Ide pernikahan yang dilontarkan sang papa merusak mood Kalila pagi itu. Jadwal kegiatan yang telah tersusun har ini seketika ambyar. Waktu dan kesempatan berpikir yang diberikan padanya hanya formalitas. Kalila yakin seratus persen kalau papanya diam-diam sudah menerima lamaran Farhan. Semakin berpikir tentang Farhan, hati Kalila semakin meradang. Tiba-tiba ia teringat surat dari Haiyan enam bulan lalu. Ia harus segera menemui Haiyan dan meminta pria itu cepat-cepat melamarnya. Kalila yakin, Haiyan bisa menggeser Farhan dari hati Wisnu.
Mengingat Haiyan, gelisah di hati Kalila sedikit berkurang. Gadis berkulit putih dengan mata bulat itu buru-buru menghabiskan sisa teh dan beranjak mendekati meja makan. Semoga Mas Haiyan bisa membantuku, batinnya sembari membereskan bekas sarapan dengan gerakan kasar sehingga menimbulkan kegaduhan akibat piring dan gelas yang saling bertemu. Dibawanya peralatan makan itu ke dapur dan diletakkan dengan keras di atas sink. Dapur semakin riuh dengan tambahan bunyi kucuran air dari keran dan Moza, kucingnya, yang sibuk mengeong minta jatah makan.
Dering bel mengagetkan Kalila yang sedang menuang makanan kucing untuk Moza. Diletakkannya mangkuk plastik berbentuk kepala kucing di halaman belakang kemudian pergi ke ruang depan. Moodnya kembali memburuk ketika melihat bayangan tubuh Farhan dari balik jendela ruang tamu. Dilihatnya jam dinding. Sepagi ini sudah bertamu. Mana hari Minggu, lagi!
“Assalamualaikum. Prof. Wisnu ada?” Suara dan wajah datar tanpa ekspresi milik Farhan menyambut Kalila ketika pintu terbuka. Lelaki itu menyibak rambut bagian depan lantas memasang senyum manis. Salah satu tangannya memegang paper bag gerai martabak favorit Kalila.
Dih, sok kecakepan. Kalila mulai sensi padahal biasanya dia tidak pernah terganggu dengan keberadaan Farhan. Pria itu bukan orang asing bagi Kalila. Sebagai orang kepercayaan Prof. Wisnu, Farhan sering datang ke rumah. Tentu saja untuk urusan pekerjaan, bukan lamar-melamar. Tidak pernah terlintas di benak Kalila kalau Farhan akan melamarnya.
“Ada urusan apa ketemu Papa?” Kalila memindai pria berbalut kemeja putih dan sweater navy di hadapannya. Ia mundur selangkah ketika hidungnya mencium aroma aquatik yang segar dari tubuh Farhan. Jangan-jangan dia mau tanya kapan lamaran, nikah. Amit-amit. Jangan sampai, deh.
“Kenapa? Ada yang salah dengan saya?” Wajah Farhan sedikit berkerut. Dipandanginya tubuhnya kemudian menatap heran Kalila. Pria tiga puluh lima tahun itu merasa tidak ada yang aneh dengan penampilannya.
Kalila bergeming, membiarkan pertanyaan Farhan dibawa angin yang kebetulan berembus pelan. Salah kamu kenapa melamar saya, tahu!
Melihat Kalila tidak merespons ucapannya, Farhan tidak bertanya lebih jauh. Biasanya Kalila bersikap seperti ini saat badmood. Lebih baik tidak mengusik manusia dengan kesabaran setipis tissue dibelah tujuh. Ia akan kehilangan hari yang menyenangkan.
“Prof. Wisnu sudah berangkat?” Laki-laki berambut lurus itu mengalihkan pembicaraan. Melihat jarum jam pada arloji di tangannya, seharusnya ia aman karena datang sepuluh menit lebih awal.
Semua kolega Prof. Wisnu tahu kalau dosen senior itu punya prinsip, waktu adalah lembar-lembar nasib yang tidak akan kembali. Datang terlambat sama saja membiarkan nasibmu dan orang yang menunggumu sia-sia, tidak terisi apa pun. Prof. Wisnu sangat membenci kesia-siaan.
“Papa masih di rumah, kok. Sebentar saya panggilkan.”
“Kamu sudah siapkan semua berkas dan proposal penelitian kita?”
Baru saja Kalila akan berbalik, Wisnu sudah berdiri di sampingnya dengan stelan kemeja biru muda dan celana bahan warna senada. Pria itu terlihat segar dan lebih muda dari usianya. Meski masih memungkinkan untuk menikah lagi, Wisnu tidak pernah berpikir mencari ibu sambung bagi Kalila. Ia pernah mendengar ustaz berkata kalau kelak suami istri akan disatukan di surga. Jika kebersamaannya dengan mama Kalila hanya sebentar, Wisnu ingin bersama selamanya kelak di kehidupan abadi.
“Sudah, Prof. Semua sudah siap, termasuk presentasi dan film-film yang dibutuhkan.”
“Good job, Anak Muda.” Wisnu tersenyum puas. Pandangannya beralih pada Kalila. “Kamu lihat, La, Farhan selalu bisa diandalkan. Tidak hanya soal pekerjaan, urusan rumah juga beres. Dia cukup suamiable.” Sembari mengacungkan jempol, Wisnu melirik Farhan.
“Apaan, sih, Pa?” Kalila merengut. Ekor matanya masih bisa menangkap senyum samar Farhan. Nyebelin banget, sih! Dasar partner in crime!
“Simpan vespa kamu di garasi. Kita pergi pakai mobilku.” Wisnu melempar kunci mobil yang ditangkap dengan sigap oleh Farhan.
“Kamu masak yang enak. Nanti malam Farhan mau makan malam di sini.” Wisnu menepuk pipi putrinya. “Dia sangat suka yukikuki.”
Kalila memasang wajah kesal. Gawat, belum nikah saja aku sudah disuruh-suruh masak. Pasti Bang Farhan bersekongkol dengan Papa untuk mengujiku. Harusnya di menikah dengan chef kalau ingin makan yang aneh-aneh! Menyusahkan saja!
“Yakiniku, Prof.” Farhan tesenyum geli.
“Nah, itulah pokoknya. Kamu denger sendiri, kan?”
“Maaf, Pa, tapi Lila lagi banyak kerjaan. Nggak sempet masak kayanya.” Kalila tidak bohong. Ia ada rencana bertemu teman-teman Teater Semut Merah dan menyelesaikan dua naskah blog yang sudah menunggu untuk di-upload.
“Papa tahu kamu bisa mengatur waktu seperti biasanya.” Wisnu berujar santai. “Kamu belum pernah mengecewakan Papa. Okay?” Bibir Wisnu membusur. Ditinggalkannya Kalila yang mematung dengan raut muka jengkel.
Sejak mamanya meninggal lima tahun lalu, tanggung jawab dapur dan urusan perut berpindah ke pundak Kalila. Beruntung, sejak kecil sang mama sudah melatihnya sehingga tugas baru itu tidak membuat Kalila oleng. Ia cukup puas dan percaya diri karena Wisnu tidak pernah protes atau mencela hasil olahan tangannya.
“Oh, iya, ini martabak favorit kamu.” Farhan yang sudah hampir menuruni teras berbalik dan menyerahkan paper bag pada Kalila. Lagi-lagi, pria itu memberi bonus senyum manis.
“Terima kasih.” Kalila menjawab dengan ketus lalu menutup pintu dengan keras hingga Farhan kaget. Perempuan berpostur sedang itu meletakkan begitu saja paper bag di meja makan lalu bergegas ke kamar dan mengambil ponsel. Bagian atas benda itu berkedip. Ketika telunjuknya menyentuh layar, terlihat notifikasi pesan dari Miranti, teman satu komunitas Semut Merah.
Ujung jari Kalila menggulir layar, mencari panel telepon berwarna hijau. Ketika aplikasi W******p terbuka, pesan Miranti ada di baris pertama. Dibukanya pesan itu.
“La, ada gosip panas, nih. Tapi siapkan hati kamu biar nggak pingsan, yak.” Pesan Miranti diikuti emoticon perempuan sedang menari.
“Gosip panas apaaaa?” Kalila membalas cepat. Ia menambahkan emoticon ekspresi bertanya-tanya.
“Aku telepon, ya. Gosip ini tidak bisa diceritakan lewat chat. Kamu harus denger langsung biar puas.”
“Belibet banget!” Emoticon marah.
“Dih, sabar, dong. Aku boker dulu, yak.” Emoticon tertawa terpingkal-pingkal.
Astagfirullah! Kalila melempar ponsel ke atas ranjang. Kebiasaan Miranti selalu menggantung cerita. Mentang-mentang penulis novel. Tidak di cerita, tidak di real life, perilakunya sama.
***
“Jadi ada berita panas apa sampai-sampai aku bakal pingsan kalau denger?” seru Kalila tak sabar ketika Miranti meneleponnya lagi. Seingat Kalila, ia belum pernah pingsan karena mendengar sebuah berita. Namun, ia pernah hilang kesadaran saat menjadi pemimpin upacara sewaktu SD. Saking gembiranya ditunjuk sebagai pemimpin upacara, Kalila susah tidur dan tidak sempat sarapan keesokan harinya. Di bawah sengatan matahari waktu dhuha, Kalila roboh ketika upacara baru setengah jalan. “Kamu, kan, jurnalis. Masa iya, nggak denger gosip panas hari ini?” Nada bicara Mira seolah ia adalah manusia paling tahu berita ter-update. “Aku nggak ngampus hari ini. Nggak ke markas juga.” “Aku juga nggak ngampus, tapi tetep, dong, update berita.” Miranti tertawa penuh kemenangan. Sesaat Kalila menghela napas, antara kesal dan penasaran. Perempuan penggemar warna maroon itu ingin mengakhiri pembicaraan, pura-pura tidak butuh, tetapi jiwa keponya meronta. Akhinya Kalila memilih bertahan, mencoba meng
Ponsel di tangan Kalila terlempar ke sembarang arah di atas ranjang berseprai motif geometris. Ia merebahkan badan, menatap langi-langit kamar dengan kepala penuh pertanyaan dan kemungkinan jawaban. Segala ingatan tentang Haiyan adalah menyenangkan. Pria itu senior di Teater Semut Merah, tetapi bisa memperlakukan juniornya dengan baik. Dia tahu kapan harus bersikap tegas dan keras serta kapan menjadi teman sekaligus kawan nongkrong yang menyenangkan. Haiyan memiliki senyum yang mengingatkan Kalila pada bunga matahari di halaman depan, cerah dan memberi kesan hangat. Ia juga punya tatapan teduh. Siapa pun yang melihatnya akan merasa diperhatikan dan diperlakukan spesial. Sering, orang salah paham. Mereka menyangka menjadi bagian istimewa dalam semesta hidup Haiyan padahal hanya teman biasa. Untuk alasan itulah, Kalila selalu berusaha menindas debar di dada setiap kali bertemu Haiyan dan menganggapnya tidak lebih dari sekadar lawan main dalam pentas teater atau pembacaan puisi. Lalu
“Aku tidak mungkin menyembunyikan hal sebesar ini dari Papa,” keluh Kalila. Seketika paras gadis itu semuram langit sore yang mengelam karena matahari nyaris bersembunyi di batas cakrawala. Tangannya masih sibuk mengaduk gelas padahal sejak tadi isinya telah tercampur sempurna. Sementara itu, kedua matanya menatap bingung Haiyan. Kolaborasi Chanyeol dan Winter menyanyikan Yours yang memenuhi restauran tidak mampu mengusir gelisah di hati Kalila. Permintaan pria itu seperti ajakan kawin lari bagi Kalila. Dua puluh dua tahun lebih menginjakkan kaki di bumi, Kalila tidak pernah menyembunyikan apa pun dari papanya. Bahkan hanya bersitegang dengan Miranti atau tertinggal bus Trans Jogja bisa jadi bahan obrolan di meja makan atau saat duduk-duduk berdua. Kalila hampir tidak pernah melewatkan kesehariannya dari penglihatan dan telinga sang papa. Lalu, bagaimana mungkin ia bisa bermain petak umpet untuk urusan sebesar ini? “Kamu pasti tahu gimana papamu.” Haiyan memecah sunyi. “Prof. Wisn
"Sumpah, La, aku dengar sendiri Gea ngomong kalau Mas Haiyan ngelamar dia. Telingaku masih normal, La." Miranti berseru gusar dalam telepon setelah Kalila mengirim screenshot pesan Haiyan. "Kalau nggak percaya, kamu tanya langsung, deh, Gea."Ide bagus. Kalila membatin. Kalau Haiyan susah dihubungi, ia bisa bertanya pada Gea. Tapi nanti, tidak sekarang. Aku harus dapat penjelasan dari Mas Haiyan dulu, bukan Gea."Aku kejar Mas Haiyan dulu, deh. Coba dia ngomong apa.""Coba nanti aku korek-korek lagi Gea. Mana tahu kemarin dia halu setelah nonton drakor." Miranti terkekeh."Dih. Awas kalau sampai kamu salah kasih info, Mir.""Iya, iya. Aku bakal tanggung jawab. Kamu bakal aku traktir di Sky High kalau sampai telingaku geser dan salah denger."Sayangnya, sampai satu bulan berlalu, Haiyan tetap saja tidak bersedia bertemu. Dia selalu punya cara untuk menghindar, mulai dari masih di luar kota, menemani mamanya berobat dan terapi, ketemu klien dan mahasiswa. Kalila mulai curiga. Pria itu b
Wisnu diam sejenak, menatap putrinya lurus-lurus. Ada bahagia sekaligus khawatir yang bergumul di dada. Bahagia karena Wisnu tahu akan menitipkan putrinya pada orang yang tepat. Jadi, jika sewaktu-waktu dia pergi, Kalila akan meneruskan hidup dengan laki-laki yang ia percaya berperangai baik. Di sisi lain Wisnu khawatir karena ia tahu sifat Kalila. Ia takut gadisnya justru menjadi beban Farhan."Papa bilang apa ke Bang Farhan?" Kalila mengulang pertanyaan karena Wisnu tidak segera menjawab. Meski bisa menebak, Kalila ingin memastikan. Siapa tahu sang papa berubah pikiran dan urung menjodohkannya dengan Farhan.Wisnu menyingkirkan setiap lintasan buruk yang sempat mampir dan menyesaki kepala. Bukankah Tuhan mengikuti prasangka hamba-Nya? Sebaiknya aku memelihara prasangka baik. Wisnu meneguhkan hati. Ada doa yang diucapkan diam-diam berbarengan masuknya udara ke rongga paru-parunya saat ia menghela napas sebelum memberi jawab. "Papa terima lamaran dia dan papa juga bilang kalau kamu se
Kalila tidak merasa senang mendengar ucapan Haiyan. Ia justru kasihan dan tidak enak hati pada Gea yang masih berdiri tidak jauh di belakang Haiyan. Ia dan Gea selama ini berteman meski tidak cukup dekat. Sebagai sesama perempuan, Kalila bisa merasakan sakitnya dipermainkan. Sialnya, mereka jadi korban laki-laki yang sama.Di samping Miranti, Gea menatap Haiyan dengan mulut terbuka dan bibir bergetar. Ada luka menganga pada manik hazel yang terlihat seperti dilapisi air bening. "Kamu tega banget ngomong gitu, Mas!"Mata-mata manusia di halaman markas Semut Merah kini tertuju pada Haiyan, Gea, dan Kalila. Bahkan jika pohon dan bunga-bunga bisa bicara, mereka pasti sedang menggunjing naskah drama yang menjelma kisah nyata.Tubuh Haiyan membeku. Pekikan Gea melemparnya dalam situasi sangat sulit. Ia memacu otak mencari jalan keluar dari persimpangan rasa, tetapi gagal. Simpul-simpul saraf di kepalanya mendadak mogok. Akhirnya, dia berbalik dan menatap Gea dengan wajah memucat."Aku …." S
Di atas bongkahan batu besar Haiyan berdiri. Bola matanya tertuju ke arah tanah luas yang sedang dikeruk untuk diubah menjadi waduk, tetapi kepalanya dipenuhi wajah sang papa, Gea, dan Kalila.Angin menerbangkan debu-debu, sebagiannya menampar wajah berkulit putih milik Haiyan yang tertutup masker. Udara diisi suara mesin pengeruk yang bekerja nyaris dua empat jam demi mengejar target waktu.Tanah ini dulu desa dengan area persawahan yang sangat subur. Haiyan tidak tahu, kenapa pemerintah memilih tempat ini untuk diubah menjadi waduk. Meski waduk itu akan menjadi penyuplai listrik, tetapi mengubah tanah produktif jelas sebuah tindakan gegabah. Satu hal yang ditentang habis-habisan pula oleh Wisnu dan mengakibatkan perdebatan sengit di antara Wisnu dan Haiyan."Tidak seharusnya kamu menerima proyek yang ternyata hanya menjadi alat pembunuh massal." Raut muka Wisnu tetap datar saat bicara, tetapi suaranya terdengar dingin dan penuh tekanan."Justru proyek itu akan menyelamatkan jutaan m
Ada yang berdentum sangat keras di dada Haiyan usai mengucapkan keinginannya. Kali pertama sepanjang 24 tahun kehidupannya bersama keluarga Baskoro ia berkata tidak. Meski Haiyan tidak tahu, akan sampai di mana perlawanannya. Sejak menjadi bagian dari keluarga Baskoro, Haiyan adalah si bungsu penurut. Ia tidak pernah memprotes keputusan-keputusan orangtuanya. Bagi Haiyan, selain Tuhan, Baskoro dan Prameswari adalah penentu jalan takdirnya, termasuk dalam bidang pendidikan. Haiyan menurut ketika ia harus ikut program akselerasi hingga sekolah dasar sampai menengah selesai dalam sembilan tahun disusul tiga setengah tahun kuliah di kampus tertua di Indonesia. Setelahnya, ia menghabiskan delapan tahun di negeri panser. Semua atas perintah papanya. Begitu pula dengan jurusan yang dipilih, ia hanya menjalankan pilihan Baskoro. Lalu hari ini, dengan nyali yang tak lebih besar dari seekor nyamuk, ia memberanikan diri berkata tidak, melawan manusia yang telah mengangkat derajatnya dari