Share

Pindah Ke Apartemen

“Ayo cepat! Tunggu apa lagi?” Abian menyentak kesal Diana saat gadis itu masih bergeming di depan pintu kamar sambil menenteng tas berisi baju miliknya. Dia sudah bosan menunggu, tapi Diana malah bersikap tidak tahu diri seperti itu.

“Aku mau pamitan dulu sama Kakek. Aku belum sempat bertemu dengan kakek lagi.”

Akhirnya Diana menjawab setelah sekian lama pura-pura bisu. Abian cukup tersentak. Ternyata suara Diana begitu imut dan halus selayaknya gadis belia. Sayang saja mukanya terlalu buluk untuk ukuran gadis 19 tahun.

“Kakek tidak ada di rumah! Dia mendadak ada urusan. Pamitnya lain kali saja,” desak Abian. Dia harus segera tiba di apartemen baru mereka karena Abian ada janji temu dengan Miranda pukul tujuh nanti. Miranda pasti akan mengamuk kalau ia telat satu detik saja.

“Lah, malah diam! Ternyata selain bisu kamu juga tuli?” ejek Abian makin dibuat kesal. Matanya menatap tajam. Dia melempar sorot kebencian yang terkesan begitu mengintimidasi Diana.

Gadis itu sendiri merasa ragu meninggalkan tempat ini tanpa berpamitan dulu pada Kakek Bram. Bagaimanapun juga ia harus minta maaf dulu karena kemarin sempat salah sangka.

Dia sempat memaki Kakek Bram sebagai tua bangka mesum hanya karena dia membangunkan Diana untuk menyuruhnya makan di rest area. Diana menyesali perbuatannya itu. Setidaknya dia harus minta maaf sebelum pergi meninggalkan tempat ini.

“Baiklah. Kalau kamu tidak bisa diajak bicara pakai bahasa manusia terpaksa aku harus menggunakan bahasa yang lain agar kamu mengerti!”

Abian yang merasa geram langsung menarik tangan Diana dengan kasar. Diana tersentak dan nyaris jatuh.

Gadis itu harus melangkah susah payah karena masih menggunakan baju kebaya yang cukup berat dan ketat. Abian bahkan tak memberi waktu pada Diana untuk berganti baju terlebih dahulu. Dia masih menggunakan kebaya nikah, lengkap dengan dandadan aneh yang memperlihatkan dirinya seperti tante-tante jompo.

“Dasar manusia tidak tahu diri. Sudah jelek, lelet, menyusahkan pula!” omel Abian.

Sesampainya di depan mobil Abian langsung mendorong Diana ke pintu samping. Dia melempar tas Diana ke belakang lalu duduk di kursi kemudi.

Mobil melesat cepat di mana Diana merasa berat meninggalkan tempat itu. Ia tidak yakin Abian tidak bisa diajak kerja sama. Dari cara memperlakukan saja Diana bisa menebak kalau Abian adalah sosok pria jahat. Mungkin saja Diana akan dipukuli setiap hari seperti saat masih tinggal dengan ayahnya, Firman.

***

***

Ternyata jarak kediaman Mahendra dengan apartemen tidak begitu jauh. Hanya menempuh perjalanan menggunakan mobil setengah jam dan mereka sudah tiba di lokasi apartemen.

Diana menatap gedung tinggi menjulang sesaat mobil mulai memasuki area parkir. Gadis itu melirik Abian. Diana ingin bertanya sesuatu tapi dirinya sudah berjanji hanya akan bicara dengan Abian di waktu-waktu tertentu.

Jika Abian bisa merendahkan dan mengejeknya, maka Diana bisa menganggap tak mendengar semua kata jahat yang diucapkan oleh Abian.

“Huh, laki-laki itu menyebalkan sekali! Aku baru pertama kali ini melihat lelaki semenyebalkan dia. Apa sifat orang kota memang seperti itu?” Diana menghembuskan napas kasar karena Abian berjalan lebih dulu meninggalkannya. Gadis itu harus menggunakan tenaga ekstra supaya bisa jalan cepat dengan outfit yang terbatas seperti ini.

Sesampainya di apartemen, Abian langsung mendesah marah. Diana hanya memperhatikan punggung lelaki itu dari arah belakang.

“Sudah aku tebak! Kakek pasti sudah memperhitungkan semuanya!” Abian berbalik badan. Menatap intens pada Diana yang masih menenteng tas di depan pintu.

“Kamar di apartemen ini hanya ada satu. Sepertinya ini adalah rencana kakek supaya kita bisa tidur satu kamar!”

Diana tak menjawab. Dia menunggu ucapan Abian berikutnya sambil mengerutkan dahi.

“Jangan berpikir macam-macam! Aku tidak mungkin berbagi kamar denganmu. Jadi aku harap kamu tahu diri. Kamu bisa tidur di sofa itu.” Tangannya menunjuk ke arah sofa.

Gadis itu melirik sebuah sofa panjang dengan ukuran 2 kali 2 meter yang seharusnya dipakai untuk ruang tv. Sofa itu jauh lebih bagus daripada tikar lantai yang selama ini dipakai tidur oleh Diana selama tinggal di kampung.

Gadis itu pun mengangguk. Membuat Abian tercengang karena tak ada penolakan sama sekali.

“Bagus! Kamu bisa memanfaatkan laci kosong yang ada di ruangan ini untuk tempat bajumu. Di situ juga bisa. Toh bajumu hanya baju-baju murahan kan?” Mata Abian tertuju pada sebuah laci yang terletak di dekat sofa.

“ ….” Diana masih tak menjawab.

“Kenapa diam? Kamu tidak terima? Apa jangan-jangan kamu sedang berpikir ingin tidur sekamar denganku?”

Lagi-lagi Diana tidak menjawab. Dia hanya menatap santai pada lelaki bawel itu.

“Hmm. Si bisu ini! Jika ada barang-barang di sana kamu bisa memindahkannya. Aku masuk ke kamar dulu.” Abian lekas menarik dua kopernya menuju kamar tanpa memedulikan Diana.

Sementara Diana langsung berjalan menuju laci itu. Beruntung laci itu dalam keadaan kosong sehingga Diana bisa memasukan 4 stel baju yang dibawakan ayahnya dari kampung. 4 baju itu adalah baju paling bagus yang Diana punya.

“Sebenarnya sofa ini jauh lebih bagus dari tempat tidurku yang di kampung. Cuma aku tidak nyaman tinggal dengan monster aneh itu!” gumam Diana sambil melirik pintu kamar Abian.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Kasihan Diana dihina terus sama mulut mercon si Abian
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status