Chapter 6
SENYUM MAUDIVES
Sepeninggal Marcel, Maudy memakan banyak kuliner khas Pulau Male sepuasnya. 'Kuliner Maldives memang luar biasa,' pikirnya.
Dia berharap kegiatan memanjakan lidah ini akan mampu menelan sebagian rasa dongkolnya terhadap laki-laki angkuh itu.
"Dia pasti berpikir bahwa semua bisa diukur dengan uang. bukan? Dia tidak berubah," gerutu Maudy kesal. "Ugh, aku malah teringat masa lalu. Bodohnya aku sempat tergoda sedikit pada ketampanannya tadi pagi. Itu benar-benar penyamaran dari iblis yang tersembunyi. Iblis yang tersembunyi di balik wajah itu suatu saat mungkin akan menerkam ku. Hi...!" Maudy mengoceh dan bergidik sendirian.
Wanita itu tidak tahu mau apa lagi di sini. Semua yang pernah direncanakannya tentang perjalanan dan petualangan ke luar negeri sejak dia masih duduk di bangku sekolah terasa tidak menarik untuk dilakukan. Semua rusak dengan situasi yang benar-benar membuatnya merasa tertekan.
Setelah memesan minuman segar sebagai alasan berlama-lama, dia memutuskan untuk sementara menikmati kegiatan barunya. Kegiatan tidak melakukan apa-apa. Yah, meskipun dia kurang yakin bahwa tanpa melakukan apa pun layak disebut kegiatan.
Rasa geli mendera hati wanita itu dengan pikiran konyolnya. Wanita yang kerap dipanggil Maud itu menaikkan rambut dan mengikatnya tinggi-tinggi. Dipakainya sebuah ikat rambut tanpa hiasan dari tas mininya. Dia ingin merasakan angin hangat yang berhembus lewat lehernya. Hal itu juga akan membantunya terhindar dari rambut liar yang mengganggu pandangannya dari hal indah dan eksotis sejauh mata memandang.
Pemandangan di sini memang indah. Dari kaca tembus pandang ini, resor mewah yang berbaris tiada henti, pasir putih yang menggoda untuk ditapaki, air laut biru yang berkilauan dan sebening kristal, dan nuansa khas pantai tropis yang indah membuatnya berpikir apakah semua ini kenyataan atau mimpi.
Maudy melengos. Ada yang mengganggu pemandangannya yang indah. Di mana pun dia mengarahkan pandangan, ada pasangan yang sedang bermesraan. Sebenarnya, beberapa saja yang bertindak mesra. Yang lain hanya beraktivitas sewajarnya dengan pasangan.
'Ah, tetapi apa yang salah dengan itu? Bukankah aku menjadi terlalu risih dengan kegiatan orang lain yang tidak kukenal?'
Bagaimana pun ini salah satu resor paling dicari untuk honeymoon di seluruh dunia. Dia sangat menyadari hal itu. Akan tetapi, pikiran Maudy yang kesal dan iri ikut memanipulasi pandangannya sehingga semua pasangan itu terlihat sedang bercumbu dan bermesraan bahkan seolah-olah berusaha memamerkannya pada Maudy yang ditinggalkan sendirian oleh suaminya saat bulan madu di negeri orang.
"Ah, sial. Mengganggu sekali!"
Dengan emosional, diminumnya lagi minuman segar yang ada di hadapannya. Sejak tadi dia makan dan minum sebanyak itu, kira-kira berapa bayarannya ya? Tapi, bagaimana kalau Marcel berbohong?
Maudy menggelengkan kepalanya sambil menutup mata untuk menenangkan hati. Dia harusnya bisa berpikir jernih. Padahal, dia sudah bertekad untuk bersikap dewasa dan tidak menunjukkan emosi sebenarnya demi uang dua puluh miliar.
Biar saja orang-orang menganggap dia perempuan matre jika suatu saat terbongkar. Maudy tidak peduli. Yang penting nyawa adiknya selamat dan dia tidak melacurkan diri. Dia juga tidak perlu kehilangan organ tubuhnya. Yah, yang hilang mungkin adalah kebebasannya. Dia juga harus bersiap hidup dalam sandiwara bersama musuhnya itu.
"Gelas Anda sudah kosong. Apakah perlu saya isi lagi atau apakah masih ada yang Anda inginkan, Nona?"
Dipandangnya pelayan pria itu dalam diam.
"Nah, pria ini juga tampan. Sudah kuduga semua pria pasti tampan pada waktunya. Aku pasti sangat salah karena sempat tertipu dengan wajahnya," celetuk Maudy.
"Maaf?" Pelayan itu menatapnya dalam tatapan bingung, tetapi berusaha tersenyum profesional.
"Nah, senyum seperti ini yang aku butuhkan. Aku akan menggunakan senyum profesional ala mas pelayan ini. Akan kunamakan senyum Maudives, gabungan dari Maudy dan Maldives. Hihihi!" Wajahnya terlihat sangat gembira.
Maudy diambil dari namanya dan Maldives adalah nama negara kepulauan ini. Dianggukkannya kepalanya tanda puas dengan keputusan itu.
"Maaf, Nona! Saya kurang mengerti," kata pelayan itu lagi dengan sopan.
'Tentu saja dia tidak mengerti! Aku dari tadi menggunakan bahasa Indonesia.' Maudy terus membatin.
"Ah, saya hanya mengatakan bahwa Anda tampan dan senyuman itu sangat menarik," puji Maudy.
Wajah pelayan itu sedikit memerah, tetapi dia cukup tangguh dalam menjaga sikap. Maudy menduga mungkin saja pelayan itu sudah salah menduga bahwa Maudy sedang mencoba menggoda dirinya sebagai lawan jenis. Itu buruk!
"Terima kasih atas pujian, Anda. Saya tersanjung." Ternyata, perkataan yang Maudy lontarkan dianggap sebagai bentuk kesopanan.
"Ah, sebentar!" Maudy memamerkan senyum Maudivesnya untuk pertama kali. "Panggil saya Nyonya bukan Nona. Saya perempuan yang sudah menikah," kata Maud.
"Oh, maafkan saya, Nyonya!" Pelayan itu menundukkan badan untuk meminta maaf.
"Tidak apa-apa. Saya tidak terlalu mempermasalahkan hal ini. Oh, iya. Saya mau membayar makanan saya," kata Maudy. "Boleh saya membayar di sini saja?" Dipelankannya suaranya sambil melirik ke arah kasir.
"Boleh, Nyonya! Mohon tunggu sebentar!"
Maudy menghitung jumlah uang tunai dengan mata uang daerah setempat yang dimilikinya. Kalau kurang apakah di dekat sini ada tempat penukaran mata uang?
"Nona, Anda tidak perlu membayar lagi. Bos Anda katanya sudah membayar semuanya hingga besok."
Bos? Siapa yang bos? Maudy berpikir keras. Apakah Marcel ingin membuat istrinya sendiri terlihat seperti selingkuhan?
'Dasar brengsek!' maki wanita yang sudah menginjak usia kepala tiga itu dalam hati.
"Ah, semuanya? Bukankah saya sudah memesan banyak makanan dan minuman tambahan?" tanya Maudy memastikan.
"Makan fullboard. Itu sama dengan hitungan makan tiga kali sehari dengan sistem buffet dan gratis minuman sepanjang hari. Jadi, tidak masalah. Anda mau tambah lagi, Nyonya?" tanya si pelayan dengan nada agak kaku di bagian "Nyonya".
Wajah Maudy terasa panas. Dia seperti terjebak dalam batasan sendiri. Kalau dia sudah menikah lalu pergi berlibur berdua dengan bosnya, bukankah itu malah lebih memalukan?
Tidak! Maudy tidak ingin kalah secepat ini.
"Hmm... sepertinya suami saya sudah sangat memperhatikan saya. Oh, iya. Pasti ada kesalahan di sini. Bagaimana bisa suami saya bisa menjadi bos saya? Mungkin salah saat penulisan. Itu bukan "boss". Pasti itu maksudnya "boush" yang artinya suami dalam bahasa daerah di negara kami," kata Maudy dengan wajah serius. Tetapi, bohong! celetuk Maudy dalam hati.
"Ma...maafkan kami, Nyonya."
"Baik. Tidak masalah. Saya mau minta direkomendasikan tempat untuk jalan-jalan di sekitar sini. Di agenda perjalanan kami sudah ada, namun mungkin saja ada yang terlewat? Yang nyaman dinikmati dengan jalan kaki saja!"
"Oh, Nyonya mau yang mana? Anda mau melihat atraksi lumba-lumba, museum, pusat-pusat perbelanjaan, pasar ikan, atau...."
"Maaf. Saya menerima panggilan dulu sebentar!"
Maudy menekan salah satu tombol di ponselnya untuk membuka telepon masuk melalui akun W******p. Ternyata, itu dari Lira, teman satu kantornya yang cukup akrab.
Pelayan itu permisi dan meninggalkan Maudy. Dia juga berjanji akan kembali lagi.
"Maudy Angelia! Kamu di mana saja dua hari ini? Apakah kamu sakit?"
"Aduh, tolong suaranya dikecilkan, Non. Gendang telingaku bisa pecah."
"Kamu di mana sih? Kemarin kamu juga tidak mengangkat teleponku," keluh Lira marah-marah. "Kamu sakit? Atau adikmu...."
"Iya, Lira. Aku sakit."
'Aku sakit hati dan sakit kantong. Mungkin sebentar lagi pun ikutan sakit mental gara-gara suamiku yang brengsek,' keluh Maudy dalam hati.
"Ya, ampun. Kamu sakit apa? Padahal, kita ada pekerjaan penting dan mendesak di kantor."
"Hanya flu. Sudah baikan kok. Dokter bilang istirahat satu Minggu, tetapi karena sudah jauh lebih baik, aku akan masuk kantor," kata Maudy setelah membuat keputusan kilat. "Sudah, ya. Aku mau istirahat. Sampai jumpa besok lusa, Lira!"
"Baiklah. Segera pulih, ya."
"Terima kasih." Maudy menutup panggilan dari Lira.
Maudy tersenyum getir. Padahal, saat di pesawat menuju ke negara ini, Maudy sempat melihat gambar Pulau Vaadho
yang memiliki julukan lain Sea of Star Island atau laut bercahaya. Dalam gambar itu, laut dan pantainya begitu indah dengan kilauan cahaya biru.
"Mungkin lain kali, aku akan datang bersama adikku untuk berlibur di sana," kata Maudy pada dirinya sendiri. Ini adalah negara luar pertama yang didatanginya. Tidak disangka akan begitu singkat.
Dengan bantuan pihak hotel, Maudy segera memesan tiket kembali ke Indonesia. Dia harus segera pulang karena perjalanan menempuh waktu cukup lama. Bahkan, kemarin saja, Maudy dan Marcel tiba hampir tengah malam.
Rute yang akan dilewati olehnya nantinya harus transit di Colombo Sri Lanka. Jadi, perjalanan bisa mencapai tujuh jam. Artinya, jika berangkat pukul tiga sore, dia akan sampai di Indonesia kira-kira pukul sepuluh malam.
(Bersambung)
Chapter 7PENGANTIN BARU, RUMAH BARUDrrt!Maudy menatap sejenak ke layar ponselnya yang dihiasi wallpaper matahari tenggelam. Setelah menghadapi kemarahan dari teman satu kantornya tadi pagi, dia memutuskan untuk mengaktifkan nada getar ponselnya.Dia lalu memasukkan kembali ponsel itu ke dalam tasnya. Namun, baru saja benda itu tersimpan di balik tas berwarna hitam, sebuah getaran merambat ke permukaan tas dan menyentuh tangannya.Maudy menghela napas. Dibukanya lagi resleting tasnya dan mengambil benda persegi panjang itu. Gerakannya terhenti setelah melihat nama yang tertera di layar.Maudy ingin mengabaikan panggilan itu, tetapi dia ingat betul bahwa itu melanggar kontrak secara terang-terangan. Bisa saja memang ada hal penting yang akan disampaikan Marcel padanya."Halo!" Perempuan itu menyapa lawan bicaranya dengan nada sedik
Chapter 8MASUK KANTORKeesokan harinya, pagi-pagi benar, Maudy langsung berangkat ke kantor. Sebenarnya, seluruh badannya terasa penat. Namun, ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan.Wanita yang memiliki tinggi badan 155 cm itu merasa beruntung karena Marcel tidak benar-benar datang seperti pemberitahuannya di telepon kemarin sore. Jadi, dia bisa berbaring sepuasnya.Setibanya di kantor, tubuhnya langsung dihenyakkan ke atas kursi kerjanya yang lumayan empuk. Baru izin beberapa hari, rasanya Maudy sudah sangat merindukan tempat kerjanya ini.Dia sangat senang duduk di kursi kerjanya yang menghadap pemandangan luar gedung yang luas. Sepatu hak tingginya dilepas lalu kakinya diluruskan sebentar ke atas permadani yang hangat. Maudy tersenyum. Dinikmatinya suasana ini sepenuh hati.Wah, tidak disangka, tiba-tiba saja dia sedikit mengantuk. Apakah kar
Chapter 9LEKAS SEMBUH, ALYSAHanya berkisar kurang lebih sepuluh menit, angkutan umum yang dinaiki oleh Maudy hampir tiba di kawasan rumah sakit. Bangunan putih itu sudah terlihat menjulang tinggi dari kejauhan.Untunglah Rumah Sakit Mitra Sehat berdiri di pusat kota sehingga tidak menyulitkan untuk dijangkau dengan angkutan umum. Letaknya yang strategis dan jaraknya yang dekat dengan tempat tinggal maupun kantor sangat menguntungkan bagi Maudy.Tet. Teeett.Bunyi klakson mobil bersahut-sahutan. Udara panas dan jalanan yang macet sepertinya membuat semakin sulit mengontrol emosi."Minggir Kau, ah!Kau tidak tahu kalau jalan ini jalan umum? Bertelepon pula di jalan raya."Maudy terkejut dan takut mendengar suara makian sopir angkutan yang membawanya. Padahal, wajah sopir yang menjadi lawannya sama-sama san
Chapter 10PULANGMarcel baret duduk di sofa sambil menahan kemarahan yang menggelegak dalam dirinya. Pesan dari Jod membuatnya geram.Dasinya sudah dilonggarkan sejak tadi. Kegerahan yang dirasakannya tentunya bukan karena setelan jas hitam yang dikenakannya.Ditatapnya asisten Jod yang bernama Teddy berdiri mematung dengan wajah pucat. Jika bisa, laki-laki berkacamata dan bertubuh ceking itu mungkin ingin segera menghilang saja dari sini."Hei! Kamu yang di sana!" Tangan Marcel yang menyatu di bawah dagunya yang terlihat kuat."Ya, Tuan Marcel?" Sebisa mungkin, Teddy menahan ketakutannya."Sebenarnya, sepenting apa urusan ini sehingga aku harus menunggu tuanmu?""Maaf, Tuan. Sa... saya kurang tahu," kata Teddy gemetaran. "Maaf, sekali lagi."Marcel menghela napas lalu berdiri t
Chapter 11TINGGAL BERSAMAJarum jam terus berdetak dalam tempo yang teratur. Jarum pendek kini mengarah ke angka sembilan. Tidak ada suara lain yang terdengar di ruangan seolah-olah tiada penghuni yang tinggal dan beraktivitas setiap harinya di rumah itu.Maudy yang terbaring kelelahan sejak tadi mulai bangkit lalu masuk ke kamar mandi. Dia mulai menghapus lalu mencuci sisa riasan di wajahnya. Dengan perlahan, ditepuk-tepuknya kulit wajahnya dengan handuk wajah lalu mengoleskan krim malam tipis-tipis.Beberapa saat kemudian, dia duduk dalam diam sambil menatap dirinya sendiri di dalam cermin. Entah mengapa, akhir-akhir ini dia sering melakukannya.Sebenarnya, meskipun di luar dia terlihat tidak takut apa-apa, dia juga memiliki rasa takut. Dia benci terlalu sepi seperti ini. Tinggal di rumah besar dan sendirian serta diabaikan. Ini membuatnya teringat akan kesendirian
Chapter 12LATIHAN MENJADI ISTRIPagi menyapa. Maudy terbangun dan menyadari bahwa dia telah berada di tempat tidur. Kedua bola matanya mengarah kepada Marcel yang masih terbaring di sebelahnya."Apa tanpa sadar aku pindah ke sini tadi malam?" gumam Maudy sambil menggosok matanya.Laki-laki itu itu juga terbangun dan memicingkan mata. Untuk sesaat, mereka bertatapan. Segera saat bibit kesadaran menyusup ke otak mereka masing-masing, Maudy segera menjauh dan Marcel segera terduduk."Apa kamu yang memindahkan aku ke tempat tidur?" tanya Maudy.Marcel mendengus. "Apa aku terlihat seperti orang yang mau repot-repot melakukan hal itu?" ejek Marcel sambil bertopang dagu."Jadi...aku pindah sendiri?" tanya Maudy bingung. "Sepertinya aku berjalan sambil tidur," sambungnya lagi."Aku tidak tahu apa-apa.
Chapter 13 PASANGAN MESRA Marcel menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya dengan wajah datar. Sesungguhnya, dia agak gelisah, tetapi menutupinya karena mama dan papanya hampir tiba. Saat ini, dia duduk manis menunggu menantu rumah ini sambil berbincang rahasia dengan salah satu asisten rumah tangga. Banyak hal yang perlu disampaikan kepada mereka agar mamanya tidak curiga apabila jawaban yang mereka terima berbeda-beda. Pandangan Marcel kembali terarah ke pintu masuk, lalu kembali sibuk dengan koran yang dibacanya. "Apa seharusnya aku membiarkan sopir menjemputnya tadi?" gumam laki-laki itu sambil mencoba meningkatkan perhatian pada lembar koran yang dipegangnya. Akan tetapi, huruf-huruf yang bertaburan di lembar koran itu seakan-akan menari dan berebutan untuk memecah logikanya. Dia tidak mengerti apa isinya karena tidak bisa berkonse
Chapter 14JAMU PENYUBUR DARI MERTUAPagi harinya, Maudy terbangun dengan kepala sedikit nyeri dan pusing. Sikap Marcel yang kurang jelas membuatnya malah banyak berpikir dan baru bisa tidur menjelang terang hari.Saat terbangun, yang pertama sekali dia lihat adalah Marcel yang terbaring di sebelahnya.Sejenak dia merasa heran. Mengapa laki-laki itu mengizinkan dia tidur di atas ranjang yang sama?Awalnya dia mengira itu adalah salah satu bentuk perasaan bersalah darinya. Namun, perempuan itu mengingatkan dirinya kembali bahwa mulai detik itu juga dia tidak boleh terlalu mudah percaya pada Marcel. Bagaimanapun tujuan laki-laki itu mengajukan pernikahan kontrak yang sebenarnya belum terungkap hingga sekarang.Memang, ada poin-poin tertentu yang menunjukkan keuntungan bagi kedua belah pihak. Akan tetapi, Maudy tetap merasa ada maksud tersembun