“Kalau aku sudah tidak dibutuhkan di sini, aku akan pergi.” Marissa beranjak dari tempat duduknya, ia menggenggam tas yang semula diletakkan di atas meja. “TUNGGU!” cegah Deniz dengan suara yang lantang.Marissa menghentikan langkahnya, kepalanya menoleh tanpa melihat ke arah Deniz. Ia meremas tas yang semula digenggamnya dengan erat, sampai di mana Deniz telah mengarahkan kursi roda yang didudukinya ke hadapan Marissa. “Ikut denganku,” kata Deniz tanpa menengok ke belakang, ia menjalankan kursi roda miliknya secara otomatis. Wajah pria itu terlihat pucat, keadaannya tak jauh berbeda dengan Marissa. Ia lebih terguncang dari yang terlihat, hanya saja Deniz terlalu pandai menyimpan rasa sakit hatinya. “Memangnya ada apa?” gumam Marissa dengan sendirinya. Tapi tidak ada jawaban dari Deniz, pria itu terus saja menjalankan kursi roda miliknya menyusuri lorong rumah sakit.Marissa diam sejenak, ia mematung sambil melihat kepergian Deniz yang bersikap dingin dari awal pertemuan mereka. La
Pagi buta Marissa bergegas, ia menyiapkan semua bahan baking untuk diolah menjadi roti gandum yang lezat. Ia sudah berdiri di depan sebuah meja panjang stainless yang berada di dapur belakang, “Mario, apa kamu sudah cek semua bahan?” tanya Marissa yang sudah mengenakan apron berwarna gelap.Pria muda dengan kisaran usia 19 tahun itu menoleh, ia memegang satu buah paprika berwarna merah. “Saya rasa sudah Madam,” “Bagus,” Marissa mengangguk kecil. Tampak terlihat di wajahnya begitu sumringah, ketika mendapati usaha yang telah ditekuninya kembali berjalan lancar sejak satu tahun yang lalu.Marissa pun kembali melanjutkan aktivitasnya untuk menakar semua adonan sesuai tekstur yang diinginkan. “Jam 7 tepat kita akan membuka toko, apa kalian bisa melakukannya dengan baik?” “Ya, Madam,” jawab Kay, gadis berusia 17 tahun yang sedang magang di tempat Marissa. Lebih tepatnya, Marissa mempekerjakan Kay secara paruh waktu untuk membantu membayar tunggakan biaya sekolahnya.“Aku bisa mengandalka
“Apakah Kevin sudah datang?” Bola mata Marissa memindai keadaan sekeliling. Ia tidak menjumpai tunangannya, Kevin Aldous Benneth. Ruang tunggu Galeri Antalya terlihat sepi, hanya beberapa pasang calon pengantin yang sedang melihat desain terbaru galeri tersebut. "Kenapa kalian diam saja? Apa ada sesuatu yang kalian sembunyikan dariku?" Marissa menatap satu persatu karyawan Galeri Antalya, wajah mereka terlihat pucat pasi. Marissa dan Kevin telah sepakat, jika tepat jam 2 siang akan melakukan fitting baju pengantin di salah satu galeri ternama di pusat kota. Tapi saat Marissa sudah tiba di lokasi, entah mengapa ia merasa ada sesuatu yang tidak biasa. Bahkan dari sekian karyawan di sana, tidak ada satupun yang angkat bicara. “Nona, Nona, tunggu!” cegah salah satu karyawan tersebut ketika melihat Marissa melanjutkan langkahnya ke dalam galeri. “Ya! Ada apa? Kenapa dengan kalian hari ini ….?" kedua tangan Marissa direntangkan dengan bebas. Tampak dahinya berkerut karena merasa heran d
“Sudah lama aku ingin menyampaikan hal ini kepadamu. Tapi aku masih menghormati posisimu di dalam keluarga, Sawyer.” Perlahan Kevin berusaha menjelaskan alasannya, ia tidak ingin disalahkan begitu saja. “Bicaralah! Sebelum kesabaranku habis,” tantang Marissa dengan bola mata yang bergerak tak tenang. Marissa Sawyer, gadis muda berusia 27 tahun itu telah sukses menjadi seorang CEO di bidang konstruksi. Perusahaan milik keluarganya itu hampir saja gulung tikar sebelum Marissa terjun untuk mengelola sendiri. Gadis itu menjadi pribadi yang mandiri dan kuat seiring berjalannya waktu. Hingga setahun yang lalu, dia bertemu dengan Kevin dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Dan kisah indah itu, harus berakhir seperti sekarang ini. "Ikut aku!" tiba-tiba saja, Kevin menarik tangan Marissa agar bersedia ikut dengannya. "Hei! Apa-apaan ini?" Marissa hampir saja terjungkal saat ia tidak bisa mengimbangi langkah Kevin yang lebar. Mereka melewati para karyawan yang tidak bisa berbuat banyak k
“Apa kamu gila, Marissa?” Kevin mencoba meminta penjelasan pada, Marissa. Gadis itu melihat ke arah Kevin tanpa mengatakan apapun. Ia diam dengan tatapan yang datar. Posisinya tetap sama, berdiri di hadapan Deniz yang baru saja dilamar agar bersedia menikah dengannya. Deniz Ansel Ghazy, pria berusia 28 tahun itu tidak menyangka bertemu kembali dengan teman masa lalunya—Marissa Sawyer. Ia melihat sosok Marissa yang tidak banyak berubah kecuali, semakin dewasa. “Tidak. Aku tidak gila, justru aku yang melihatmu seperti orang gila.” Sahut Marissa yang berpura-pura mengacuhkan pria itu. “Apa kamu mengenalnya?” tanya Deniz pada, Marissa. Gadis berpostur 165 centimeter tersebut menoleh, ia memanyunkan bibirnya sejenak. Marissa nampak berpikir, lalu dia menggeleng pelan. “Tidak. Aku tidak mengenalnya,” jawab Marissa dengan santai. “Baiklah kalau begitu. Ayo kita pergi dari sini!” ajak Deniz sambil menyodorkan lengannya pada, Marissa. Pria itu berharap agar Marissa segera melingkarkan t
“Apa yang bisa diharapkan dari perawan tua sepertimu? Mendapatkan pria kaya raya dan hidup enak layaknya kisah Cinderella?” Kevin tertawa lepas saat mendengar penjelasan dari, Marissa. Gadis itu mundur satu jengkal ketika Kevin berusaha merangsek di hadapannya. Dengan perlahan Marissa menurunkan jari telunjuk, Kevin. “Apa kamu takut, Kevin?” sindir Marissa dengan senyuman mengejek. Kevin salah tingkah, bola matanya bergerak tak tentu arah. “T-Tidak! S-Siapa yang takut? A-Aku, takut padamu? Jangan konyol, Marissa!” Kevin mengelak, saat tuduhan Marissa tepat pada sasaran. Pria itu tertawa kecil untuk menutupi perasaan was-was yang tiba-tiba saja menyergapnya. “Ayolah, Marissa! Jangan buang-buang waktu dengan percuma! Bukankah aku telah memberikan pilihan terbaik untukmu?” kata Kevin yang mencoba untuk mengalihkan percakapan yang menurutnya tidak berarti. “Pilihan terbaik? Pilihan terbaik apa?!” dahi Marissa berkerut tanda tidak mengerti. “Aku akan menjamin hidupmu jika kamu menja
“Dasar gadis aneh! Aku sekarang suami kamu. Bisa tidak, bersikap manis sedikit saja?” Deniz menahan rasa sakit yang diakibatkan oleh tendangan maut, Marissa. Ia melirik ke sebelah, di mana gadis yang baru saja dinikahinya itu duduk dengan wajah cemberut. Benar saja, Marissa menyilangkan kedua tangannya di depan dada dengan raut wajah yang tidak dapat Deniz deskripsikan. “Tapi kenapa harus kamu? Kenapa Tuhan mengirim kamu sebagai jodohku?” ujar Marissa yang membuat pria itu melebarkan kelopak matanya. “T-Tunggu! Apa maksud dari ucapanmu itu, Nona?” Deniz tersinggung, ia meminta penjelasan dari, Marissa. “Ya itu lah. Seharusnya Tuhan tidak memilih kamu untuk menggantikan, Kevin.” Jawab Marissa dengan begitu polosnya. “Hei, Nona! Memangnya apa kekuranganku?” Deniz tidak terima, ia membuka kedua tangannya. Marissa menoleh, ia memindai sosok pria tersebut dari atas kepala sampai ujung kaki. Kemudian Marissa mengalihkan pandangannya ke depan, ia menghempaskan punggungnya pada sandaran
“Kamu dapatkan gadis itu dari mana? Apa kamu membayarnya agar bersedia memenuhi apa yang diinginkan oleh ayahmu?” Suara sumbang itu terdengar begitu menyakitkan di telinga, Marissa. Bisa-bisanya saat ia baru melangkahkan kaki di kediaman keluarga suaminya, Marissa mendapatkan penyambutan yang tidak pernah ia duga.“Apa dia ibumu? Dia menganggapku sebagai wanita murahan yang kamu bayar agar ….”“Diam dulu! Jangan banyak tingkah di sini! Aku sudah menyelesaikan masalahmu, sekarang kamu harus memenuhi janji padaku.” Deniz menyela kalimat yang diucapkan oleh, Marissa. Seketika itu juga Marissa terdiam. Ia melirik tajam ke arah suaminya, lalu ia pun bermonolog dengan dirinya sendiri. “Sial! Dia pikir aku wanita penghibur?”Gadis itu memalingkan muka, ketika wanita berpenampilan paripurna itu memandangnya tanpa berkedip. Marissa mendengus dengan kasar, rasanya ia ingin maju ke depan dan menjambak rambut wanita tersebut tanpa ampun.“Aku datang ke sini tidak untuk bertemu denganmu. Di mana