Chapter 4
HARI PERNIKAHAN
Taksi online itu melaju dengan kecepatan sedang. Maudy duduk di kursi belakang dengan airmata berderai. Sebanyak dua kali, supir taksi itu melirik prihatin kepada Maudy. Akhirnya, dia memutar musik untuk menyamarkan isak tangis perempuan itu.
Lagu yang baru saja diputar itu bercerita tentang hidup bahagia bersama orang yang dicintai, tetapi perasaan gadis itu malah semakin terluka dan tangisannya semakin hebat. Sebenarnya, musik atau lagu jenis apa pun yang didengarnya sekarang akan berubah menjadi lagu kesedihan setelah tiba di tentakel otaknya.
Sebenarnya, sudah lama sekali, dia pernah memimpikan pernikahan. Setelah diingat-ingat lagi, ya, dia pernah menjadi perempuan normal yang memimpikan pernikahan.
Impiannya sangat sederhana. Dia ingin menjadi wanita yang sempurna dengan menikah dengan pria yang mencintai serta dicintainya dengan mengundang para sahabat lalu memiliki putra-putri yang manis. Lalu, layaknya di negeri dongeng, mereka akan hidup bahagia selamanya.
Impian itu sudah kandas. Maudy sudah menandatangani kontrak meskipun dengan tambahan syarat-syarat yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak. Dia sudah tidak bisa mundur lagi karena Marcel sudah membayar sisa uang operasi adiknya dan biaya rawat inap. Dia juga tidak bisa membayangkan ayah dan ibu Marcel yang sudah begitu baik padanya seminggu terakhir ini.
Bagaimana mungkin dia akan menikahi orang yang jelas-jelas memiliki dendam terhadapnya? Seharusnya, Maudy menikahi seseorang yang mencintainya. Hahaha! Masalahnya orang yang seperti itu tidak ada. Pria seperti itu sudah lama musnah dari kehidupan Maudy. Yang diingatnya hanyalah pria penghianat yang selingkuh dengan sahabatnya sendiri saat kuliah.
"Pria tukang selingkuh ke laut saja sana!" maki Maudy sambil menghentakkan kaki.
Ah, Maudy menutup mulutnya. Bisa-bisa si sopir akan mengira dia wanita yang sedang patah hati karena diselingkuhi.
"Maaf. Kita sudah sampai, Mbak!" tegur sopir taksi secara halus.
"Oh, maaf. Ini uangnya. Terima kasih," kata Maudy sambil minta maaf.
"Jangan lupa memberikan bintang lima, ya, Mbak. Apalagi tadi suasananya sangat nyaman untuk bernostalgia," kata sopir taksi itu tidak tahu malu.
"Hehehe." Maudy menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Ya, sudahlah! Berikan bintang lima saja. Ini karena dia tidak menggangguku dan menjadi supir tidak tahu malu yang baik," celetuk Maudy. Dia terkekeh mendengar kalimatnya sendiri. Ditariknya napas dalam-dalam agar perasaannya lebih lapang.
"Mulai sekarang aku tidak akan menangis lagi. Masa berkabung untuk kebebasanku sudah selesai. Aku akan menjalani semua dengan tegar. Aku akan menjadi aktris terbaik dengan bayaran lebih dari dua puluh miliar," bisik Maudy pada dirinya sendiri. Lagipula, meskipun harus bercerai dua tahun lagi, dia tidak akan dijuluki perempuan tidak laku lagi. Saat itu, dia akan hidup gembira dan berkecukupan bersama adiknya.
Seorang wanita dengan seragam putih hijau mengantarkan Maudy ke lantai paling atas. Di sana terlihat gaun-gaun mewah yang tidak pernah dilihatnya di kehidupan nyata. Ada keuntungan bagi Maud karena dia bebas mencoba dan memilih gaun-gaun mewah ini karena Marcel yang akan membayar semuanya. Dengan menguatkan tekad, dia akan menikmati kesenangan ini dengan baik.
"Cantik sekali, Mbak. Sayang sekali, pengantin pria tidak hadir untuk melihat," kata manajer butik itu.
"Supaya jadi kejutan, Mbak!" kilah Maudy dengan hati yang berdenyut menahan sakit. Namun, dia tidak meneteskan air mata karena dia kini adalah wanita kuat.
***
Sesuai permintaan Marcel dan Maudy, pernikahan tidak dibuka untuk umum dan media. Dari pihak Maudy, tidak ada satu orang pun yang hadir. Maudy lebih nyaman jika orang-orang di sekitarnya tidak mengetahui itu. Bukankah dua tahun itu tidak lama? Untuk apa dia menunjukkan hubungan yang akan segera berakhir?
Jika permintaan Marcel adalah hubungan yang mesra di hadapan para kerabatnya, maka permintaan Maudy adalah sebaliknya. Maudy ingin lebih nyaman dengan caranya sendiri. Di hadapan teman-teman Maudy, mereka harus bertingkah seperti orang asing.
"Pengantin perempuan memasuki tempat," kata pembawa acara.
Maudy bersiap memasuki altar pernikahan sendirian. Dia ingin menangis karena merasa sendirian di tempat asing ini. 'Aku afalah aktris dengan bayaran dua puluh miliar lebih untuk pengobatan adikku.' Berulangkali dia membisikkan kalimat itu pada dirinya sendiri.
Akan tetapi, ayah Marcel menghampirinya dan mengulurkan tangan padanya. "Aku sudah mendengar bahwa kedua orang tuamu sudah tidak ada. Namun, sekarang aku adalah ayah anakku dan ayah menantuku. Aku yang akan mengantarmu. Kami juga adalah orang tuamu sekarang. Jadi, panggil aku dengan papa juga," kata Yutama tulus.
Maudy tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Dia sudah mendengar bahwa laki-laki paruh baya itu merupakan ayah tiri Marcel. Menurutnya, laki-laki itu benar-benar orang baik.
Maudy mengulurkan tangannya. Disambutnya tangan Yutama, ayah Marcel dengan tangan yang dilapisi sarung tangan putih.
"Terima kasih, Papa," bisiknya.
Saat hampir tiba di altar, Yutama melepaskan tangan Maudy. "Saat ini, papa harus kembali jadi ayah Marcel. Namun, semoga kamu bahagia menantu dan putriku," kata Yutama sambil melangkah mundur perlahan.
"Terima kasih, Pa!" kata Maudy sekali lagi. Dia menangis tidak tertahan. Dalam bayangannya, orang yang berbicara tadi adalah papa yang dirindukannya.
Marcel menatap Maud lalu mengulurkan tangannya. Tangan itu disambut Maud yang masih menata perasaannya. Sulit sekali! Dia sampai takut dandanannya akan luntur seketika.
"Hati-hati. Jangan sampai riasanmu luntur. Apa seburuk itu menikah denganku?" tanya Marcel.
"Tidak," jawab Maudy sambil menatap Marcel yang kelihatannya bertanya dengan tidak bermaksud mengejek.
Acara pernikahan berlangsung dengan sakral. Orang-orang duduk dengan tenang menyaksikan peristiwa ucapan janji suci kedua mempelai.
"Saya, Maudy Angelia, akan menerima dan mencintai Marcel Baret sebagai suami saya, dalam suka maupun duka, dalam sehat maupun sakit, seumur hidup." Suara Maud bergetar saat mengucapkan janji pernikahan itu. Ada rasa bersalah yang menyakiti hatinya dari dalam.
"Saya, Marcel Baret, akan menerima dan mencintai Maudy Angelia sebagai istri saya, dalam suka maupun duka, dalam sehat maupun sakit, seumur hidup." Marcel juga menyelesaikan janji suci pernikahan dengan baik.
Maudy memutuskan menghayati saja pernikahan ini. Di hadapan Tuhan, dia tidak berani bersandiwara. Bolehkah dalam hatiku, aku menganggap pernikahan ini adalah sah? batin Maudy. Itulah yang terjadi. Apa pun yang terjadi ke depannya, jauh di dalam lubuk hatinya, pemberkatan pernikahan ini adalah sah untuk dua tahun. Dia adalah istri Marcel dan Marcel adalah suaminya walaupun dia tidak berencana memberikan perasaannya pada pria itu.
Mereka saling bertukar cincin lalu Marcel mencium kening Maudy dengan mesra.
Marcel menatap wajah Maud diam-diam. Hari ini wajahnya begitu cantik, tetapi mengapa harus menangis? Apakah semengerikan itu menikah denganku? pikir Marcel.
"Jangan menangis. Ini momen bahagia. Seharusnya kita terlihat bahagia. Aku tidak ingin orang lain curiga pada kita," tukas Marcel sambil menyerahkan sapu tangan pada Maudy.
"Hahaha. Kamu salah! Memang seperti inilah kebahagiaan pengantin perempuan di hari pernikahannya. Dia menangis untuk menunjukkan rasa bahagia," kata Maudy sambil mengusap pelan sudut matanya.
"Oh. Berarti kamu sudah bertindak tepat," kata Marcel sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain. Jangan sampai pengantin cantik di sebelahnya meluluhkan hatinya sehingga dia lupa tujuannya.
'Tunggu! Pengantin cantik? Apakah memang dia cantik?' Marcel melirik Maud diam-diam.
"Tidak, kok." Marcel membantah pikirannya, namun hatinya cukup gembira hari ini sehingga dia menggaet tangan Maudy di lengannya lalu memamerkannya ke semua koleganya dengan wajah berbinar.
"Aku lapar sekali," kata Maudy.
"Oh, oke. Pergilah ambil makanan sana," kata Marcel.
"Apakah aku harus menunjukkan pengantin wanita berkeliling sendiri sementara si pengantin laki-laki sibuk dengan teman-temannya?" bisik Maudy sambil tersenyum lebar.
"Oh, lupakan jawaban bodohku. Aku akan menemanimu ke mana pun," jawab Marcel dengan senyum lebar juga.
"Wah, pengantin baru yang sangat mesra," celetuk kawan-kawan Marcel.
"Terima kasih. Kami permisi dulu. Sepertinya istriku lapar," kata Marcel sambil mengedipkan mata ke arah mereka.
"Cuit! Cuit!"
Godaan beberapa teman Marcel membuat wajah Maudy memerah. Ini semua karena perkataan Marcel yang ambigu. Dia mengucapkan kata lapar dengan penekanan yang tidak biasa.
(Bersambung)
Chapter 5HONEYMOONMaudy terbangun dan menyadari dirinya berada di tempat yang tidak dikenal. Ini bukan kamarnya! Ini juga bukan rumah sakit. Namun, mengapa dia terbaring di lantai dan hanya beralaskan sehelai selimut?Kamar ini terlihat acak-acakan dan sepasang gelas wine serta gelas wine yang kosong tergeletak tidak beraturan di atas meja.Perempuan itu berdiri dengan sedikit terhuyung lalu melihat ke arah tempat tidur yang kosong. Pakaian pria tergeletak rapi di sana. Pakaian Marcel?Ugh, kepala Maudy sedikit pusing. Dia mencari cermin di sekeliling ruangan dan ternyata menemukan sebuah cermin besar di dinding. Cermin itu hampir menutupi satu sisi dinding ruangan ini. 'Wah, ini sih cermin sultan!' Maudy membatin."Mataku bengkak sekali? Pantas aku sulit untuk membukanya!" gerutu perempuan itu sambil mengamati matanya yang sembab.
Chapter 6SENYUM MAUDIVESSepeninggal Marcel, Maudy memakan banyak kuliner khas Pulau Male sepuasnya. 'Kuliner Maldives memang luar biasa,' pikirnya.Dia berharap kegiatan memanjakan lidah ini akan mampu menelan sebagian rasa dongkolnya terhadap laki-laki angkuh itu."Dia pasti berpikir bahwa semua bisa diukur dengan uang. bukan? Dia tidak berubah," gerutu Maudy kesal. "Ugh, aku malah teringat masa lalu. Bodohnya aku sempat tergoda sedikit pada ketampanannya tadi pagi. Itu benar-benar penyamaran dari iblis yang tersembunyi. Iblis yang tersembunyi di balik wajah itu suatu saat mungkin akan menerkam ku. Hi...!" Maudy mengoceh dan bergidik sendirian.Wanita itu tidak tahu mau apa lagi di sini. Semua yang pernah direncanakannya tentang perjalanan dan petualangan ke luar negeri sejak dia masih duduk di bangku sekolah terasa tidak menarik untuk dilakukan. Semua rusa
Chapter 7PENGANTIN BARU, RUMAH BARUDrrt!Maudy menatap sejenak ke layar ponselnya yang dihiasi wallpaper matahari tenggelam. Setelah menghadapi kemarahan dari teman satu kantornya tadi pagi, dia memutuskan untuk mengaktifkan nada getar ponselnya.Dia lalu memasukkan kembali ponsel itu ke dalam tasnya. Namun, baru saja benda itu tersimpan di balik tas berwarna hitam, sebuah getaran merambat ke permukaan tas dan menyentuh tangannya.Maudy menghela napas. Dibukanya lagi resleting tasnya dan mengambil benda persegi panjang itu. Gerakannya terhenti setelah melihat nama yang tertera di layar.Maudy ingin mengabaikan panggilan itu, tetapi dia ingat betul bahwa itu melanggar kontrak secara terang-terangan. Bisa saja memang ada hal penting yang akan disampaikan Marcel padanya."Halo!" Perempuan itu menyapa lawan bicaranya dengan nada sedik
Chapter 8MASUK KANTORKeesokan harinya, pagi-pagi benar, Maudy langsung berangkat ke kantor. Sebenarnya, seluruh badannya terasa penat. Namun, ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan.Wanita yang memiliki tinggi badan 155 cm itu merasa beruntung karena Marcel tidak benar-benar datang seperti pemberitahuannya di telepon kemarin sore. Jadi, dia bisa berbaring sepuasnya.Setibanya di kantor, tubuhnya langsung dihenyakkan ke atas kursi kerjanya yang lumayan empuk. Baru izin beberapa hari, rasanya Maudy sudah sangat merindukan tempat kerjanya ini.Dia sangat senang duduk di kursi kerjanya yang menghadap pemandangan luar gedung yang luas. Sepatu hak tingginya dilepas lalu kakinya diluruskan sebentar ke atas permadani yang hangat. Maudy tersenyum. Dinikmatinya suasana ini sepenuh hati.Wah, tidak disangka, tiba-tiba saja dia sedikit mengantuk. Apakah kar
Chapter 9LEKAS SEMBUH, ALYSAHanya berkisar kurang lebih sepuluh menit, angkutan umum yang dinaiki oleh Maudy hampir tiba di kawasan rumah sakit. Bangunan putih itu sudah terlihat menjulang tinggi dari kejauhan.Untunglah Rumah Sakit Mitra Sehat berdiri di pusat kota sehingga tidak menyulitkan untuk dijangkau dengan angkutan umum. Letaknya yang strategis dan jaraknya yang dekat dengan tempat tinggal maupun kantor sangat menguntungkan bagi Maudy.Tet. Teeett.Bunyi klakson mobil bersahut-sahutan. Udara panas dan jalanan yang macet sepertinya membuat semakin sulit mengontrol emosi."Minggir Kau, ah!Kau tidak tahu kalau jalan ini jalan umum? Bertelepon pula di jalan raya."Maudy terkejut dan takut mendengar suara makian sopir angkutan yang membawanya. Padahal, wajah sopir yang menjadi lawannya sama-sama san
Chapter 10PULANGMarcel baret duduk di sofa sambil menahan kemarahan yang menggelegak dalam dirinya. Pesan dari Jod membuatnya geram.Dasinya sudah dilonggarkan sejak tadi. Kegerahan yang dirasakannya tentunya bukan karena setelan jas hitam yang dikenakannya.Ditatapnya asisten Jod yang bernama Teddy berdiri mematung dengan wajah pucat. Jika bisa, laki-laki berkacamata dan bertubuh ceking itu mungkin ingin segera menghilang saja dari sini."Hei! Kamu yang di sana!" Tangan Marcel yang menyatu di bawah dagunya yang terlihat kuat."Ya, Tuan Marcel?" Sebisa mungkin, Teddy menahan ketakutannya."Sebenarnya, sepenting apa urusan ini sehingga aku harus menunggu tuanmu?""Maaf, Tuan. Sa... saya kurang tahu," kata Teddy gemetaran. "Maaf, sekali lagi."Marcel menghela napas lalu berdiri t
Chapter 11TINGGAL BERSAMAJarum jam terus berdetak dalam tempo yang teratur. Jarum pendek kini mengarah ke angka sembilan. Tidak ada suara lain yang terdengar di ruangan seolah-olah tiada penghuni yang tinggal dan beraktivitas setiap harinya di rumah itu.Maudy yang terbaring kelelahan sejak tadi mulai bangkit lalu masuk ke kamar mandi. Dia mulai menghapus lalu mencuci sisa riasan di wajahnya. Dengan perlahan, ditepuk-tepuknya kulit wajahnya dengan handuk wajah lalu mengoleskan krim malam tipis-tipis.Beberapa saat kemudian, dia duduk dalam diam sambil menatap dirinya sendiri di dalam cermin. Entah mengapa, akhir-akhir ini dia sering melakukannya.Sebenarnya, meskipun di luar dia terlihat tidak takut apa-apa, dia juga memiliki rasa takut. Dia benci terlalu sepi seperti ini. Tinggal di rumah besar dan sendirian serta diabaikan. Ini membuatnya teringat akan kesendirian
Chapter 12LATIHAN MENJADI ISTRIPagi menyapa. Maudy terbangun dan menyadari bahwa dia telah berada di tempat tidur. Kedua bola matanya mengarah kepada Marcel yang masih terbaring di sebelahnya."Apa tanpa sadar aku pindah ke sini tadi malam?" gumam Maudy sambil menggosok matanya.Laki-laki itu itu juga terbangun dan memicingkan mata. Untuk sesaat, mereka bertatapan. Segera saat bibit kesadaran menyusup ke otak mereka masing-masing, Maudy segera menjauh dan Marcel segera terduduk."Apa kamu yang memindahkan aku ke tempat tidur?" tanya Maudy.Marcel mendengus. "Apa aku terlihat seperti orang yang mau repot-repot melakukan hal itu?" ejek Marcel sambil bertopang dagu."Jadi...aku pindah sendiri?" tanya Maudy bingung. "Sepertinya aku berjalan sambil tidur," sambungnya lagi."Aku tidak tahu apa-apa.