Share

Bab II

“Kamu tumben agak terlambat, Mi?”

Mia menoleh dan meringis mendapati rekan kerjanya telah berganti pakaian dengan seragam. Hari ini malam minggu, dan sayangnya, berbarengan dengan salah satu tanggal paling romantis dalam satu tahun, yakni 14 Februari. DI sepanjang jalan, banyak ornamen merah muda bertebaran, dengan gambar pasangan di setiap sudutnya. Cafe dan restoran yang dia lalui juga semuanya tampak penuh sesak dengan pengunjung.

Sejujurnya, Mia pun merasa sungkan karena waktu kedatangannya yang sedikit terlambat ini. Saat melintasi bagian depan cafe, dia bisa melihat bahwa antrian pengunjung untuk malam ini cukup panjang. Dia hampir bisa memastikan bahwa seluruh rekan di shift sebelumnya hanya mendapat waktu istirahat yang minim, sehingga wajar kalau mereka pun kelelahan.

“Segera ganti baju, jangan sampai shift sebelumnya mengomel karena menunggu persiapan kita yang terlalu lama,” ucap rekannya yang sudah selesai mengganti pakaian dan akan  keluar dari ruang ganti. “Hari ini kamu fokus saja melayani pengunjung. Aku dapat bagian menjaga pintu depan. Jangan lupa untuk selalu memperhatikan meja mana saja yang sudah selesai dibersihkan, karena itu bukan bagianmu.”

“Oke, Mbak. Aku ganti baju dulu, ya.” Mia melangkah cepat menuju lemari bertuliskan namanya dan mengeluarkan seragam untuk hari ini. Dia bisa melihat beberapa rekannya yang sudah selesai bertugas masuk dengan wajah bercucuran keringat.

“Jangan lupa pasang plaster di kakimu. Hari ini ramai sekali,” ucap perempuan berambut pirang dengan lemari tepat di sampingnya. “Kamu bawa kan?”

Mia tersenyum ragu mendengar ucapan rekannya. Dia lupa membawanya! Bagaimana ini? “Mbak masih punya cadangan?”

“Nggak, tadi diminta sama teman-teman yang kehabisan plaster. Kalau gitu semangat, semoga pengunjungnya tidak separah tadi.”

Mia terkekeh datar mendengar ucapan itu. Yang benar saja, di momen seperti ini, yang ada semakin malam akan semakin ramai!

***

"Mia, antarkan pesanan meja nomor lima!"

"Mia, tanyakan meja sepuluh, mereka mau sambalnya pedas, sedang, atau nggak pedas?"

"Customer baru di meja dua!"

Mia merasakan kakinya telah pegal. Mungkin juga lecet, mengingat perih yang muncul setiap kali menggerakan kaki. Namun dia juga tidak bisa mengeluh. Teman-temannya juga sama sibuknya, mengingat hari ini akhir pekan.

Mia baru mendapat giliran istirahat singkat setelah hampir lima jam bekerja tanpa henti. Cafe yang benar-benar penuh membuat mereka hanya memiliki jatah istirahat sepuluh menit yang Mia gunakan untuk menghabiskan air di botolnya. Tanpa sadar pikirannya melayang ke siang tadi, waktu dia mencoba menjual gelang peninggalan orang tuanya. Sejujurnya dia masih merasa sayang untuk kehilangan benda berharga itu. Tetapi mau bagaimana lagi, dia juga membutuhkan uang untuk melunasi hutang orang tuanya.

"Hei, kamu nggak pa-pa?" tanya seorang rekan Mia yang baru saja memasuki ruang istirahat. "Aku lihat kamu ngelamun. Lagi ada masalah?"

"Cuma masalah kecil, kok."

"Masalah kalau bisa sampai bikin kamu ngelamun gini berarti nggak kecil lho, Mi."

Mia terkekeh mendengar ucapan rekan kerjanya. Benar, dia memang jarang terlihat tidak fokus, sehingga sedikit saja bertingkah seperti ini akan menarik perhatian teman-temannya. "Aku lagi butuh uang, tapi nggak tahu harus cari ke mana."

"Hm? Memangnya uang buat apa? Ada keluargamu yang butuh operasi?"

Mia memandang temannya, ragu mau bercerita. Untungnya satu kelompok karyawan yang mendapat jatah istirahat setelah mereka telah masuk, membuat keduanya memutuskan kembali bekerja. Tidak, dia tidak bisa hanya mengandalkan orang lain untuk urusan ini. Dia harus bisa menyelesaikan masalahnya sendiri!

***

Mia memasang senyum simpul seraya meletakkan piring di atas meja. Pipinya sudah terasa kebas, saking seringnya memasang senyum formalitas hari ini. Setelah memastikan semua pesanan telah diberikan, Mia melangkah ke counter pelayan di dekat pintu masuk, berjaga jika ada pelanggan baru masuk.

"Meja nomor lima belas apa sudah dibersihkan?"

"Sudah, Mbak. Ada tiga meja yang kosong. Meja delapan tadi aku lihat masih OTW dibersihin, sih."

"Oke. Kamu siap-siap anterin mereka, ya."

Mia mengangguk sementara rekannya keluar dari cafe, meminta antrian selanjutnya untuk masuk. Mia tersenyum lebar melihat pasangan muda, sepertinya masih anak kuliahan, memasuki cafe dengan tangan berangkulan. Setelah memastikan mereka hanya datang berdua, dengan sigap Mia membawa keduanya ke salah satu sudut cafe, tempat meja dengan kapasitas dua orang.

Mia baru berjalan beberapa langkah ketika suara kasak-kusuk pengunjung menarik perhatiannya. Seorang pria dengan pakaian formal memasuki cafe seorang diri. Rambut hitamnya tertata rapi, membingkai wajah tampannya dengan sempurna. Mungkin pria itu artis, karena rasanya tidak mungkin ada orang yang menyia-nyiakan orang setampan itu lepas dari genggaman.

"Mbak, jadi kita duduk di mana?"

Mia tersentak mendengar teguran halus dari pengunjung yang seharusnya dia antarkan. Dengan cepat perempuan itu kembali berjalan, mengantarkan keduanya. "Sudah nyaman tempatnya? Saya Mia, yang akan melayani anda. Mau lihat menu dulu atau langsung pesan?"

"Sekalian aja, Mbak," balas si perempuan sebelum mengambil buku menu yang baru saja diletakkan Mia. "Lama banget antrinya, By. Aku sudah lapar."

"Untuk rekomendasi menu bulan ini, kita ada korean chicken wings, garlic bread, dan melon soda." ucap Mia, menyampaikan menu-menu rekomendasi sebagaimana aturan cafe, dengan sopan. Dengan cekatan dia mencatat setiap pesanan yang disebutkan pasangan di depannya.

Setelah mengulangi pesanan dan memastikan kedua pengunjung mendapat air mineral, Mia segera berbalik untuk memasukkan pesanan ke dalam komputer. Baru beberapa langkah berjalan, Mia merasakan pukulan keras diikuti rasa pusing mendera. Dia bahkan sempat mendengar pekikan beberapa perempuan sebelum semuanya menjadi gelap.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status