"Ya Rabb, kenapa Pak Adam ke sini lagi. Hobi banget sih berduaan di tempat beginian. Nggak ngerti apa memang orangnya mudah dikibulin sih. Jelas-jelas kalau malam hari ceweknya gandengan sama lelaki lain, hufh." Senja membetulkan topeng yang dipakainya untuk menghilangkan kecanggungan. Ia sudah menggumam sendiri tak jelas sambil menuju meja bar.
"Pesan apa, Dam? Biar pelayan tambahkan.""Biar aku ke sana pesan sendiri. Kamu tunggu di sini, Rev." Reva mengangguk. Ia menikmati musik yang sudah mulai membuat hasr*t berjogetnya mencuat. Ia pun tidak melewatkan kesempatan untuk bergabung dengan para pengunjung yang sudah berjoget lebih dulu.Sementara itu, Adam mengikuti langkah Senja yang terlihat seperti menghindari dirinya."Mbak, saya mau nambah pesanan teman.""Huh, teman. Kekasih kok bilangnya teman. Lelaki memang suka begitu ya biar nggak kelihatan sudah sold out," gerutu Senja. Entah kenapa ia malah kesal dengan sikap Adam yang berbohong."Maaf, Tuan bisa menambahkan di sini. Teman saya yang akan melanjutkan. Saya harus off sebentar." Senja terburu meninggalkan Adam yang termangu."Ckk, apa gadis itu sengaja menghindariku karena masalah foto kemarin. Jangan-jangan dia belum menghapusnya.""Silakan pesanannya yang mau ditambahkan, Tuan." Teman Senja sudah menggantikan melayani Adam. Lelaki itu menulis dengan cepat pesanannya. Ia lalu bertanya kemana arah Senja pergi. "Pelayan yang tadi udah mau pulang, Mbak?""Oh tidak, Tuan. Sela cuma izin sebentar buat ngerjain tugas. Dia kerja part time di sini.""Tugas?! Dia anak sekolah?""Bukan, Tuan. Dia mahasiswa." Adam mengernyitkan dahinya. Ia lalu berterimakasih pada pelayan. Selesai menambah pesanan, Adam bukannya balik ke meja semula. Ia justru membuntuti Senja."Aargh. Lepaskan!""Ayolah, Nona! Mau kemana? Ayo berdansa denganku! Berapapun aku bayar."Senja berusaha mengibaskan lengannyayang dicengkeram oleh lelaki bertubuh gempal. Lelaki itu sedikit sempoyongan. Senja bisa mencium aroma alkohol yang keluar dari mulut lelaki itu. "Ishh. Menjij*kkan," gerutu Senja. Namun, bukannya melepaskan lelaki itu justru mencengkeram erat. Senja merasakan perih di tangan kanannya akibat goresan kuku tajam lelaki itu. Baru saja ia hendak membalas dengan tangkisan sebuah suara bariton menghentikannya."Lepaskan gadis itu! Dia milik saya!" Adam sudah melepas paksa cengkeraman lelaki tadi. Sebenarnya mudah saja bagi Senja buat melawannya. Sebab lelaki itu sudah hilang separuh tenaganya karena mabuk."Oh, gadis ini milik Anda. Sorry, Bro," ucap lelaki itu sambil berlalu. Senja hanya melongo melihat sikap Adam."Ckkk, kenapa Pak Adam membuntutiku. Dia bukan menolong malah menyulitkanku. Gimana ini kalau aku ketahuan." Senja hanya meringis. Tangan Adam masih merangkul bahu Senja. Ia bisa melihat wajah Senja menyandar di dadanya seolah begitu tenang dan nyaman. Aroma parfum Senja menguar kembali menusuk hidung Adam. Lelaki itu langsung tersadar dan melepaskan rankulannya."Maaf. Nona tidak apa-apa?""Tidak Tuan, terima kasih." Senja secepat kilat merasa perlu kabur. Ia segera melangkah menuju ruang yg bertuliskan staf only. Adam hanya tertegun dibuatnya. Ia merasa telapak tangannya basah lalu melihat ada noda darah di tangannya."Tunggu Nona!" Belum sampai Senja menutup pintu, ia merasa terusik kembali oleh panggilan Adam."Tangan Nona terluka!" Senja melihat lengannya yang terasa nyeri. Goresan tadi ternyata mengeluarkan darah. "Ya, makasih. Saya bisa mengobatinya." Senja masuk ke ruang pegawai lalu menutup pintunya. Ia menyandar di pintu sambil mengusap dadanya yang berdebar kencang. "Untung aku nggak ketahuan Pak Adam." Senja menghela napas panjang. Ia merasa sedikit lega."Semoga gadis itu tidak apa-apa," ucap Adam di luar ruangan.*****Esok harinya, Senja tidak berhenti menguap. Ia menahan kantuk sambil berjalan tergopoh menuju ruangan Adam. Semalaman ia lembur revisi begitu sampai di kos. Sebab di kafe, ia hanya bisa mengerjakan sedikit. Temannya tiba-tiba datang memanggil begitu banyak pengunjung yang datang."Mukaku kusut amat pagi ini," celetuk Senja sambil berkaca dengan cermin ajaibnya di depan ruang Adam.Sebuah deheman lalu menghentikan aktifitas Senja. Ia tersipu malu begitu ada Adam yang membuka pintu ruang karena hendak keluar."Pak Adam sudah tergesa?" ucap Senja terbata. Ia memang dihubungi dosennya supaya datang tepat waktu. Sebab Adam ada acara dari universitas."Ckk, saya sudah menunggu sejam yang lalu, Ja.""Eh iya, maaf Pak Adam. Saya belum terlambat, kan?" Senja melempar senyum sambil menangkupkan kedua tangannya di depan wajah seraya menunduk."Masuk!" titah Adam membuat Senja terhenyak. Pagi ini Senja terlihat memakai kemeja floral dengan lengan tiga perempat dipadu celana kain. Ia berharap pakaiannya bisa mengaburkan suasanya hatinya yang masih merindukan bantal di kamar kos. Dipadu parfum kesukaannya yang menyegarkan mampu membuatnya rileks meski kantuk masih mendera."Kamu beneran sudah merevisinya semalam, Ja?""Iya benar kok, Pak.""Serius?" Adam masih mencecar Senja yang berkali-kali menguap hingga membuat perempuan berambut sebahu yang dikicir itu sedikit jengah. Ia lalu menarik napas panjang."Bapak nggak percaya?" Senja memberanikan diri menatap lawan bicaranya. Namun, yang ditatap justru membalas dengan tatapan tajam. Senja pun terhenyak, apalagi Adam. Lelaki itu segera mengalihkan pandangan ke bawah lalu pura-pura membaca draft."Sebaiknya kamu baca lagi sebelum diserahkan ke saya, Ja. Ini namanya kamu membuang waktu harus kerja dua kali."Senja makin dibuat kesal oleh Adam. Ia hanya bisa menahan emosi dengan meraup oksigen banyak-banyak."Pak Adam yang terhormat. Saya beneran mengerjakannya semalam. Bapak nggak percaya?""Ya, saya tahu kamu mengerjakannya, tapi disambi-sambi ngerjain yang lain. Iya, kan?""Yang penting selesai kan, Pak?""Bukan selesai, Ja. Tapi yang kamu print ini draft yang sama dengan kemarin.""Hah?! Masak sih, Pak?"Senja kelabakan mendengar ucapan Adam. Ia memang ceroboh tidak membaca lagi draft yang sudah di print. Ia bermaksud mengambil draft yang sedang dipegang Adam. Namun, dosennya itu tidak berniat melepaskan draftnya. Satu tangan kiri Adam justru menarik tangan kanan Senja."Tanganmu sudah diobati semalam?"Senja kelabakan mendengar ucapan Adam. Ia memang ceroboh tidak membaca lagi draft yang sudah di print. Ia bermaksud mengambil draft yang sedang dipegang Adam. Namun, dosennya itu tidak berniat melepaskan draftnya. Satu tangan kiri Adam justru menarik tangan kanan Senja."Tanganmu sudah diobati semalam?"Senja tertegun mendengar ucapan Adam. Hampir saja ia tersedak ludahnya sendiri. Matanya sudah tidak berani menatap lawan bicaranya. Segera ia menunduk lalu mengambil dengan cepat berkasnya. Beruntung dosennya sudah tidak memegangnya dengan erat. Sebab satu tangannya melepaskan draftnya."Maaf, Pak Adam membicarakan apa, ya?" Senja mencoba pura-pura tidak mengerti. Namun, kening Adam justru bertaut dan bibirpun tertarik sedikit ke samping."Ckk, gadis ini masih mau berkilah.""Sudahlah, Ja. Buat apa kamu bekerja di kafe itu malam-malam, huh? Saya jelas bisa mengenali gadis bertopeng tadi malam. Kamu harusnya menyelesaikan kuliahmu, bukan malah nyambi di sana. Kamu tahu kan di tempat itu
"Yang benar saja, Bapak sudah nekat. Ngapain juga saya harus pura-pura? Kan sudah ada Nona Reva. Lagian berbihing sama orang tua dosa, Pak. Saya nggak mau kena getahnya.""Reva belum siap, jadi kamu yang menggantikan.""TIDAK!""IYA!""Saya nggak mau Pak Adam yang terhormat.""Saya nggak terima penolakan. Tiga hari tiga malam segera beri jawaban atau saya carikan dosbing lain.""Ckk, dasar pemaksa."*****Sejak pertemuan dengan dosennya di kampus siang itu, Senja tidak tenang. Bayangan kelulusan yang terhambat selalu menghantui. Ini sudah dua hari yang berarti tinggal sehari dari batas yang diberikan Adam."Aku harus gimana, Fi? Buruk nih, buruk nasibku ganti dosbing." Berkali-kali Senja memukul meja di kantin. Fifi hanya mengulas senyum. Dengan sabar ia menunggu Senja melampiaskan emosinya."Fi, jangan cuma senyum dong. Bantuin aku mikir.""Lha gimana? Aku juga ga punya uang pribadi yang banyak, Ja. Gimana kalau kamu terima saja tawaran Pak Adam. Lagian cuma pura-pura juga." Fifi sebe
"Fi, di mana kamu?"Senja sudah sampai di sebuah bangunan gedung tinggi. Katanya kantor baru tempat Fifi kerja. Ia masih menunggu pesan singkat yang belum dibalas sahabatnya.Ting."Masuk aja, Ja! Parkirkan motorku di tempat yang pas. Jangan sembarangan parkir!"Melihat pesan balasan dari Fifi membuat Senja tergelak. Ia menahan tawa, tentu saja menertawakan dirinya sendiri. Suka ceroboh memarkirkan motor temannya saat di kampus atau di manapun."Stop! Stop dulu, Mbak!""Ah iya, maaf, Pak.""Mbak ada perlu ke kantor ini?" tanya satpam dengan muka serius. Senja yang tadinya kaget lantas mengobral senyum."Eh, itu, Pak. Saya ingin melamar kerja.""Maaf di sini nggak ada lowongan kerja, Mbak. Dua minggu yang lalu sudah ditutup lowongannya. Malahan udah ada yang masuk kerja karyawan yang diterima." Ungkapan satpam membuat Senja mengerutkan kening. "Bapak nggak bohong sama saya, kan?" ujar Senja sambil memainkan telunjuknya di depan wajah."Lha, mana mungkin saya berbohong. Itu coba baca p
"SENJA!" "Apa sih, Fi?" Senja merasa tidak ada yang janggal sementara Fifi justru tidak enak hati diperhatikan Restu sambil senyum sedari tadi."Ini Pak Restu bos aku. Bisa sopan nggak sih?"Senja membelalak sempurna. Urat malunya seolah putus, ia mati-matian sksd dengan lelaki ini di depan pos satpam. Ternyata lelaki yang dimaksud adalah bos di kantor ini. Menarik napas panjang, ia mengukir senyuman semanis madu."Selamat pagi Pak Restu," ucap Senja dibuat sebisa mungkin tidak gugup. Sambil memberi kode dua jarinya yang diangkat. Sontak saja Fifi menyikut sahabatnya yang sudah membuatnya malu benar."Kamu karyawan baru, bukan?" tanya Restu masih dengan mengul*m senyum. Tatapannya mengarah ke Fifi yang reflek menunduk. Senja justru mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan Restu. Tentu saja ini mengingatkannya saat di kantor Opa Zein."Iya, Pak. Saya Fifi. Ini teman saya Senja Kamila yang ingin mengisi lowongan sebagai cleaning service." Fifi menoel lengan Senja yang pandangann
Senja berangkat mengikuti kajian di salah satu masjid besar di kota Bandung. Ia sudah janjian dengan Fifi seperti biasa mengikuti kajian ustad Akbar idolanya."Hai, Ja. Di sini." Fifi terlihat melambaikan tangan setelah Senja memarkirkan motor."Naik apa tadi, Fi?""Dianter Andre. Dia langsung ke kafe.""Kalian ini nempel terus. Buruan dihalalin, takut kelamaan bosan nanti," celetuk Senja."Nunggu tabungan ngumpul dulu lah," balas Fifi cekikikan sambil merapikan pasminanya. Ia membuka tas selempangnya lalu menyerahkan satu lagi pasmina yang dipinjam Senja. Keduanya mencoba merapikan di sisi samping masjid dekat toilet."Ini kan pasmina mahal. Apa Fifi sebenarnya orang kaya? Kenapa ngaku orang nggak punya," batin Senja. Ia jelas tahu pasmina bermerk yang dibawa Fifi. Pasmina yang juga sering dipakai mama sama omanya."Gimana sih, susah amat pasminamu, Fi.""Ckk, kamu aja yang belum terbiasa, Ja." "Kayaknya besok beli jilbab yang langsung pakai aja, Fi. Repot pakai beginian. Yang kemari
Seminggu berlalu terasa cepat. Senja sudah mewanti-wanti dirinya agar tetap tenang. Namun, apa saja yang dikerjakan serba salah karena gugup. Ucapan Adam terngiang-ngiang di telinganya. "Ja. Yang ini belum lengkap snacknya. Nah ini malah dobel," tegur Fifi. "Maaf, Fi. Maaf." "Kamu kenapa salah-salah terus dari tadi. Biasa ceroboh tapi nggak ceroboh juga kalau soal makanan," ledek Fifi. Reflek Senja menyengir kuda. "Habisnya Pak Adam bikin otakku buntu tahu, nggak? Mana hari ini beliau minta aku ke rumahnya." Tawa Fifi seketika meledak. Senja pun bertambah kesal dibuatnya. "Kamu malah ikutan meledek sih, Fi." "Siapa suruh buat kesepakatan konyol sama Pak Adam?" "Uang, Fi. Demi uang buat bayar utang." "Iya-iya. Terima aja kalau gitu. Toh cuma pura-pura juga. Kalau beneran ya rejeki kamu, Ja." "What?! Rejeki apaan, yang ada aku rugi tahu nggak. Rugi waktu dan tenaga ditambah dosa berbohong sama orang tuanya." "Ya udah niatin yang baik aja biar nggak jadi dosa." "Gimana caran
"Hah?!" Dua kakak adik reflek matanya membola. Sementara itu, Senja hanya berkomat kamit sambil menunduk. Salah sendiri, ia menerima kesepakatan dua laki-laki muda di depannya hanya demi sejumlah uang untuk melunasi utang modal bisnis. Kesepakatan untuk menjadi kekasih bayaran. Ternyata lelaki itu kakak adik. "Sini, mana calon yang mau kalian kenalin ke Umi? Katanya hari ini mau kalian ajak ke rumah." "Ini Mi calonnya," tunjuk Adam dan Restu bersamaan ke arah Senja. Umi Nayla pun terperanjat mendengar ungkapan kedua putranya. "Astaga, kenapa aku terlibat masalah rumit begini. Ingin rasanya bumi menelan bulat-bulat hingga aku menghilang dari dua laki-laki yang menyusahkanku." Senja meringis sambil menangkupkan kedua tangan. Ia melihat Umi Nayla syok. "Siapapun tolong bawa aku kabur dari sini!" "Ckk, kalian ini nggak usah mengarang. Ayo Sela ikut saya!" Baik Adam dan Restu hanya melongo sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Nayla dengan santainya mengajak masuk Senja ke rumah.
"Antar saja saya ke kafe." Adam tertegun mendengarnya. "Mau ngapain di sana? Meluapkan emosi? Nggak! Nanti kamu malah minum-minum nggak jelas. Udah pulang aja ke kos." "Pak Adam nggak ngerti perasaan saya. Saya bilang antar ke kafe. Kalau nggak mau, saya turun saja." Senja mencoba membuka pintu mobil tapi terkunci otomatis. Ia menggedor-gedor sambil marah-marah. Adam lalu menepikan mobilnya. "Bilang dulu kamu mau ngapain di sana? Baru saya antar. Saya nggak mau hal buruk terjadi menimpa kamu." Senja menoleh ke samping menatap lelaki yang baru saja mengucapkan kalimat perhatian. "Pak Adam nggak usah pura-pura perhatian sama saya. Itu nggak masuk dalam skenario tahu, nggak?" sungut Senja. Adam pun tergelak melihat raut wajah lucu Senja yang tidak pernah ia duga. "Kenapa tertawa? Meledek, ya?" "Habisnya kamu lucu persis kayak anak kecil yang nggak dibelikan es krim ibunya." "Ckkk, menyebalkan." Semakin Senja marah, Adam justru semakin terhibur. Tawa lepasnya tak terbendung me