"Maaf, Bu! Kali ini jangan larang Akmal, Bu. Aku akan mengantar Santi pulang ke rumah orang tuanya dulu. Dia harus merenung apakah masih ingin membagi suka duka denganku atau mau bahagia sendiri dengan hidup barunya!" ujar anakku. Wajahnya terlihat tenang yang menandakan di mengambil keputusan ini dalam keadaan sadar dan sudah dipikirkan secara jernih."Aku pergi dulu, Bu. Santi sayang sama Ibu dan Noval, tapi Santi tidak siap kalau Bang Akmal keluar dari perusahaan. Orang-orang berlomba agar bisa masuk perusahaan bergengsi, Bang Akmal malah memilih pekerjaan yang gak jelas untung ruginya. Santi gak mau ambil resiko kalau harus bangkrut di kemudian hari. Santi mau nenangin diri dulu," ujar menantuku dengan mantap. Ia ciumi pipi Noval tanpa berniat membawa buah hatinya itu ikut dengannya.Aku membuang nafas perlahan. Mereka sudah dewasa dan bisa memikirkan apa yang terbaik untuk rumah tangga mereka. Semoga mereka hanya menjauh sementara untuk mengikat hubungan yang lebih erat. Aku tah
"Aku mau ikut arisan nanti siang, Bang. Minta uang tambahan, ya, lima ratus ribu," ujar Santi, menggelayut manja di lengan suaminya yang sedang bersiap ke kantor.Aku tersenyum melihat anakku Akmal dengan senang hati memberikan uang untuk Santi. Pengantin baru itu tidak pernah ada masalah tentang kebutuhan rumah tangga karena jabatan Akmal lumayan tinggi dengan gaji lebih dari cukup. Aku mendidik anakku agar royal pada istri asal tujuannya jelas, maka rejeki pun akan mengalir deras. "Ini untuk pegangan Ibu. Mana tahu mau belanja ke mall," ujar Akmal, memberikan lembaran uang yang lebih banyak dari istrinya. Santi mendelik, mungkin merasa lebih berhak atas uang suaminya. Tapi, ia tidak pernah diberi kepercayaan mengelola semua uang suaminya. Itu yang sering aku dengar tanpa sengaja saat ia membicarakanku dan Akmal melalui sambungan telepon dengan temannya. Namaku Khadijah, istri satu-satunya suamiku sepanjang hidupnya. Kesederhanaan dan juga kegigihan kami bekerja bisa mengantarkan A
"Kita pulang saja, yuk! Duh, bajuku kena saus juga. Ini sungguh memalukan. Aku menyesal telah membawa mertuaku ke sini. Aku yang jadi malu karena dikira orang tak bisa makan dengan bener," cerocos Santi dengan wajah kesal. "Maafkan ibu, San. Tapi, kita makan dulu baru pulang. Mubazir kalau gak dimakan," tuturku, memasang wajah bersalah. "Gimana mau makan, Bu? Badan sama mulut udah panas gini," cetus Santi, mengipas bibirnya dengan tangan. Apakah mertuamu ini keterlaluan, Nak? Semoga kamu tidak menganggapku musuh, menantuku! Sama sepertiku yang mengharapkan kamu segera menyayangiku. Teman-teman Santi berdiri dan mengikuti menantuku itu ke parkiran. Kami tadi ke sini menggunakan jasa taxi online dan mall ini cukup jauh dari rumah. Mereka pergi meninggalkan wanita tua ini sendirian.Segera kutelpon Santi menggunakan ponsel jadulku, yang cuma bisa sms dan juga menelpon. Setelah tiga kali mencoba, Santi mengangkat teleponnya. "Kamu kok tinggalin ibu, San? Ibu pulang naik apa?" tanyaku
"Kamu makin cantik kalau baju kayak gini, San! Kapan belinya?" ujar Akmal, masih dengan pakaian kerjanya. Aku memilih berdiri di teras memandang bunga-bunga yang bermekaran. Mereka masih muda, biarlah saling memuji agar cinta mereka makin erat."Tadi dibelikan Ibu. Ish, tapi kata teman-temanku, bajuku kelihatan jelek lah. Gak cocok sama aku yang modern. Selera Ibu payah," cibir menantuku.Dari tadi dia tak bilang apa-apa dengan bajunya, sekarang mengeluh dan mulai mencemooh seleraku pada suaminya. Kamu maunya apa sih, menantuku? Apa kamu mau mengubahku jadi nenek sihir agar kamu takut padaku? Aku ingin disayangi dan juga disegani, bukan ditakuti. Tapi kalau begini keadaanya, mungkin aku memang harus menakutinya."Ini bagus kok, Sayang. Abang saja sampai mengira kalau kamu bidadari, tapi kok gak ada sayapnya ya?" balas Akmal."Ish, aku lagi sebel, tahu. Ibu tadi ….""Akmal! Tahu gak tadi kalau Santi…?" ujarku memotong ucapan menantuku yang sepertinya mau menjelek-jelekkanku lagi."Ih I
Aku tertawa sekilas membayangkan betapa hebohnya mereka di rumah sekarang. Rumah mungkin lebih berantakan dari tadi, karena tidak ada satupun temannya Santi yang bisa melakukan pekerjaan rumah. Apalagi memunguti sampah kuaci yang kecil-kecil pakai tangan, pastinya sangat melelahkan.Duh, kasihan sekali. Besok-besok tidak usah bertamu ke rumah anak menantuku lagi jika dalam membuang sampah pada tempatnya saja mereka tidak lulus. Ngakunya lulusan universitas, tapi adabnya tidak ada. Bukankah orang yang beradab itu lebih tinggi derajatnya dari orang yang berilmu?Aku duduk di balai bambu yang sengaja minta dibuatkan pada Akmal saat pertama datang ke rumah ini. Lumayan bisa mengobati rinduku pada kampung halaman. Tempat ini sangat sejuk dan jadi favoritku karena letaknya di bawah pohon mangga dan rambutan cangkokan. Cukuplah untuk mengademkan hati saat melihat kelakuan menantuku yang menguras emosi."Ibuu! Bantuin!" seru Santi, meletakkan tangannya di atas balai bambu. Dia ngos-ngosan den
"Aku balik ke kantor dulu ya, Bu!" pamit anakku. Tak lupa dia selalu mencium pipi keriput ini. Sejak kecil, ini jadi kebiasaan kami, layaknya seperti kecanduan. Mungkin karena aku cuma punya satu anak, kami jadi sangat dekat. Mencukupi kebutuhannya itu prioritas, tapi kedekatan kami juga tak kalah penting.Ia pamit pada teman-teman Santi dan kami membiarkan menantuku mengantarkan Akmal sampai masuk ke mobil. Sejoli itu nampak bergurau sebentar sebelum akhirnya saling melambaikan tangan."Bu! Apa benar baju ini gak usah dibalikin? Ini masih baru loh," ujar Sindi. Mungkin mereka mulai menyukai baju itu karena beberapa kali kulihat para wanita muda itu mengambil foto bersama dengan berbagai gaya."Iya. Rejeki kalian. Kalian harusnya memakai pakaian seperti ini. Aura cantiknya keluar," pujiku. Wanita suka sekali dipuji dan ini memang benar bukan gombalan semata. Mataku lebih adem melihat pakaian mereka yang sopan seperti ini, apalagi saat bertamu ke rumah ini.Mereka kadang memakai baju u
"Hallo putri mama yang syantik. Gimana kabarnya, Sayang? Kamu enggak sakit hati kan tinggal sama mertuamu? Atau … dia pernah bicara kasar? Ih, kamu kok pake baju kayak gini? Gak modis tahu," cerocos besanku. Suaranya yang khas langsung kukenali dari dapur. Aku menghentikan langkah melihat Bu Lilis membolak-balik badan menantuku.Tidak ada salahnya perhatian pada anak sendiri? Apakah perlu sampai seperti itu? Selalu mertua yang jadi tersangka. Apa aku kelihatan seperti orang yang kasar?"Aku baik-baik saja, Ma. Gak usah berlebihan deh. Ada apa datang ke sini?" Santi balik nanya. Sepertinya Santi sudah terbiasa berkata kurang sopan sejak masih gadis. Anehnya, besanku malah tertawa."Belakangan ini kamu jarang nelpon sama Mama. Wajar dong kalau khawatir. Kamu itu putri ibu satu-satunya," balas besanku. Tak enak melihat mereka masih berdiri di teras, aku menghampiri dengan senyum terkembang.Aku dan Bu Lilis bisa dikatakan bernasib sama. Dia dan suaminya hanya memiliki Santi, sedangkan ak
"Kami keluar dulu ya, Ma, Bu. Mau cari makanan untuk kita," ujar Akmal, menggandeng tangan Santi. "Yang mama bilang tadi gimana, Akmal? Ada, kan?" tanya besanku, melirik sekilas padaku. "Ada, Bu. Kami sekalian mau beli makanan untuk Papa mertua," ujar anakku. "Eng-enggak usah, Nak Akmal. Tentu akan merepotkanmu. Kamu sudah capek pulang kerja, mama gak mau kalau kamu terlambat kerja besok," elak besanku. Harusnya dia senang kalau menantunya mau menjenguk, ini kok tidak diperbolehkan."Enggak apa-apa, Bu Besan. Akmal ini kan sudah tak punya Ayah. Dia sudah menganggap mertuanya sebagai ayahnya. Santi juga pasti khawatir dengan papanya yang sedang sakit. Walau niat kita agar tidak merepotkan mereka, tapi kita tak boleh menghalangi anak-anak untuk berbakti, Bu," ujarku menimpali."Iya, betul kata mertua Santi, Ma. Santi mau jenguk Papa. Masa karena aku sudah menikah, gak boleh lagi menjenguk Papa yang sakit," ujar menantuku. Bu Lilis tersenyum hambar dan melepas kepergian anak menantu k