Share

Bab 5 Sang Pemimpi Besar

Wow! Pagi itu, senyum cerah menghiasi wajahku, seiring dengan segarnya dedaunan rerumputan yang masih berlapis butiran-butiran embun dan sinar mentari pagi yang cerah. Aku senang sekali! Apalagi ini hari pertamaku sekolah di SMP 9, aku mengenakan setelan seragam putih-putih baru yang khusus dibuatkan Emak untukku. Begitu juga, aku mengenakan sepatu hitam baru, merek “Deli”. Walau terkesan sepatu murahan, tapi tak mengurangi kegembiraanku. Kegembiraan membuatku begitu semangat mengayuh kereta angin tuaku menuju sekolahan. Kegembiraan anak seorang kuli dengan harapan tidak ingin jadi kuli, seperti bapakku maupun kakekku lagi. Kata-kata wasiat Ibu Erika Purnama Panjaitan, guru kelas VI SD-ku masih terngiang-ngiang di telingaku:

            “Kalau mau jadi orang jangan bermental kuli. Jadilah diri kamu yang memiliki kecerdasan dan berani mengejar mimpi…berani menentang segala rintangan apapun.

Makanya, aku gembira sekali ketika dapat kesempatan menjejak tapak-tapak mimpiku. Aku tak boleh menyia-siakan kesempatan emas ini. Aku harus menghargai peluang sekecil apapun dan waktu yang ada di depan mataku ini. Kesempatan emas yang sama itu tidak bakalan datang untuk kedua kalinya, hanya orang-orang bodoh saja yang menyia-siakan kesempatan emas dan peluang apapun itu, kata orang. Bahkan, tidak semua orang memperoleh kesempatan emas. Buktinya, ribuan orang yang terhampar di ranah Deli ini, khususnya para anak kuli di kantong-kantong miskin yang ada di sekitar perkebunan eks Deli Matschapaij yang didirikan oleh Jacobus Nienhuijs tahun 1869, tapi kini telah dinasionalisasi oleh pemerintah dan dikelola atas nama PTP IX (yang kini telah berganti nama PTPN II). Juga, yang terserak di perkebunan-perkebunan swasta, anak kuli pabrik-pabrik, anak petani penggarap, bahkan anak nelayan yang seusiaku tidak seberuntung diriku hari ini, bisa sekolah.

Ternyata, kegembiraan bukan untukku seorang. Terlihat ada beberapa siswa turun dari mobil atau motor yang mengantarnya dengan ceria. Di antaranya, Benhart yang masih dengan gaya senyum angkuhnya yang gede rasa. Dia anggap dirinya berasal dari golongan yang berbeda, kaum borjuis, alias elit and tajir. Huh! Dia bergaya turun dari mobilnya, oooiii… Apalagi, gaya membusungkan dada dan cibirannya yang tersungging di sudut bibirnya itu, memandang rendah orang yang berada di sekelilingnya sungguh menyebalkan…

Tak berselang lama muncul Liem Bok dan Bogeld, tak jauh beda ama perangai Benhart. Begitu keluar dari mobilnya, dengan pringas-pringisnya, sambil menarik-narik membetulkan sabuk pinggang yang sudah betul itu menyapu 180 derajat sudut pandangnya. Dia berusaha melampiaskan egonya. Namun terlihat sebahagian besar siswa berjalan kaki memasuki gerbang sekolah dengan ceria dan tak menghiraukan Liem Bok maupun Bogeld. Liem Bok sedikit kesal, merasa tak diacuhkan. Sesaat kemudian, dia lalu menoleh dengan bahasa isyarat mengajak Bogeld memasuki gerbang sekolah dengan sok jumawa.

Terlihat sebahagian siswa naik kereta angin dengan semangat, khususnya yang rumahnya jauh dari sekolah, seperti diriku. Hari itu, tampak jelas wajah-wajah ceria menghiasi wajah siswa yang baru diterima masuk sekolah SMP 9 Pulo Brayan Medan ini. Setelah aku meletakkan kereta angin tuaku di tempat parkir sekolah, maka aku pun tak mau kalah bergegas ingin membaur bersama siswa lainnya di halaman sekolah.

“Hah!”

Liem Bok dan Bogeld langsung terperangah, tak percaya lihat diriku setengah berlari melintas di hadapan mereka. Liem Bok pun mengucek-ngucek kedua bola matanya yang sipit itu, penasaran, memastikan penglihatannya tak salah lihat. Lain lagi dengan Bogeld yang memutar-mutar kedua bola matanya dan mulutnya sedikit terbuka, memperhatikan diriku dari ujung rambut hingga ujung kakiku. Mereka jadi merasa heran sekali lihat kehadiranku di SMP 9 ini.

“Bagaimana mungkin anak kuli yang satu ini bisa sekolah di sini, Geld?” tanya Liem Bok terbata-bata penasaran, sambil tangan kirinya menarik lengan baju Bogeld dan tangan kanannya menunjuk diriku.

“Manalah aku tau, Liem! Itu juga yang kuherankan,” sergah Bogeld tak habis pikir. “Bukankah kita lihat anak kuli itu kemarin lagi meratapi nasibnya tak lolos seleksi?!”

“Itulah masalahnya, ini pasti ada kecurangan Geld. Ini gak bisa dibiarkan,” timpal Liem Bok, masih terlihat terbata-bata. Lucunya, saking penasarannya, mata Liem Bok pun terlihat kedap-kedip makin sipit. “Benhart harus tau, Geld.”

“Betul Liem. Kita harus buktikan. Jangan biarkan penyusup masuk ke sekolah kita,” sahut Bogeld.

Mereka pun bergegas menuju halaman sekolah, cari Benhart di antara para siswa yang bergerombol lihat pengumuman daftar siswa di setiap depan kelas satu.

Sementara itu, aku mendapati Yan Utama Nst lagi bercanda-ria dengan beberapa teman barunya, sambil duduk-duduk di atas bangku panjang yang melingkar di bawah pohon Delonix regia dari famili fabaceae dan termasuk kelas magnoliopsida itu, orang Indonesia menyebutnya pohon flamboyan, yang di adaptasi dari kata flamboyan (bahasa Prancis) yang bermakna “cemerlang”. Saat bunga Delonix regia bermekaran menampilkan panorama yang luarbiasa menawannya, menggetarkan jiwa, hingga membuat orang selalu menanti dan merindukan nuansa kehadiran bunga Delonix regia ini. Apalagi, setiap kali bunga bermekaran, akan menciptakan suasana syahdu dan romantis, kata orang saat yang tepat untuk rendezvous, laksana memadu kasih sepasang merpati. Itulah flamboyan, pohon legendaris yang oleh kalangan pencinta tanaman hias menyebutnya sebagai “tanaman terindah di dunia”.

Getar-getar indahnya bunga Delonix regia ini, hingga membuat kalangan ilmiah pun menurunkan julukannya dengan Royal Poinciana. Orang India menyebutnya dengan gulmohar. Julukan lainnya adalah “flame of the forest”. Begitu ensiklopedia menyebutnya.

Entah secara kebetulan atau tidak, tapi nyatanya pohon Delonix regia ini memayungi kelas Satu A. Apakah ini pertanda, anak kelas Satu A akan menjadi pribadi-pribadi yang cemerlang dengan istilah yang keren flamboyant personality gitu, tetapi itu semua wallahu a’lam (Allah lebih tahu).

Kebetulan juga kelas Satu A yang di depannya terdapat pohon Delonix regia ini terletak di ujung, sehingga jika memasuki sekolah dari pintu gerbang belakang sekolah, maka kelas pertamalah yang ditemui. Memang, saban harinya setiap siswa di SMP 9 ini harus memasuki sekolah melalui gerbang pintu belakang sekolah. Sebaliknya, yang diperkenankan melalui pintu gerbang utama dan menikmati pesona panorama barisan pohon Delonix regia yang meneduhi jalan menuju depan sekolah hanya Kepala Sekolah, guru, staf sekolah maupun pengunjung sekolah. Kecuali, bagi siswa yang terlambat, maka tiada kata lain, wajib melalui pintu gerbang utama dan harus menghadap dan diinterogasi piket untuk mendapatkan izin masuk kelas.

Kebetulan juga Yan Utama lagi menoleh dan lihat diriku.  Makanya, aku langsung saja bergabung dengan mereka.

“Hai En! Kau baru datang?!” sapa Yan Utama. Aku pun mengangguk dan tersenyum padanya. “En, ternyata kita sekelas di kelas Satu A lho!”

“Ohya!”sambutku dengan gembira. Aku pun menggenggam erat tangan Yan Utama, senang sekali. Apalagi, Yan Utama menunjukkan copy-an daftar nama-nama anak kelas Satu A padaku.

Yan Utama pun memperkenalkanku dengan teman-teman baruku sekelas, Suhermanto alias Suheng, Indra Kesuma, Elfi Zahara dan Zainab Maria.

“Oh, kaukah yang bernama Enda Kiebo sang pemimpi besar anak SD 120 itu?!” tiba-tiba celetuk Indra Kesuma padaku, sambil cengengesan.

“Ciileee… Sang Pemimpi Besar nih yeee…!” seru Elfi Zahara dan Zainab Maria terkekeh-kekeh, mengolok-olok.

Wow! Aku jadi terperangah dengar ucapan Indra Kesuma. Apalagi dengar olok-olokan Elfi Zahara, anak perempuan yang berkepang ekor kuda itu, membuatku jadi jengah. Semua mata teman-teman baruku ini jatuh pandang padaku, cengar-cengir tergelitik ucapan konyol Indra kesuma itu. Hati kecilku berbisik, darimana Indra Kesuma ini tahu julukanku saat di SD, sang pemimpi besar. Ah! Ini gara-gara kerjaan Bu Erika Purnama Panjaitan saja saat bercanda lihat penampilanku menggebu-gebu membawakan puisi, Kelabu Di Balik Bayang-Bayang Kemilauan Daun Duit ciptaanku sendiri, buatku jadi jengah begini.

“Tenang kawannn!” ujar Suheng maju tampil dengan gayanya, laksana mimik pemandu acara, Koes Hendratmo beraksi dalam acara Berpacu dalam Melodi, sebuah acara di TVRI.

Sementara teman-temanku yang lain jadi tersenyum-senyum geli lihat ulah Suheng mendramatisir suasana. Dia pun lalu menarik tanganku dan mendudukkan aku di bangku panjang bekasnya. Kemudian, dia menarik Indra Kesuma berdiri untuk bercerita.

“Darimana kau tau Ind, teman kita ini Sang Pemimpi Besar? Mengapa pula dia dijuluki Sang Pemimpi Besar?”

Gara-gara ulah Suheng ini, jadi menarik perhatian anak-anak lainnya. Makanya, mereka pada mengerubuti ingin tahu. Tidak ketinggalan Julbrito, Ratna Sari dan Arif Budiman pun langsung turut bergabung dengan kami, ingin menyaksikan aksi Indra Kesuma. Gayung pun bersambut, Indra Kesuma lantas berakting dengan melebarkan senyumnya dan melontarkan senyum kudanya ke kanan-kiri pada hadirin, memancing suasana agar semakin konyol. Memang klop Suheng dan Indra Kesuma pencipta banyolan. Tentu suasana pun jadi heboh sekali lihat Indra Kesuma memainkan tonil satu babaknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status