“Ibu, untuk baju-baju ini apa mau didisplay sekalian di etalase?” Caca bertanya padaku sembari membawa tumpukan stok baju yang masih baru.“Sebaiknya jangan semua, kamu pilih saja model yang terbaik untuk dipajang,” perintahku.“Baik, Bu.” Caca menjawab patuh, ia mulai memilih baju model terbaik dari beberapa tumpukan baju yang dibawanya.“Selamat siang, Ibu. Selamat datang di butik Amara.” Suara karyawan baruku yang bernama Lina terdengar menyapa. “Apa yang bisa saya bantu? Ibu sedang mencari apa?” tambahnya lagi.“Aku datang ke sini bukan untuk membeli tetapi untuk bertemu dengan pemilik butik ini! Dan ingat jangan panggil aku Ibu. Tetapi Nyonya, Nyonya Hermansyah!” Deg! Langkahku terhenti seketika saat aku hendak melangkah kembali ke ruanganku. Suara itu, suara yang sangat aku kenal. Untuk apa dia datang ke sini? Apa sengaja ingin membuat keonaran?“Maaf, saya benar-benar minta maaf atas ketidak tahuan saya, Nyonya.” Lina menunduk dengan raut wajah tegang serta takut.“Di mana Ama
Ucapan mas Aziel semalam tidak membuatku tak bisa berhenti untuk berpikir. Sebenarnya ada apa? Mungkinkah ada yang mas Aziel sembunyikan dariku selama ini? Pertanyaan itulah yang selalu ada dalam pemikiranku sepanjang hari ini. Tak pernah sedikit pun aku berpikiran buruk pada mas Aziel, di mataku dia adalah pria yang baik dan sempurna tak hanya secara fisik. Jadi tak mungkin bukan jika selama ini mas Aziel menyimpan sebuah kebohongan? Hari ini aku berencana membeli kebutuhan di salah satu mall besar di ibu kota. Tetapi saat aku baru saja selesai memarkir mobilku dan turun dari mobil, tak sengaja aku melihat sosok pria yang sangat tak asing masuk ke dalam mobil sport mewah limited edition yang sedang terparkir di antara beberapa mobil yang letaknya cukup jauh dari tempatku sekarang.“Mas Aziel??!” Secara refleks dan entah bagaimana aku justru bersembunyi di balik dinding beton. Memperjelas penglihatanku yang mungkin salah, aku mencoba sekali lagi memastikannya. Memang benar pria yang
“Kamu tega sekali, Mas.” Gumamku dengan netra yang sepenuhnya berembun saat melihat dengan mata kepalaku sendiri pria yang secara sah adalah suamiku kini justru berduaan dengan wanita lain, lebih tepatnya mereka berdua tengah bermesraan dalam suatu momen makan malam romantis bersama. Dan yang semakin membuat hati ini terasa ngilu, sang wanita tak lain adalah orang yang sangat aku kenal, Laura Bramawijaya. Kakak perempuanku sendiri dari istri pertama ayahku.Saat ini aku hanya bisa berdiri seperti orang bodoh melihat kemesraan mereka dari kejauhan. Mengamati apa saja yang mereka lakukan di sebuah restoran malam itu di Bali. Aku tak mau buru-buru mendatangi mereka, ataupun langsung melabrak mereka berdua dengan tiba-tiba. Itu bukanlah gayaku. Aku masih ingin memastikan diri dengan dugaanku ini.Segera aku menghubungi nomor Mas Radit. Tak butuh waktu lama Mas Radit langsung mengangkat telepon dariku. Dengan pandangan tak lepas memperhatikan Mas Radit dan mbak Laura dari kejauhan, aku mul
"Apa??” Mas Aziel menatapku terkejut sekaligus bingung.Masih dengan sikap tenangku, aku kembali berkata, “Aku ingin membalas perbuatan mereka agar mereka merasakan bagaimana rasanya dikhianati sama seperti apa yang mereka lakukan kepada kita, Mas. Jika kamu setuju, aku mau kita melakukan sandiwara sebagai sepasang kekasih.”“Sepasang kekasih, maksudmu? Bisa kamu perjelas apa maksud ucapanmu itu, Amara?” Mas Aziel semakin menatapku bingung.“Ya, kamu dan aku, Mas. Kita bersandiwara menjalin hubungan seperti apa yang mereka berdua lakukan kepada kita.”Mas Aziel menggeleng, ia terlihat ragu dengan rencanaku. “Tidak. Itu terlalu beresiko, Amara. Jika kita melakukan hal itu, itu sama halnya kita tak berbeda dengan mereka berdua,” tolak Mas Aziel.“Lalu apa kamu akan diam dan menerima saja apa yang mereka lakukan pada kita, Mas? Istrimu telah mengkhianatimu, begitu juga suamiku. Jika wanita itu bukanlah saudara perempuanku sendiri, mungkin aku bisa ikhlas dan tidak sesakit ini. Namun, yan
“Kau yakin akan melakukan ini, Amara?” Mas Aziel bertanya memastikan setelah kami sampai di sebuah restoran yang sengaja aku booking sebagai tempat yang cocok untuk dimulainya rencana pembalasanku.“Tentu saja aku yakin, Mas. Bahkan sangat yakin. Apa Mas Aziel ragu?” balasku.“Tidak, kenapa aku harus ragu? Aku sadar siapa diriku, aku bukanlah siapa-siapa. Mungkin karena itu Laura lebih memilih pria lain yang jauh lebih baik dari pada aku.”“Kenapa Mas Aziel berkata seperti itu? Apa pun alasannya tidak ada yang membenarkan sebuah perselingkuhan! Seburuk apa pun Mas Aziel adalah suami dari Mbak Laura, tidak seharusnya Mbak Laura bermain hati dengan pria lain selama dia masih menyandang status sebagai seorang istri!” aku menekankan.Mas Aziel menatapku dalam, sedetik kemudian dia menyunggingkan senyuman penuh artinya padaku. “Aku hanya berpikir begitu bodohnya Raditya menyia-nyiakan wanita sepertimu. Aku pikir kalian berdua adalah pasangan suami istri yang terlihat sempurna tetapi ternya
“Terima kasih, Mas. Akhirnya kamu membebaskanku dari pernikahan yang memang sudah tak pantas aku pertahankan sejak lama.” Aku mengulum senyum kepuasan yang tentu membuat Mas Radit dan Mbak Laura semakin membara.Mbak Laura bangkit, dia menatapku dengan pandangan sinis. “Kamu ingin berpisah dari Mas Radit untuk menikahi suami sampah seperti Aziel Gibran ini, Amara?” Mbak Laura mencebik mengalihkan pandangannya dengan sinis pada Mas Aziel yang berdiri di sampingku. “Ambil! Ambil laki-laki ini untukmu, Amara! Hahaha! Aku tidak butuh! Aku tidak butuh sama sekali! Kamu ini memang jalang bodoh yang tak bisa memilih pria mana yang terbaik untuk hidupmu!” Mbak Laura tertawa mengejek menatapku bergantian dengan Mas Aziel yang menatap wanita yang masih sah sebagai istrinya itu dengan tatapan dingin.“Sampah memang pantas dengan sampah! Kamu memang pantas bersanding dengan adikku yang bodoh ini, Mas Aziel. Cepat kamu talak aku juga, Mas! Sudah lama aku tak sudi menjadi istri dari pria miskin sep
Seorang pria tampan blasteran berumur tiga puluhan tampak melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang bersama wanita yang tengah tertidur pulas di sebelahnya. Waktu sudah menunjukkan tengah malam, namun sang pria pengendara tampak tak merasa lelah mengemudikan mobilnya itu membelah jalanan ibu kota. Saat ini sang pria tak memiliki arah dan tujuan yang pasti, hanya saja dia menggunakan instingnya untuk tetap mengemudikan mobilnya melaju jauh sampai melewati perbatasan kota. Pergi sejauh mungkin yang dia bisa untuk sesaat, seperti wanita yang tengah tertidur di sebelahnya minta.Pria yang tak lain bernama Aziel Gibran itu sesekali mengalihkan pandangannya ke arah sang adik ipar, Amara Bramawijaya. Mata sembab dan bengkak wanita itu masih jelas terlihat di balik kedua matanya yang memejam. Hatinya bergetar ketika mengingat bagaimana wanita itu menangis keras dalam pelukannya. Bagaimana Aziel mengingat saat sang adik ipar ditampar oleh Raditya Hermansyah yang telah berkhianat dan bermain a
“A-apa?? Apa kau sedang bercanda denganku, Mas?” Aku tertawa gugup mencoba mencairkan suasana yang entah kenapa membuatku merasakan tegang seketika.“Tidak, aku serius dengan ucapanku, Amara. Aku akan menikahimu.” Ekspresi Mas Aziel serius menatapku.“T-tapi Mas, bagaimana dengan Mbak Laura?” aku mengingatkan merasa ragu.“Bukankah kamu membencinya? Lalu, lakukan saja rencana kita seperti di awal,” Mas Aziel menegaskan. Aku menghela nafas dalam, menatap jalanan yang masih gelap dari dalam mobil.“Aku memang membencinya Mas, sama seperti aku membenci Mas Radit. Tetapi bagaimana denganmu?”“Apa kamu merasa ragu aku tak bisa menafkahimu?” Mas Aziel menebak.Aku menggeleng menyangkal. “Bukan, bukan itu maksudku, Mas. Kamu jangan salah paham.”“Lalu, apa yang membuatmu ragu?” Kali ini Mas Aziel menatapku serius.“Bagaimana dengan hati Mas Aziel sendiri? Apa Mas akan yakin dengan keputusan ini? Satu yang Mas harus ingat, pernikahan kita nanti terjadi bukan atas dasar cinta, Mas. Akan tetap