BAB 1
“Mari kita makan, Pangeran ...,” canda Airin pada lelaki yang telah menikahinya hampir sepuluh tahun yang lalu. Hidangan makan malam yang ia racik sendiri untuk suaminya ini merupakan makanan kesukaan mereka berdua. Gurami asam manis.Bram Indrawan—sang suami—tersenyum melihat tingkah istrinya yang menggemaskan. Airin Sukma, kini berusia 31 tahun, sedangkan Bram sudah kepala enam. Perbedaan usia mereka tiga puluh tahun. Sepuluh tahun yang lalu Bram yang waktu itu merupakan seorang duda yang ditinggal istrinya meninggal karena penyakit leukemia, menikahi Airin yang seorang kembang desa.Pernikahan yang tak didasari cinta dari Airin karena niatnya menikah dengan Bram hanya untuk berterima kasih karena lelaki paruh baya itu telah menyelamatkan nyawa ayahnya yang mengalami kecelakaan kerja dan harus segera menjalani operasi bedah kepala. Sementara sang ayah hanya seorang tukang bangunan di proyek pembangunan gedung bertingkat milik Bram.Bram yang terkenal dermawan dan selalu peduli dengan semua pekerjanya, langsung menandatangani surat pernyataan untuk operasi ayah Airin juga membiayai semuanya tanpa syarat apa pun. Airin yang saat itu datang dari kampung bersama ibunya, menangis tersedu seraya mengucap kata terima kasih yang tak terhingga pada Bram. “Terima kasih, Sayangku.” Bram menjawab dengan senyum merekah dan dada berdebar-debar setiap kali memandang wajah cantik istrinya yang selalu merah merona.“Kamu itu hebat. Semua serba bisa. Masak makanan menjadi sangat enak, membuat kue, mengurus rumah, mengurus bisnis bisa, mengurus anak dan suami apalagi. Terima kasih, ya, Sayang,” ucap Bram seraya mengelus lengan istrinya penuh cinta.Airin tersenyum dan memandang laki-laki yang sangat dihormatinya. Ia sangat bersyukur mendapatkan suami begitu menyayanginya, dan mengerti dirinya yang terkadang bersifat kekanak-kanakan. Bram tak pernah melarang Airin untuk bertemu teman atau arisan di luar rumah, asal Airin begitu dimanjakan.Bagi Bram, melihat Airin selalu tersenyum ceria saja ia sudah bahagia. Bram menyadari kalau dirinya tak lagi muda dan sangat jauh perbedaan usia dengan istrinya itu yang membuat Bram berjanji akan selalu mengerti apa mau Airin.“Tambah lagi ikannya, ya,” tawar Airin pada suaminya.“Sudah, Sayang. Sudah cukup,” tolak Bram karena merasa sudah cukup banyak makanan yang masuk ke perutnya.Selesai makan malam, mereka duduk santai di balkon atas seraya menikmati sinar bulan yang malam ini menampakkan seluruh isinya, bulat sempurna.Airin duduk di ayunan rotan yang sengaja ia pasang untuk bersantai dan Bram duduk di kursi rotan seraya menikmati teh panas buatan tangan cekatan istrinya.“Dua bulan lagi ulang tahun pernikahan kita yang kesepuluh, Airin. Mau minta apa sebagai kado?” Bram bertanya pada Airin yang dijawab Airin dengan kerlingan dan senyum menggemaskan.“Jangan seperti itu, aku tak tahan.” Bram mendekati Airin.“Tak tahan kenapa?” Airin semakin menggoda suaminya.“Tak tahan untuk tak ....” Bram tak melanjutkan ucapannya, tetapi ia malah menggendong tubuh mungil Airin dan membopongnya menuju tempat tidur.Direbahkannya tubuh mungil Airin yang selama ini memberikan kepuasan untuk Bram. Tatapan keduanya saling bertemu dan menghadirkan pijar-pijar panas untuk keduanya. Bram semakin mendekatkan wajahnya pada Airin yang sudah siap menerima serangan apa pun yang akan dilakukan lelaki itu padanya. Napas Bram semakin memburu dan tak lama terdengar rintihan dan desahan khas dari suatu ajang pertempuran yang menghasilkan kenikmatan tiada tara.***“Terima kasih, Sayangku,” bisik lembut Bram di telinga Airin pagi harinya, seraya memeluk dari belakang. Airin yang tengah mengaduk susu untuk Kenzo—putra semata wayangnya—refleks menghentikan aktivitasnya.“Terima kasih untuk apa, Yank?” tanyanya sedikit heran.“Terima kasih untuk suguhan setelah makan malam kita tadi malam.” Bram menjawab seraya terkekeh dan menarik kursi kemudian mendudukinya.Airin tertawa mendengar gurauan suaminya, “Itu bukan suguhan, tapi penyerangan.” Lalu tertawalah mereka berdua di pagi itu. Sungguh indah rumah tangga yang mereka jalani meski sering kali orang memandang salah terhadap Airin.Tak sedikit orang yang memandang Airin sebagai perempuan matre karena bersuami Bram yang sebaya dengan ayahnya, bahkan tak jarang saat jalan berdua, orang mengira Airin adalah anak pertama Bram, karena perawakan Airin yang mungil dengan wajah baby face.“Biar aku yang antar Kenzo sekolah, ya.” Bram mengutarakan niatnya seraya meneguk teh pahit kesukaannya.“Mau keluar?” Airin bertanya pada suaminya.“Sudah.”“Sudah? Kapan? Baru juga keluar kamar.”“Tadi malam ‘kan? Kamu yang buat,” jawab Bram yang langsung mendapat cubitan dari Airin. Sementara lelaki itu meringis sebelum akhirnya tertawa hingga hampir tersedak.“Nakal, sih, masih pagi juga!” Airin berkata seraya menepuk-nepuk pelan tengkuk suaminya.“Papi, kenapa?” Kenzo yang baru saja datang hendak sarapan heran melihat papinya terbatuk-batuk.“Nggak papa, Sayang, papimu cuma tersedak.” Airin mencoba menjelaskan.“Makanya, Pi, kalo minum itu pelan-pelan. Kata ibu guru Kenzo di sekolah, kalo minum itu harus tiga teguk berhenti dulu, terus minum lagi tiga teguk. Begitu, Pi,”“Iya, Sayang. Tadi Papi tersedak juga karena Mami kamu, tuh.”“Lho, kok, Mami?” Airin tak terima, sementara Bram malah terkekeh melihat Airin yang sedikit sewot.“Iya, Mami.” Bram mempertegas lagi yang membuat Airin melotot.“Sarapan dulu, Sayang,” Airin menyodorkan segelas susu dan sepotong sandwich kesukaan Kenzo.“Allahumma bariklana fima rozaktana wakina adzabannar.” Kenzo membaca doa sebelum makan. Bram dan Airin tersenyum bangga melihat anak semata wayangnya sudah bisa membaca doa-doa harian.“Kenzo, hari ini sekolah Papi yang antar, ya.” Bram berbicara pada Kenzo yang tengah mengunyah sarapannya.“Iya, Pi.”“Mami, hari ini ke butik?” Bram bertanya pada Airin yang tengah memotong sandwich di piringnya.Bram memang membiasakan memanggil Mami pada Airin kalau di hadapan Kenzo, tetapi jika sedang berdua saja ia lebih nyaman memanggil Airin atau Sayang.“Iya, Pi, ada beberapa desain baru yang harus Mami cek, juga ada janji dengan pelanggan butik siang ini.”“Ya sudah, hati-hati, ya. Kenzo sudah selesai sarapannya, Nak?”“Sudah, Pi.”“Yoklah, kita berangkat nanti kesiangan.”Kenzo menghabiskan sisa susu di gelasnya kemudian pamit pada Airin untuk berangkat ke sekolah dengan diantar Bram. Dua laki-laki beda generasi itu terlihat sangat akrab sekali sebagai ayah dan anak.Setelah suami dan anaknya pergi, Airin termenung sendiri di meja makan. Hidupnya memang sempurna. Memiliki suami yang sangat memanjakan dirinya, memiliki anak yang manis dan pintar, serta materi berkecukupan.Orang tuanya pun semenjak dia menjadi istri Bram, hidupnya jauh lebih baik dari sebelumnya karena Bram mencukupi segala kebutuhan orang tua Airin. Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, tak ada yang tahu kalau sebenarnya jauh di sudut hatinya yang terdalam, dia merasa hampa. Rasa yang tak terbaca oleh siapa pun, termasuk suaminya. Hanya Airin sendiri yang merasakannya.BAB 2Siang itu Airin masih bergelut dengan setumpuk file yang harus ia periksa. Ada beberapa desain terbaru harus ia cek sebelum lanjut ke produksi dan pameran. Ada dua cabang baru yang peresmiannya baru akan dilaksanakan bulan depan. Airin sangat ulet dalam menjalankan bisnisnya ini. Sebenarnya ia tidak mempunyai dasar ilmu berbisnis. Namun, wanita itu memiliki bakat di bidang desain. Dulu, ia sempat bercita-cita ingin melanjutkan pendidikan di bidang fashion, sempat bercita-cita ingin menjadi seorang desainer ternama. Namun, keadaan ekonomi keluarga menghentikan langkah dan cita-citanya. Pendidikannya berhenti hanya sampai di bangku SMA saja, setelah itu dia mencoba melamar pekerjaan sebagai buruh pabrik garmen hingga kecelakaan yang menimpa sang ayah dan akhirnya ia menerima pinangan Bram.Setelah menikah, Bram memboyong Airin untuk tinggal di Jakarta. Bram sangat memanjakan Airin yang kala itu masih sangat muda, dua puluh satu tahun. Dua orang anak Bram yang keduanya perem
BAB 3Hari ini Airin akan meresmikan pembukaan cabang baru untuk butiknya. Pagi-pagi sekali ia sudah rapi dan cantik. Bram yang tak bisa menemani karena harus menemui klien dari luar pun meminta maaf pada istrinya.“Sayang, maaf, ya, aku gak bisa hadir temani kamu di acara hari ini,” ucapnya seraya memeluk pinggang Airin.“Gapapa, Sayang.” Airin menjawab seraya tersenyum lalu merangkul dan menggelayut manja pada suaminya.“Bener gapapa, Sayang?”“Ya gapapa, dong.”“Terima kasih, Sayang. Kamu itu bener-bener wanita hebat. Aku bangga sama kamu dan aku sangat bahagia memiliki kamu. I love you.”“I love you more,”Bram dengan lembut mencium istrinya sementara Airin semakin erat memeluk suaminya.“Aku berangkat duluan, ya, kamu hati-hati, ya, Sayang.”“Iya, Sayang, kamu juga hati-hati.”“Kenzo?”“Gapapa, biar nanti aku yang antar.”“Oke.”Setelah Bram pergi, Airin gegas merapikan semua yang akan ia bawa untuk keperluan launching hari ini. Sambil sesekali memanggil Kenzo yang
BAB 4Waktu sudah hampir lewat Magrib saat Airin tiba di rumah. Bram baru saja selesai menunaikan salat, saat Airin dengan terburu-buru masuk kamar."Hai, Mi, baru pulang, Sayang?" "Assalamualaikum," Airin menjawab dengan mengucap salam lalu mencium tangan suaminya."Wa'alaikum salam, salat dulu, Sayang.""Iya, Pi, aku bersih-bersih dulu, ya.""Oke, aku tunggu di bawah, ya."Bram berlalu keluar kamar sementara Airin gegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan melaksanakan salat Magrib. Hujan yang mengguyur Kota Bogor siang tadi membuat Airin tak bisa segera pulang karena kabut yang menutupi jalanan. Suara petir yang saling bersahutan membuatnya mengurungkan niat untuk segera pulang dan lebih memilih menata koleksi gaun-gaun yang baru saja ia keluarkan untuk dipajang di etalase depan butiknya.Tak henti ia mengucap syukur atas nikmat yang dirasakan, dan suami yang teramat sangat peduli akan dirinya dan juga orang tuanya di kampung. Adiknya bisa sekolah hingga ke perguruan
BAB 5Suara guyuran air di kamar mandi membangunkan Bram dari tidurnya, ia pun tak kalah kagetnya dengan Airin saat membuka mata ternyata hari sudah memasuki waktu Zuhur. Tadi ia berjanji akan membereskan koper Airin, tetapi ia malah tidur dan terlambat bangun."Sayang, maaf, jadi terlambat karena aku, ya?""Enggak, Pi, enggak terlambat, kok, masih ada waktu sekitar satu jam sebelum ke bandara, aku mau lanjut rapikan koperku, Papi mandi sana.""Aku bantu, ya?" "Enggak usah, Sayang. Mandi aja sana nanti 'kan mau antar Mami ke bandara""Beneran, nggak mau aku bantu?""Iya, nggak usah. Sedikit lagi, kok." Senyum manis Airin seolah menjadi candu bagi Bram yang selama ini sangat menyayangi Airin.Bram lalu beranjak ke kamar mandi dan tak lupa sebelumnya mencium Airin yang tengah berganti pakaian."Sudah, Sayang. Ayo mandi dulu sana."" Baik ,Tuan Puteri," candanya sebelum berlalu dari hadapan Airin."Pi ... Pi, kamu udah kek anak kecil aja, sih, kalo udah manja." Terkekeh dibuat
BAB 6Mereka memasuki sebuah kafetaria yang tak begitu padat pengunjung di siang hari. Meja paling pojok dengan view menghadap ke arah taman kecil di samping bangunan, menjadi pilihan untuk menikmati secangkir kopi dan menghabiskan waktu sekitar dua puluh menit seperti yang dijanjikan Ratih ada Airin di telepon tadi."Silakan ...." Dazel menarik kursi dan mempersilahkan Airin untuk mendudukinya."Terima kasih."Seorang pelayan menghampiri mereka dengan membawakan buku menu untuk mereka memilih apa yang akan dipesan."Mau minum apa?" Airin mengangkat wajahnya dan menatap Dazel yang saat itu tengah menatapnya juga. Pandangan mereka saling bertemu dan keduanya sama-sama terpaku sampai beberapa detik, kemudian keduanya pun tersipu malu. Mirip remaja yang sedang jatuh cinta. "Sepertinya aku mau minum kopi latte saja," jawab Airin di tengah rasa salah tingkahnya."Wow ... kita punya selera yang sama," ucap Dazel seraya terkekeh."Oya?""Hmm ...."Dua kopi latte dan dua potong red velvet m
Bab7Tiba di hotel, Airin langsung menuju meja resepsionis untuk melakukan check in. Namun, Ratih lebih dulu berbicara pada petugas resepsionis dan tak lama petugas itu memberikan dua buah kunci kamar."Lho, kok?" "Iya, sebelum berangkat jemput lo tadi gue sempet pesan satu kamar buat lo, dan lo tau? Kamar lo itu pas sebelahan kamar gue!""Waaahh ... thanks, Beib." Airin berucap seraya menerima kunci kamar yang diberikan Ratih padanya.Dengan menggunakan lift mereka naik ke lantai delapan di mana letak kamar mereka berada."Rin, lo istirahat dulu, ya, ini udah hampir masuk waktu Magrib juga. Nanti pukul 19:30 kita keluar makan malam dan cari angin sedikitlah," ucap Ratih saat mereka sudah sampai di depan kamar. "Oke, gue juga udah pengen mandi, nih.""Ya udah, oke."Airin dan Ratih masuk ke dalam kamarnya masing-masing. Setelah menyimpan barang bawaannya, Airin lalu masuk ke kamar mandi, berendam mungkin akan membuat badan lebih segar setelah perjalanan dari Jakarta ke Surabaya sian
Ratih yang tak sengaja memperhatikan gerakan tangan Airin yang tiba-tiba berhenti menyuapkan makanan, lalu ia mengikuti arah pandang mata Airin dan seketika membulatkan matanya dengan mulut ternganga."Oh, my god! Itu—itu, 'kan? Heyy ... Airin! Itu cowok yang kemaren bareng, lo, 'kan? Dazel?"Ratih berbicara sedikit heboh sembari mendekatkan wajahnya ke wajah Airin, sedangkan Airin yang masih terpukau oleh pesona Dazel seketika memerah wajahnya karena kepergok Ratih sedang menatap Dazel."I–iya, tapi gue enggak tau kalo dia juga menginap di sini," jawab Airin gugup."Gue, 'kan, enggak nanya kenapa dia ada di sini, Rin, gue cuma nanya itu Dazel? Kenapa lo salting, sih," Ratih sedikit tergelak mendengar jawaban Airin yang enggak nyambung sama pertanyaannya."Oh, eh, iya ... itu Dazel." Airin semakin salah tingkah. "Rin, kenapa, lo, salting, sih?""Gue? Salting?""Iya, elo, lah, masa gue!” Ratih terkekeh melihat Airin yang semakin jelas terlihat salah tingkahnya.Sementara itu, Dazel y
Grand City Surabaya.Siang ini Airin dan Ratih memilih untuk shopping di Grand City Surabaya, keduanya memasuki mal dan menuju ke salah satu butik terkenal yang berada di lantai empat. Mal ini adalah salah satu pusat perbelanjaan terbesar di antara tujuh yang ternama di Surabaya.Mereka memasuki butik yang dituju dan langsung disambut hangat oleh seorang karyawan butik. Gadis berkulit kuning langsat dan bermata bulat dengan iris mata berwarna cokelat itu dengan telaten melayani Airin dan Ratih, mulai dari menanyakan apa yang dicari, mengambilkan dan membantu saat kedua wanita sosialita itu mencobanya.Beberapa potong pakaian akhirnya mencuri hati Airin juga Ratih, walaupun ada banyak koleksi pakaian cantik-cantik di butik miliknya, tetapi Airin selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi beberapa butik terkenal untuk melihat-lihat perkembangan fashion dan style terbaru supaya butiknya tak ketinggalan mode.Setelah puas berbelanja, keduanya lalu keluar dari butik dan menuju ke salah s