"Maaf Senja, saya sudah terhitung retired hari ini. Jadi, kamu akan dibimbing oleh dosen yang baru."
"Apa?! Pak Pur jangan bercanda. Nasib saya gimana tanpa Bapak," rengek Senja dengan suara khas cemprengnya."Lho kamu kan sudah saya kasih tahu seminggu yang lalu.""Tapi, Pak Pur nggak bilang kalau mau pensiun.""Ya, saya hanya bilang selesaikan draft akhir, Ja. Biar saya koreksi secepatnya. Tapi kamu menyiakan kesempatan. Terima saja dosen baru yang akan menggantikan."Bahu Senja melorot. Semalam ia benar-benar lembur ngeprint draft final skripsinya untuk diserahkan kepada Pak Pur. Namun, harapan yang membubung tingga kini terhempas. Apa jadinya jika ia harus ganti dosen pembimbing. Jelas, ia harus menerangkan sedari awal pada dosen yang baru."Pak Pur nggak ada kasian sama saya? Gimana nasib saya, Pak. Belum tentu dosen yang baru langsung menyetujui draft saya untuk diajukan ke sidang.""Itu tugas kamu, Ja. Sekalian belajar buat persiapan sidang. Sudah ya, saya keburu ketinggalan pesawat. Ada acara penting ke luar kota. Ini SK dosen yang baru untukmu. Kamu temui beliau di ruang sebelah. Semoga sukses ya.""Pak Pur nggak berubah pikiran demi saya? Nanti Bu Pur pasti sedih kalau saya nggak lulus-lulus." Lagi Senja masih berusaha merayu dengan rengekkannya. Senja memang dekat dengan Pak Pur dan keluarganya. Ia sudah sering membantu dan terlibat penelitian dengan dosen senior itu. Bahkan Bu Pur sudah menganggap Senja seperti anaknya sendiri."Bu Pur sudah tahu, Ja. Bahkan dia berharap kamu segera lulus dengan dibimbing dosen baru yang lebih muda ini.""Apa?! Lebih muda? Hmm, pasti lebih sibuk dibanding Pak Pur." Senjah berkeluh kesah membuat Pak Pur menggelengkan kepala."Jangan suuzon dulu. Ingat Allah sesuai prasangka hamba-Nya. Manatahu beliau cocok jadi pembimbing yang baru."Senja membuang napas kasar. Benar saja kata Pak Pur. Ia harus berprasangka baik agar diberi kelancaran menyelesaikan kuliahnya. Ia lalu berdiri mengikuti Pak Pur yang sudah menenteng koper."Oya, Ja. Dosen yang baru sepertinya masih single. Kamu pasti lebih semangat," kelakar Pak Pur. Senja hanya tersenyum kaku."Lebih semangat kata Pak Pur? Semoga saja beliau nggak menyulitkanku," gumamnya."Sudah sana segera temui beliau!""Iya, Pak. Hati-hati di jalan."Senja melangkah gontai menuju ruang dosen di sebelah ruang Pak Pur. Ia merasa wajahnya tidak seceria pagi tadi. Alhasil, ia dengan pedenya berkaca di jendela ruang dosen sebelah ruang Pak Pur. Berkali-kali ia menarik sudut bibirnya agar senyumnya tidak kaku."Ayolah, Ja. Dunia belum berhenti berputar hanya karena Pak Pur pensiun. Mana Senja yang ceria dan penuh semangat." Begitulah kata hati Senja menyemangati diri. Sesaat ia bisa tersenyum kembali sambil merapikan poninya yang sebenarnya masih rapi."Allahu Akbar!" Senja terlonjak kaget saat sebuah ketukan dari dalam jendela membuyarkan lamunannya. Detak jantungnya meningkat seperti barusaja melihat makhluk tak kasat mata."Astaga itu orang atau h*ntu sih. Kenapa tiba-tiba muncul. Untung jantungku masih aman." Senja mengusap berulang dadanya. Lega karena ia tidak terserang sakit jantung mendadak. Memberanikan diri melangkah mendekati pintu, Senja hendak mengetuk. Namun dari dalam sudah ada sosok yang membuka."Astaghfirullah!" pekiknya saat melihat wajah lelaki yang membuka pintu."Ya Rabb. Dia memang tampan. Tapi apa di dunia ini hanya lelaki ini satu-satunya orang tampan di kampus. Kenapa aku bisa ketemu dia lagi. Bukankah dia yang aku tabrak tadi. Ah, paling mahasiswa abadi sepertiku."Suara deheman membuat Senja tersadar dari menggumamnya."Eh maaf, Mas. Silakan!" Senja menyilakan lelaki itu lewat keluar lebih dulu sebelum ia masuk ke ruang dosen yang dibilang Pak Pur menjadi pengganti membimbing."Mau cari siapa?" Suara tegas lelaki itu membuat Senja tersentak."Eh, memangnya Mas cari siapa tadi di dalam?" tanya Senja dengan penuh percaya diri. Ia sungguh melupakan kata maaf untuk tabrakan tadi."Saya nggak nyari siapa-siapa. Ini ruangan saya.""WHAT?!" Bola mata indah Senja reflek membola."Apa kata dunia? Malunya aku, apa dia dosen pengganti Pak Pur?" Senja hanya menunduk sambil menepuk jidatnya."Kenapa mukul-mukul kepala? Ada yang salah?" Suara itu terkesan dingin membuat nyali Senja menciut. Tidak biasanya ia menjadi penakut. Tapi ia merasa belum menjadi pawang buat menaklukkan sikap dingin lelaki di depannya."Hmm, itu, Mas. Eh, maaf Pak. Bapak dosen baru ya? Saya belum pernah lihat.""Kamu mencari saya?"Senja hanya menelan ludah. Kecewa karena pertanyaannya tidak dijawab. Justru lelaki itu balik bertanya. Ia hanya mengangguk lemah. Sambil melirik SK yang dipegangnya, Senja membaca dengan cermat nama dosen yang tertulis."Dr. Adam Syailendra, S.E.,M.M. Nama yang bagus sesuai dengan tampang yang keren, tapi sikapnya tidak selaras. Dinginnya kayak kulkas. Hufh." Senja membatin sambil menarik napas dalam untuk menetralkan rasa gugup yang tiba-tiba mendera. Ia berusaha membetulkan duduknya agar terlihat nyaman."Ada apa?" Adam sudah duduk di kursinya dengan tatapan tegas memindai wajah Senja yang begitu pede di depannya. Padahal seingatnya gadis di depannya belum meminta maaf atas kejadian tabrakan tadi."Eh tidak, Pak. Bapak Pak Adam Syailendra?""Ya. Ada perlu?""Maaf, perkenalkan saya Senja mahasiswa bimbingan Pak Pur. Sebab beliau pensiun, saya diminta menghadap Pak Adam untuk menyerahkan surat ini."Adam menerima surat dari tangan Senja. Ia lalu membaca cermat sampai ke tanda tangan paling bawah. Setelah membaca cermat surat itu, Adam memindai penampilan Senja. Sontak saja yang ditatap merasa sedikit salting."Ishh, kenapa tatapannya tajam begitu? Baru juga bertemu sekali sudah bikin illfeel," gerutu Senja dalam hati."Jadi semester berapa kamu sekarang?" tanya Adam dengan tegas. Tatapannya lurus ke arah Senja yang termangu."Ah, iya, Pak."Sejenak debar jantung Senja meningkat. Namun, pikirannya yang merespon rasa malu tiba-tiba muncul. Targetnya adalah lulus tepat waktu atau malah lebih awal plus cumlaude. Semua demi membuktikan pada mama papanya bahwa ia mampu kuliah di jurusan yang ia minati yakni manajemen bisnis. Ternyata ekspektasinya melenceng. Sudah jauh-jauh kuliah di Bandung sayang kalau tidak bawa gelar sarjana. Makin diejeklah nanti sama mama papanya."Semester 9, Pak," jawabnya tersipu malu. Namun, Adam masih terkesan dingin membuat senyum Senja berangsur surut."Hmm, mana berkas skripsinya?" pinta Adam masih dengan suara tegas."Ini, Pak." Dengan mantap Senja menyodorkan draft skripsinya. Ia berharap Adam membaca draftnya secepat kilat lantas memberi ACC untuk daftar sidang."Baiklah Senja. Mari kita mulai bab 1. Coba presentasikan bagian pertama dari draft kamu!" titah Adam."Hah?! Tapi Pak, saya sudah selesai sampai bab 5 dengan Pak Pur. Tinggal ACC saja. Kenapa balik lagi dari bab awal?" Ucapan Senja bernada ragu, karena Pak Pur sejatinya memang belum mengiyakan dirinya ujian. Namun, Senja tetap kekeh mau Adam langsung ACC. Ia merasa rugi waktu kalau harus mengulang bimbingan dari awal."Dosennya saya atau kamu?!" tegas Adam membuat kening Senja bertaut ke dalam. Kedua tangannya saling merem*s di pangkuan. Mengepal erat ingin mengayunkan pukulan seolah sedang berlatih karate. Hatinya menjerit menahan emosi. Udara dingin dari hembusan AC di ruangan pun mendadak terasa panas."Pak Adam?!""Ayo, kamu hanya punya waktu sepuluh menit dari sekarang," tegas Adam."Pak. Saya sudah susah payah ngerjain bab 1 sampai bab 5. Ini tinggal minta ACC pak Pur, tapi beliau keburu pensiun.""Pak Pur tidak bilang ke saya suruh langsung menyetujui kamu sidang. Jadi, Senja silakan mulai presentasi.""Tapi, Pak!" Senja masih mencoba mendebat. Adam melihat ke arah jam di tangan kirinya."7 menit tersisa.""Astaga!" Senja kelabakan. Ia merasa belum bisa menemukan kemistri dengan dosen pembimbing barunya. Yang ada dirinya malah dibuat kesal."Lima menit tersisa. Kalau kamu tidak mau presentasi, tinggalkan berkasnya. Ambil lagi besok!""Ah, iya, iya, Pak. Tunggu sebentar." Senja merasa gugup. Ia menghela napas panjang lalu memulai membuka lembar bab 1."Jadi begini, Pak. Saya mengambil topik skripsi ini dengan alasan....""Stop! Waktu habis Senja. Silakan kembali! Kamu bisa menemui saya lagi besok di jam yang sama, dan ruang yang sama."Senja hanya melongo."Apa-apaan ini. Belum juga lima menit. Sengaja banget membuat aku kesal. Awas ya!" Senja hanya mengeratkan gigi untuk menahan emosi. Senyumnya terlihat kaku karena dipaksakan."Hai, Senja. Kenapa muka kamu manyun? Tadi aja sumringah. Nggak biasanya habis ketemu Pak Pur begini," Fifi menegur Senja yang masih menahan kesal pada Adam."Kesel tahu, nggak? Jangan memancing emosiku, Fi!"Dua gadis yang kerap bersama-sama kemana-mana itu sedang duduk di gazebo taman kampus. Suasana kampus swasta ternama di Bandung itu terlihat tenang karena bersamaan dengan ujian tengah semester. Fifi baru saja lulus, sedangkan Senja entah gimana nasibnya ke depan belum diketahui rimbanya. Harapan lulus semester ini pun tertunda karena harus ganti dosen pembimbing. Bukan ia tidak pintar, malah saking pintarnya ia kalah cepat dengan Fifi. Sebab ia terlalu sibuk mengurus bisnis yang dibangunnya. Dan tentunya tidak mudah seperti apa yang dipikirkannya."Ayolah, Ja! Kamu kan tinggal nunggu ACC saja dari Pak Pur. Aku yakin kita bisa wisuda bareng. Jangan patah semangat gitu dong!""Apanya yang wisuda bareng. Pak Pur tega nelantarin aku, Fi.""Hah, nelantarin gimana?""Ya nelantarin. P
"Ganteng juga dosbing barumu, Ja."Sepeninggal Adam, Fifi tidak berhenti memuji-muji pelaki itu. Alih-alih menenangkan justru Fifi terus menggoda Senja. Gadis itu hanya bersungut karena ucapan Adam masih terngiang di telinganya."Ishh, kamu jangan bikin aku tambah kesel, Fi.""Haha, iya maaf."Drrt, dering ponsel di tas Senja menyapa telinga."Duh, Seno. Kenapa saat seperti ini malah muncul.""Siapa, Ja?""Stt, Seno." Senja meletakkan telunjuknya ke bibir."Halo, Sen.""Senja! Kapan kamu mau bayar utangnya? Ini sudah lewat seminggu dari jatuh tempo. Ingat bunganya bakal berlipat. Jangan sampai bos besar marah." Ucapan dari seberang membuat Senja terhenyak."Iya, Sen. Tenang aja, aku bakal bayar utangku." Setelah panggilan ditutup, Senja menyandarkan kepalanya ke pinggiran gazebo."Ada apa, Ja? Seno lagi?" Senja mengangguk dengan wajah gusar. Fifi sudah bisa menangkap raut sahabatnya kurang bagus."Andre kemana, Fi? Aku mau tambah jam part time. Aku perlu ambil shift malam." Ucapan Sen
"Ini pesanannya, Nona. Silakan diminum!""Terima kasih," ucap perempuan itu dengan senyum masam setelah mendapat penolakan dari si lelaki.Senja hendak pergi. Namun begitu lelaki itu menoleh, ia terperanjat setelah melihat wajahnya. Ia masih memegang nampan dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan membetulkan rok selututnya."Hah, kenapa lelaki itu ada di sini." Ya, lelaki itu adalah Adam--dosen pembimbingnya yang baru menggantikan Pak Pram. Tatapan keduanya saling mengunci. Senja hanya tertegun dan menelan salivanya. Ia segera memutus kontak, karena teringat topeng yang menyembunyikan identitasnya."Ayo, Sayang. Minum dulu!" Suara manja Reva--kekasih Adam masih terdengar oleh Senja."Moga aja Pak Adam nggak ngenalin aku, hufh. Jadi, perempuan seksi itu pacarnya? Ternyata beliau suka datang ke tempat beginian," gumam Senja sambil berjalan menuju meja bar."Ada masalah?""Eh enggak, Ndre. Tadi barusan anter ke pengunjung di pojok itu." Andre menangkap wajah Senja berubah tidak secer
"Tunggu!" Senja berhenti dengan posisi memunggungi Adam. Lelaki itu mencoba menghirup kembali aroma parfum yang menguar di hidungnya. Lalu syarafnya mengirimkan ke otak dan merespon seperti pernah mengenali parfum itu."Sepertinya kita pernah bertemu Nona."Senja menarik napas panjang. Berusaha menetralkan debaran jantungnya yang masih bertalu, ia menoleh ke belakang."Maaf, Tuan salah kira. Saya baru pertama kerja di sini.""Sela. Tolong layani pelanggan di depan ya, tambah ramai nih!" seru teman Senja. Kedua perempuan bertopeng itu berlalu meninggalkan Adam yang termangu. Entah kenapa begitu mencium aroma parfum segar tadi, benaknya terlintas wajah mahasiswanya yang ditemui tadi siang. Siapa lagi kalau bukan Senja."Ckk. Apa-apaan ini, kenapa aku malah teringat gadis itu." Adam membuang napasnya kasar. Ia segera kembali ke tempat duduknya tadi."Adam, kamu kemana aja? Aku nyari-nyari tadi. Lho perut kamu kenapa?" Reva dengan suara manjanya terlihat begitu mengkhawatirkan Adam. Perem
"Kamu kenapa, Ja?" Fifi sudah menghentikan langkah Senja yang terseok menuju arah kantin."Ada masalah lagi dengan Seno?" Senja menggeleng. Raut mukanya masih suram."Sama Pak Adam?""Huaaah, tahu nggak sih, Fi. Ini ulah beliau. Bikin kesel. Nambah kerjaan, kan. Mana nanti malam disuruh ngerjainnya. Besok ketemu beliau lagi." Senja memghentakkan kaki sambil pura-pura menangis di depan Fifi. Sahabatnya yang sudah hafal sifat Senja hanya menggelengkan kepala."Bagus, kan?" celetuknya."Apa?! Kamu bilang bagus? Bagus dari mana?" ucap Senja tidak terima."Ya baguslah Pak Adam ngelakuin itu. Berarti kamu disuruh revisi segera biar cepat sidang.""Lalu apa ini? Coretannya banyak sekali. Mana sempat aku revisi dalam semalam.""Iya sih, Pak Adam tega juga ya? Melebihi Pak Pram," lirih Fifi. Ia tidak mau membuat Senja tambah kesal.Senja meletakkan berkas skripsinya di meja. Ia sudah meletakkan kepala di atas dua tangannya yang bersedekap di meja. Menatap Fifi yang kebingungan mau menghiburnya
"Ya Rabb, kenapa Pak Adam ke sini lagi. Hobi banget sih berduaan di tempat beginian. Nggak ngerti apa memang orangnya mudah dikibulin sih. Jelas-jelas kalau malam hari ceweknya gandengan sama lelaki lain, hufh." Senja membetulkan topeng yang dipakainya untuk menghilangkan kecanggungan. Ia sudah menggumam sendiri tak jelas sambil menuju meja bar."Pesan apa, Dam? Biar pelayan tambahkan.""Biar aku ke sana pesan sendiri. Kamu tunggu di sini, Rev." Reva mengangguk. Ia menikmati musik yang sudah mulai membuat hasr*t berjogetnya mencuat. Ia pun tidak melewatkan kesempatan untuk bergabung dengan para pengunjung yang sudah berjoget lebih dulu.Sementara itu, Adam mengikuti langkah Senja yang terlihat seperti menghindari dirinya."Mbak, saya mau nambah pesanan teman.""Huh, teman. Kekasih kok bilangnya teman. Lelaki memang suka begitu ya biar nggak kelihatan sudah sold out," gerutu Senja. Entah kenapa ia malah kesal dengan sikap Adam yang berbohong."Maaf, Tuan bisa menambahkan di sini. Teman
Senja kelabakan mendengar ucapan Adam. Ia memang ceroboh tidak membaca lagi draft yang sudah di print. Ia bermaksud mengambil draft yang sedang dipegang Adam. Namun, dosennya itu tidak berniat melepaskan draftnya. Satu tangan kiri Adam justru menarik tangan kanan Senja."Tanganmu sudah diobati semalam?"Senja tertegun mendengar ucapan Adam. Hampir saja ia tersedak ludahnya sendiri. Matanya sudah tidak berani menatap lawan bicaranya. Segera ia menunduk lalu mengambil dengan cepat berkasnya. Beruntung dosennya sudah tidak memegangnya dengan erat. Sebab satu tangannya melepaskan draftnya."Maaf, Pak Adam membicarakan apa, ya?" Senja mencoba pura-pura tidak mengerti. Namun, kening Adam justru bertaut dan bibirpun tertarik sedikit ke samping."Ckk, gadis ini masih mau berkilah.""Sudahlah, Ja. Buat apa kamu bekerja di kafe itu malam-malam, huh? Saya jelas bisa mengenali gadis bertopeng tadi malam. Kamu harusnya menyelesaikan kuliahmu, bukan malah nyambi di sana. Kamu tahu kan di tempat itu
"Yang benar saja, Bapak sudah nekat. Ngapain juga saya harus pura-pura? Kan sudah ada Nona Reva. Lagian berbihing sama orang tua dosa, Pak. Saya nggak mau kena getahnya.""Reva belum siap, jadi kamu yang menggantikan.""TIDAK!""IYA!""Saya nggak mau Pak Adam yang terhormat.""Saya nggak terima penolakan. Tiga hari tiga malam segera beri jawaban atau saya carikan dosbing lain.""Ckk, dasar pemaksa."*****Sejak pertemuan dengan dosennya di kampus siang itu, Senja tidak tenang. Bayangan kelulusan yang terhambat selalu menghantui. Ini sudah dua hari yang berarti tinggal sehari dari batas yang diberikan Adam."Aku harus gimana, Fi? Buruk nih, buruk nasibku ganti dosbing." Berkali-kali Senja memukul meja di kantin. Fifi hanya mengulas senyum. Dengan sabar ia menunggu Senja melampiaskan emosinya."Fi, jangan cuma senyum dong. Bantuin aku mikir.""Lha gimana? Aku juga ga punya uang pribadi yang banyak, Ja. Gimana kalau kamu terima saja tawaran Pak Adam. Lagian cuma pura-pura juga." Fifi sebe