeld curiga.

Plokkk!

Tiba-tiba Benhart mengemplang kepala Bogeld.

“Bodoh!”

Bogeld terperangah, kayak orang dungu. Dia tidak habis pikir, kenapa Benhart malah menggaplok kepalanya, sambil memaki. Apa yang salah dengan ucapannya, pikirnya.

“Hei! Orang miskin kayak dia itu, mau curang gimana? Mau nyogok pakai apa dia, heh?! Mikir!”

Bogeld jadi nyengir, sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal itu.

“Tapi, bukankah kemarin anak kuli itu meratap gak lulus?! Sekarang mengapa tiba-tiba anak kuli itu muncul, bahkan di kelas Satu A lagi?” Bogeld masih berkilah.

“Iya Ben. Kita gak boleh tinggal diam. Kita harus protes ama Kepala Sekolah,” timpal Liem Bok.

Benhart malah mendelik, memelototi Liem Bok. Dia tentu tidak setuju dengan ide konyol Liem Bok. Ide konyol Liem Bok ini bisa buat dia benar-benar jadi konyol, rahasia besar dirinyapun bisa saja terbongkar, bisik hati kecilnya. Belum lagi kalau dia bayangkan, jika kecurigaan teman-temannya ini tidak terbukti. Wow! Sulit dia bayangkan kemarahan kepala sekolah padanya, karena dituduh telah menyalahgunakan jabatannya. Benhart menggeretakkan giginya. Sementara, Liem Bok dan Bogeld jadi mengeret, kecut, lihat bos mereka merasa gerah dengar kabar tak sedap yang mereka bawa itu.

Benhart diam, berpikir keras. Namun, tak lama dia menyentilkan jarinya. Dia menemukan ide. Lalu, dia menembak dengan jarinya ke arah Bogeld dan Liem Bok, geram. Lalu dia pun berjalan maju mengikuti barisan di depannya memasuki kelas Satu E. Liem Bok dan Bogeld saling pandang, cari tahu apa maksud bos mereka itu. Tapi, keduanya saling mengangkat bahunya, tak mengerti. Lantas, mereka berdua berlari mengikuti barisannya memasuki ruang kelas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status