Share

Bab 6: Mengapa Harus Menghindar

"Sumpah, La, aku dengar sendiri Gea ngomong kalau Mas Haiyan ngelamar dia. Telingaku masih normal, La." Miranti berseru gusar dalam telepon setelah Kalila mengirim screenshot pesan Haiyan. "Kalau nggak percaya, kamu tanya langsung, deh, Gea."

 

Ide bagus. Kalila membatin. Kalau Haiyan susah dihubungi, ia bisa bertanya pada Gea. Tapi nanti, tidak sekarang. Aku harus dapat penjelasan dari Mas Haiyan dulu, bukan Gea.

 

"Aku kejar Mas Haiyan dulu, deh. Coba dia ngomong apa."

 

"Coba nanti aku korek-korek lagi Gea. Mana tahu kemarin dia halu setelah nonton drakor." Miranti terkekeh.

 

"Dih. Awas kalau sampai kamu salah kasih info, Mir."

 

"Iya, iya. Aku bakal tanggung jawab. Kamu bakal aku traktir di Sky High kalau sampai telingaku geser dan salah denger."

 

Sayangnya, sampai satu bulan berlalu, Haiyan tetap saja tidak bersedia bertemu. Dia selalu punya cara untuk menghindar, mulai dari masih di luar kota, menemani mamanya berobat dan terapi, ketemu klien dan mahasiswa. Kalila mulai curiga. Pria itu bahkan memperpanjang sampai dua tiga bulan ke depan akan sulit ditemui.

 

Pernah Kalila nekat ke kampus meski harus menanggung resiko bertemu sang papa dan Farhan. Namun, ia sudah menyiapkan alibi. Kalila membuat proposal palsu tentang permohonan dana untuk membiayai pementasan drama terbaru. Tidak sulit untuk membuat karena Miranti bisa memalsu tanda tangan semua orang dengan lihai.

 

Kalila mencari jadwal mengajar Haiyan dan menunggunya di dekat kelas. Rupanya Haiyan lebih sering mengajar lewat online karena sering di luar kota. Dia hanya hanya sesekali ke kampus dan tidak ada satu pun yang tahu waktunya.

 

"Mengelak adalah salah satu tanda pria sudah berbohong. Apalagi, tiga kali aku nanya ke Gea, jawaban dia nggak berubah. Fiks, dia memang dilamar Mas Haiyan." Miranti berujar santai usai mendengar curhat Kalila. "Dah, lepasin dia saja. Tangkap Pak Farhan." Dia yang sudah mendengar curhat Kalila tentang rencana perjodohan yang diputuskan papanya mencoba memberi saran.

 

"Appan, sih." Kalila mencubit lengan Miranti.

 

"Lho, apa salahnya nerima Pak Farhan? Dia baik, kok.

 

"Kamu tega aku nikah sama om om?"

 

"Dia belum tua, La. Masih tiga puluhan, kan?" Miranti meneguk es kopi susu. "Lagian, dia itu ahjussi rasa oppa. Nggak kelihatan tua, kok."

 

Kalila menyedot es lemon tea sebanyak mungkin. Mendadak tenggorokannya kering dan sakit. Ia teringat sang papa yang belum berhenti mengejar kepastian darinya sementara Kalila belum akan memberi jawaban jika belum bertemu Haiyan. Ia harus mendengar dengan telinga sendiri kalau Haiyan memang berpaling.

 

"Aku nggak punya rasa sama dia." Kalila tidak punya cukup nyali untuk mengatakan hal itu pada sang papa sehingga dia memilih mengulur waktu, tidak tahu sampai kapan.

 

"Milih mana, mati-matian mencintai orang lain padahal dia nggak cinta, atau dicintai orang lain?" Miranti memutar-mutar garpu di tangan. Ditatapnya Kalila lurus-lurus. Raut mukanya terlihat serius. Jarang-jarang Miranti bicara dengan nada dan ekspresi wajah seserius itu.

 

"Harusnya sama-sama cinta, Mir. Aku dan Mas Haiyan sama-sama cinta." Lagi, es lemon tea melewati mulut, tersisa sedikit sampai perutnya sedikit kembung padahal sepiring siomay masih harus dihabiskan.

"Siapa tahu, diam-diam cintanya sudah luntur diguyur air musim hujan. Namanya laki-laki."

Enteng saja Miranti mengucapkan teorinya seolah hati Kalila tidak sakit saat mendengar.

 

"Mau sampai kapan kamu nunggu tanpa kepastian? Kalau buat aku, realistis saja. Siapa yang ngasih kepastian, dia duluan kita pilih."

 

Embusan napas kasar keluar dari mulut Kalila. Bahunya sedikit melorot. Pandangan perempuan berkulit putih itu beralih ke piring berisi siomay. Lalu, tangannya sibuk mengaduk sambal dan potongan-potongan siomay, menambah kecap, dan sambal.

 

"Dikit saja sambalnya." Miranti memegang tangan Kalila yang akan memasukkan sendok kedua. "Inget perut kamu. Mas Haiyan minggat, dunia tidak akan kiamat. Jadi kamu harus berusaha tetap sehat."

Mengabaikan larangan Miranti, Kalila justru memasukkan sendok ketiga. Dibiarkannya Miranti yang mendengkus kesal.

 

"Eh, kenapa kamu nggak nanyak Om Wisnu? Siapa tahu papamu tahu di mana Mas Haiyan. Mereka satu kantor, kan?"

 

Kunyahan Kalila melambat. "Kenapa nggak dari kemarin-kemarin kamu ngasih ide ini?"

 

"Namanya ide, kapan datang nggak bisa dipaksa."

 

Bibir Kalila mengerucut. Sorot matanya meredup. Bayang gelap hubungannya dengan Haiyan seperti awan kelabu yang tiba-tiba menutup langit.

 

Malam harinya, Kalila menyiapkan makan malam dengan malas. Papanya baru pulang dari luar kota dan pasti akan menuntut jawaban. Kalila tidak punya cara untuk mengelak selain jujur tentang keberadaan Haiyan.

 

"Ehm, Pa, Mas Haiyan lagi sibuk, ya?" Akhirnya Kalila memberanikan diri membuka obrolan tentang pria itu sebelum Wisnu membicarakan Farhan.

 

"Sibuk banget. Papa lihat dia cuma sesekali." Wisnu menghirup aroma sup dari mangkuk. "Kenapa?" Pandangan menelisik Wisnu menyapu wajah Kalila yang sedang menyodorkan piring dan sendok padanya.

 

"Nggak apa-apa, Pa. Dicari teman-teman klub. Mau minta dana." Kalila berdusta. Ia duduk menunggu Wisnu selesai mengambil nasi.

 

"Minta saja. Dia lagi garap proyek gede."

 

"Bareng Papa juga?"

 

"Nggak," sahut Wisnu cepat sementara tangannya mengambil sepotong ayam goreng dan sesendok sambal.

 

Kalila nyaris tersedak. Mati-matian dia menahan diri agar tidak tampak terkejut.

 

"Proyek dia di Purworejo, proyek PLTA. Kalau Papa di Kulonprogo, proyek pembangkit listrik dari sampah."

 

Lagi-lagi Mas Haiyan berbohong. Kalila sudah tidak terlalu memperhatikan penjelasan Wisnu. Kepalanya terisi sosok Haiyan dan pesan-pesannya. Detik itu ia mulai mempercayai kata-kata Miranti.

 

"Oh, iya, La. Papa sudah kasih jawaban ke Farhan."

 

Kali ini Kalila benar-benar tersedak. Ia bisa menduga apa yang dikatakan Wisnu pada Farhan.

"Jawaban apa, Pa? Sepertinya Lila belum ngomong apa-apa." Kalila mendadak gugup. Diteguknya air putih cepat-cepat karena tenggorokannya sakit.

 

"Susah memang kalau masih muda pelupa," gerutu Wisnu. Diletakkannya sendok dan garpu lalu disandarkannya punggung ke kursi. "Kamu beneran lupa, atau pura-pura lupa?"

 

"Lila nggak lupa. Tapi Lila belum kasih jawaban apa-apa ke Papa. Kenapa Papa malah ngasih jawaban ke Bang Farhan?"

 

"La, menggantung keputusan itu nggak baik." Wisnu melunakkan suara dan pandangan. "Papa juga tidak suka digantung. Kamu juga pasti begitu."

 

Kepala Kalila tertunduk. Tidak sanggup bertemu pandang dengan sang papa.

 

"Kamu juga nggak mau digantung, kan?"

 

Sosok Haiyan kembali melintas di benak Kalila. Mas Haiyan, kamu di mana, sih? Kenapa tega menghilang tanpa kabar?

 

Susah payah Kalila menelan ludah yang terasa pahit. Sambal yang baru saja lewat di tenggorokan bersama sesendok nasi dan potongan sayur menggelitik tenggorokan hingga Kalila terbatuk-batuk. Batuknya berhenti setelah meneguk separuh gelas air putih.

 

"Karena Papa nggak zalim ke Farhan, jadi Papa putuskan saja tanpa nunggu kamu. Keburu Papa jadi fosil kalau nunggu kamu."

 

"Jadi Papa bilang apa ke Bang Farhan?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status