"Aku balik ke kantor dulu ya, Bu!" pamit anakku. Tak lupa dia selalu mencium pipi keriput ini. Sejak kecil, ini jadi kebiasaan kami, layaknya seperti kecanduan. Mungkin karena aku cuma punya satu anak, kami jadi sangat dekat. Mencukupi kebutuhannya itu prioritas, tapi kedekatan kami juga tak kalah penting.
Ia pamit pada teman-teman Santi dan kami membiarkan menantuku mengantarkan Akmal sampai masuk ke mobil. Sejoli itu nampak bergurau sebentar sebelum akhirnya saling melambaikan tangan.
"Bu! Apa benar baju ini gak usah dibalikin? Ini masih baru loh," ujar Sindi. Mungkin mereka mulai menyukai baju itu karena beberapa kali kulihat para wanita muda itu mengambil foto bersama dengan berbagai gaya.
"Iya. Rejeki kalian. Kalian harusnya memakai pakaian seperti ini. Aura cantiknya keluar," pujiku. Wanita suka sekali dipuji dan ini memang benar bukan gombalan semata. Mataku lebih adem melihat pakaian mereka yang sopan seperti ini, apalagi saat bertamu ke rumah ini.
Mereka kadang memakai baju udah ngepas di badan dan tidak tertutupi sampai pant@t. Aku tak bisa mengubah dunia, tapi minimalnya bisa sedikit berkontribusi baik bagi kesehatan iman anak dan menantuku. Akmal kadang harus bertemu dengan mereka, gak rela kalau mata indahnya anakku tak sengaja berbuat dosa. Setidaknya, aku berusaha.
"Bu! Anak Bu Khadijah masih ada gak sih? Pengen dijadiin mantu deh sama Ibu yang cantik ini," bisik Laura, tersenyum malu. Setelah aku memberikan baju tadi, mereka terus memperkenalkan diri agar aku mengingat namanya. Hmm, ternyata mau dijadiin mantu.
"Ish, aku pun maulah kalau masih ada, Bu!" Ningsih menimpali. Dia berjongkok dan menyentuh tanganku.
"Aku juga, biar kita punya mertua yang sama," ujar Dila tak mau ketinggalan.
"Iya, kayaknya seru deh. Mertua gaul kayak gini ya, kan. Disayang terus," seru Sindi, mengamit lenganku. Aku mendadak merasa seperti selebriti yang dikelilingi para penggemar. Aku tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Ibu ini orang miskin, Nak. Cuma punya Akmal. Dia anak satu-satunya ibu. Siapa pun jodoh kalian, kenalkan sama ibu nanti. Anggap saja saya ibunya suami kalian," balasku tersenyum ramah. Ya Allah, bukannya aku tak bersyukur dengan anak yang Engkau amanahkan cuma satu. Tapi, melihat anak-anak perempuan yang mencoba mengambil hatiku ini, mendadak pengen punya banyak anak. Maafkan hambamu yang kurang bersyukur ini ya, Allah.
"Hei! Kalian sedang bisik-bisik tentang apaan? Ceritain aku, ya? Ghibah? Biarin aja, pahala kalian bisa jadi bagianku. Lumayan," celetuk menantuku. Wajahnya tidak ramah.
"Geer! Siapa juga yang ceritain kamu," balas Laura, lantas tertawa.
"Kita ke kamarku, yuk!" ajak Santi. Keempat temannya berdiri, tapi kutahan.
"Kamu sudah menikah, San. Kamar kalian itu privasi berdua. Kalian di sini saja biar ibu yang ke kamar," ucapku. Santi menggendikkan bahu, lalu duduk di sofa, memutar video dari laptop. Aku masuk ke kamar untuk melanjutkan tulisanku.
***
"Kenapa sih aku cuma dapat segini, Bang? Gaji Abang kan, besar? Apa sisanya ibu kamu yang pegang? Kenapa sih nguasain harta anaknya terus?" seru menantuku.
"Kecilkan suaramu, San! Ibu bisa sakit hati kalau kamu bicara seperti ini. Ibuku ibumu juga. Hormati ibuku seperti aku menghormatinya. Tidak ada mantan ibu, tapi kalau istri bisa ditambah atau diganti," hardik anakku. Aku lekas menoleh mendengar suara anakku yang meninggi.
Aku tidak pernah mengajarkn Akmalku bicara kasar pada 'tulang rusuk' yang pada dasarnya memang bengkok. Dia menoleh padaku yang sedang minum teh di depan televisi. Aku dan matanya bersiborok, lalu dia menunduk.
Aku berdiri dan duduk di teras, memandangi jalanan, pura-pura tidak mau tahu dengan perdebatan mereka. Kalau mereka bisa selesaikan sendiri, aku tidak perlu ikut campur.
"Ini untuk pegangan kamu, San, di luar belanja. Kalau memang kurang, kamu tinggal minta. Ibu aku kasih juga untuk pegangan. Ini kota, mana tahu ibu pengen sesuatu, gak mesti minta uang lagi sama kita. Coba deh berpikir positif! Ibuku itu wanita terbaik di yang pernah kukenal sampai abang seusia ini. Ibu tidak menyimpan semua uang Abang. Sisanya tersimpan rapi di bank agar kita punya tabungan, Sayang," ungkap Akmal. Suaranya makin lembut.
Aku tidak mendengar suara Santi lagi. Hanya bunyi pintu kamar yang ditutup dengan keras yang memberitahu kalau menantuku masuk kamar.
"Ibuku sayang, kenapa pindah ke luar sih? Ke dalam yuk!" tutur Akmal. Cepat kuusap sudut mata agar anakku tidak melihat bulir bening di sana.
"Di sini lebih sejuk, Nak," balasku dengan senyum terkembang. Ia berjongkok dan merebahkan kepalanya di lututku.
"Maafkan Akmal tidak bisa memberikan menantu yang soleha buat wanita sebaik Ibu. Maafkan aku, Bu! Katakan, apa yang harus kulakukan, Bu?" isak Akmal sambil menciumi tangan keriput ibunya ini. Aku mengusap kepalanya, dan menepuk-nepuk pelan punggungnya.
"Kamu jangan terlalu meninggikan Ibu dan merendahkan istrimu, Nak! Santi itu istri soleha dan sedang berusaha menjadi menantu yang baik untuk Ibu. Kalian perbaiki komunikasi kalian, ya! Kamu sebagai kepala keluarga kadang harus bisa bersikap lunak dan di lain waktu harus tegas. Sudah, kamu temui istrimu sana! Ibu gak suka kalau kalian bertengkar," titahku, dengan seulas senyum. Akmal memelukku, lalu menuruti ucapanku.
Suka duka memiliki menantu ternyata begini rasanya. Pantas saja banyak para mertua di kampungku yang tidak tahan tinggal dengan anak menantu mereka. Setelah hidup berjauhan juga, mereka makin melupakan. Hanya suara dari sambungan telepon yang sesekali mengobati rindu. Ah, aku tidak akan tahan menahan rindu sendirian di rumah, sedangkan aku sudah punya menantu. Aku akan tetap di sini, Nak. Mengawal kalian agar tidak melupakan wanita tua ini.
***
"Bu! Apakah semua mertua ingin dekat anak menantunya?" celetuk Santi. Aku terkejut. Tak biasanya dia mau bicara duluan padaku di saat Akmal tidak ada di rumah.
"Sebagian. Kalau ibu sih pengen selalu bersama kalian," balasku, menghentikan kegiatanku membaca terjemahan Al-Qur'an.
"Apakah semua mertua ingin menguasai uang anaknya?" tanyanya lagi.
"Ada sebagian, Nak. Tapi ibu tidak akan melakukan hal itu. Ibu sudah tua, tak punya keinginan dunia yang berlebihan lagi," balasku, tetap tersenyum.
"Makasih ya, Bu! Mulai saat ini, aku akan menyayangi Ibu. Saat Bang Akmal lagi kesal padaku, Ibu tidak kesempatan menghasutnya untuk meninggalkanku. Aku mungkin telah salah sangka selama ini sama Ibu. Maafkan Santi ya, Bu," lirih menantuku. Walau merasa ucapannya tidak bisa ia pertanggungjawabkan sepenuhnya, aku tetap senang mendengarnya.
"Ibu mendoakan agar kamu istiqomah dengan ucapanmu, Nak. Ibu juga menyayangimu," balasku, memeluknya dengan mata berkaca-kaca.
"Hallo putri mama yang syantik. Gimana kabarnya, Sayang? Kamu enggak sakit hati kan tinggal sama mertuamu? Atau … dia pernah bicara kasar? Ih, kamu kok pake baju kayak gini? Gak modis tahu," cerocos besanku. Suaranya yang khas langsung kukenali dari dapur. Aku menghentikan langkah melihat Bu Lilis membolak-balik badan menantuku.Tidak ada salahnya perhatian pada anak sendiri? Apakah perlu sampai seperti itu? Selalu mertua yang jadi tersangka. Apa aku kelihatan seperti orang yang kasar?"Aku baik-baik saja, Ma. Gak usah berlebihan deh. Ada apa datang ke sini?" Santi balik nanya. Sepertinya Santi sudah terbiasa berkata kurang sopan sejak masih gadis. Anehnya, besanku malah tertawa."Belakangan ini kamu jarang nelpon sama Mama. Wajar dong kalau khawatir. Kamu itu putri ibu satu-satunya," balas besanku. Tak enak melihat mereka masih berdiri di teras, aku menghampiri dengan senyum terkembang.Aku dan Bu Lilis bisa dikatakan bernasib sama. Dia dan suaminya hanya memiliki Santi, sedangkan ak
"Kami keluar dulu ya, Ma, Bu. Mau cari makanan untuk kita," ujar Akmal, menggandeng tangan Santi. "Yang mama bilang tadi gimana, Akmal? Ada, kan?" tanya besanku, melirik sekilas padaku. "Ada, Bu. Kami sekalian mau beli makanan untuk Papa mertua," ujar anakku. "Eng-enggak usah, Nak Akmal. Tentu akan merepotkanmu. Kamu sudah capek pulang kerja, mama gak mau kalau kamu terlambat kerja besok," elak besanku. Harusnya dia senang kalau menantunya mau menjenguk, ini kok tidak diperbolehkan."Enggak apa-apa, Bu Besan. Akmal ini kan sudah tak punya Ayah. Dia sudah menganggap mertuanya sebagai ayahnya. Santi juga pasti khawatir dengan papanya yang sedang sakit. Walau niat kita agar tidak merepotkan mereka, tapi kita tak boleh menghalangi anak-anak untuk berbakti, Bu," ujarku menimpali."Iya, betul kata mertua Santi, Ma. Santi mau jenguk Papa. Masa karena aku sudah menikah, gak boleh lagi menjenguk Papa yang sakit," ujar menantuku. Bu Lilis tersenyum hambar dan melepas kepergian anak menantu k
"Sejak kapan Ibu punya ponsel kayak gini? Kok Akmal gak pernah lihat, Bu?" cecar anakku, membolak-balik ponsel dengan wallaper fotoku dan Bang Ande berdiri di kiri dan kanan Akmal saat wisuda. "Jangan dibuka, Bang! Itu kan privasi Ibu," larang Santi saat suaminya mulai mengutak-ngatik ponselku. Ah iya, aku baru ingat. Rekaman percakapan Santi saat berniat membuatku pulang kampung itu belum kuhapus. Santiku sudah mulai berubah dan aku tak mau kalau Akmal membenci istrinya. "Loh, kamu sudah tahu, San?" tanya Akmal. Menantuku mengangguk pelan. "Ini sudah lama, Nak. Maaf tidak memberi tahumu. Untuk komunikasi saja dengan teman-teman seangkatan ibu yang kebanyakan sudah PNS. Mereka ditugaskan di berbagai kota dan desa yang jauh. Kami tak bisa reunian lagi. Bisanya ya cuma melalui WA group. Bisalah mengobati kerinduan dengan teman-teman seperjuangan. Mereka kebanyakan sudah punya banyak cucu. Repot kalau mau reunian," jelasku seraya tersenyum.Akmal meletakkan ponsel itu dan memeluk ibu
"Santi? Kenapa kamu masuk kamar, Nak? Jangan takut, San! Om Arman itu orangnya baik. Dia tak akan melukaimu. Ibu juga akan melindungi kamu kok. Tidak akan terjadi apa-apa," ujarku, mengusap kepala menantuku yang meringkuk di atas ranjang. Dia masuk ke kamarnya dan Akmal saat mereka kupestakan di kampung ini. Kamar yang penataannya tak berubah sejak kami tinggalkan. Tidak ada debu yang menempel di sana, pasti karena Lita rajin membersihkan ruangan ini juga. "A-aku takut, Bu. Aku mengaku pernah salah. Ta-tapi aku menyesal, Bu," ujar Santi tergagap. Kesalahan apa yang dilakukan menantuku sampai Arman mengatakan kalau Santi tak punya adab? Kenapa menantuku ini begitu ketakutan? Kupeluk Santi dan mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang. Aku siap memasang badan agar pasangan hati anakku tidak terluka. Arman memang adikku. Kami memiliki pertalian darah. Tapi, Santi itu istri dari anakku. Aku harus bisa berdiri di tengah agar perselisihan mereka tidak menimbulkan kecemburuan. "Santi t
Aku dan Santi pamit pulang karena badan masih butuh istirahat. Tak lupa juga Lita kuajak tidur di rumah. Aku sudah merindukannya. Lita ini suka membaca, tapi kurang suka menulis. Dia lah yang memperkenalkanku dengan platform kepenulisan untuk mengusir kejenuhan. Siapa sangka, qku malah berpenghasilan dari sana. "Kita tidur di kamar ibu aja, ya," usulku. Karena Akmal dulu gak mau pisah tidur sampai remaja, tempat tidur kami yang terbuat dari papan didesain lebih luas. Muat lah untuk tiga orang dewasa."Santi tidur di kamar sebelah aja, Bu. Tadi udah janjian mau nelpon sama Bang Akmal. Nanti Ibu sama Lita terganggu," balas menantuku. Aku tersenyum dan mengiyakan. Mereka masih dimabuk asamara. Wajar kalau saling merindukan.Aku mengajak Lita ke kamar dan malam ini kami bisa bercerita dengan bebas. Aku sempat melihat perubahan ekspresi wajah Lita saat Santi bilang mau menelpon dengan suaminya. Apakah keponakanku ini masih kepikiran abang Akmalnya? "Sayang! Apa benar kamu menyukai Akmal?
"San! Santi! Buka pintunya, Nak!" seruku. Aku menekan gagang pintu dan ternyata tidak dikunci, lantas masuk ke dalam rumah. Santi sedang duduk di kursi rotan yang membelakangi pintu. "Pipimu terluka, San? Ya Allah, maafkan Ibu, San. Ibu akan ambilkan obat," ujarku panik sekaligus merasa bersalah. Sifat buruknya dahulu telah membuatku langsung curiga kalau dia masih angkuh dan licik.Astagfirullah! Wajar saja menantuku tadi langsung menghempaskan tangan Bu Darmi. Ternyata pipi Santi memerah dan sedikit terkelupas kulitnya. "Ibu sayang gak sih sama Santi? Kenapa membentakku di depan orang itu, Bu? Sakit hati ini lebih parah dari ini" ujar menantuku sambil menunjuk pipinya."Ibu minta maaf, Nak. Ibu khilaf dan spontan membentakmu. Mungkin karena melihat Bu Darmi yang sudah tua, ibu langsung terenyuh dan bersimpati padanya. Ibu juga terlalu fokus dengan ucapanmu yang terkesan sombong. Padahal, kamu hanya ingin membela diri," balasku sambil mengoleskan minyak akar tumbuhan ke pipi Santi.
"Sombong banget tuh Bu Khadijah sekarang. Mentang-mentang dia sudah jadi orang kota sekarang. Menantunya salah, dia diam saja. Aku sudah menunggu tadi malam, kirain mereka datang mau minta maaf, sekalian bawain oleh-oleh. Eh, rupanya gak ada," ujar Bu Darmi. Ia sedang sibuk bergosip dengan tetangga yang lain sambil memetik sayur daun singkong milikku. Halaman belakang rumahku lumayan luas dan tanahnya sangat subur. Aku membiarkan warga mengambil berbagai sayur itu untuk dikonsumsi sendiri. Asal jangan di jual saja."Ehem! Rupanya ada yang sudah bergosip pagi-pagi begini ya!" celetukku. "Eh, Bu Dijah. Kirain tadi belum bangun. Biasa kan orang kota malas bangun pagi. Kami jadi belum izin mau ngambil sayur," seru Bu Liana. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak ditutupi apa-apa. Aku melihat dengan jelas, liur basi bahkan masih menempel di dekat bibirnya. "Gak semua orang kota malas bangun dan belum tentu juga orang kampung itu rajin, Bu. Semua tergantung orangnya. Tuh, dengerin! Mena
"Titip rumah ya, Arman! Kalian baik-baik di sini. Dan ingat, jangan jodohkan Lita dengan sembarangan orang. Kalau anak orang sudah berumah tangga, kalian sebagai orang tua jangan menuntutnya harus sama. Emangnya nikah itu lomba lari apa? Yang paling cepat berarti menang. Tidak, kan?" tuturku. "Iya, Kak. Tapi, kita juga takut kalau Lita gak laku-laku. Sebagai orang tua, kami khawatir kalau anak perempuan lama menikah. Beda kalau anak laki-laki," timpal ibunya Lita. "Kakak tahu kekhawatiran kalian. Tapi, dia belum ketuaan kok. Kalau kalian belum menemukan jodoh yang tepat untuknya, biar Akmal yang carikan. Tenang saja! Kita tentu gak mau kalau gadis cantik jelita ini tidak bahagia nantinya," ungkapku, menjawil dagu Lita. "Alhamdulillah. Makasih ya, Kak," balas Rohani. "Makasihnya nanti saja. Kan belum berhasil, iya kan Li? Bibi sama Santi balik ke kota dulu. Titip salam buat Dino, ya!" tandasku. Lita memelukku, lalu menyalami Santi. Ponakanku, adiknya Lita masih mondok dan akan ta