Share

3. Bertemu Lagi

"Shen, lo keliatannya ngantuk banget. Semalam balik jam berapa ngedugem?" 

Ujaran dari teman sejawat Shenna itu mengembalikan kesadarannya. Ia menguap lagi, untuk kali kesekian. "Jam tiga pagi, kali. Gue nggak sempet liat jam. Tadinya mau langsung tidur, tapi ternyata nggak bisa tidur sampai pagi. Jadinya, ya udah. Untung aja gue nggak mabok. Kalau mabok pasti bakalan lebih parah." 

"Gue beliin kopi aja, ya. Kasian banget lo ngantuk gini. Mana kerja sampai sore," kata Felisya prihatin. Mata panda Shenna begitu kentara, ditambah raut lelah yang tak dapat disembunyikan.

Shenna mengangguk saja. Sekarang mereka sedang berada di cafetaria kantor, tetapi Shenna malah memanfaatkan waktunya di sana untuk menaruh kepala di atas meja. Tadi pagi tidak sempat ngopi karena persediaan kopi di apartemen Shenna sudah habis. Harusnya Minggu kemarin Shenna belanja keperluan sehari-hari. Akibat sibuk dengan endorsement, Shenna jadi lupa dan berangkat kerja dengan perut kosong. 

Syukurlah di tempat Shenna bekerja ada cafetaria dan dekat dengan toserba. Jadi, Shenna bisa mengganjal perut sesampainya di kantor. Meski Shenna tetap tidak bertenaga sampai beberapa kali ditegur atasan. Bukan ditegur untuk dimarahi, tetapi karena takut Shenna malah pingsan selagi bekerja. 

"Nih, makan roti dulu. Isi dulu perut lo baru minum kopi." Felisya menaruh segelas kopi dan sebungkus roti berukuran sedang di hadapan Shenna. Lalu menyeruput milkshake yang ia genggam menggunakan tangan kiri.  

"Makasih banyak, Fel. Sorry ngerepotin." Shenna tersenyum lebar, penuh terimakasih. Beruntung sekali ia memiliki seorang teman seperti Felisya. 

Selesai makan roti dan meminum kopi, Shenna jadi sedikit lebih bertenaga. Matanya juga tidak seberat tadi. Ia melakukan peregangan sejenak, sebelum bangkit berdiri guna menyusul Felisya yang sudah pergi terlebih dahulu. Pekerjaan di kantor mereka ini selalu menumpuk. Selalu ada saja yang harus pegawai di sini kerjakan. Tak jarang sebagian besar dari mereka harus lembur. 

Shenna berjalan santai menuju ruangannya di lantai lima. Sesekali menyapa kolega yang ia kenal. Gadis berwajah oriental itu memiliki cukup banyak kenalan dari berbagai departemen. Hanya sebatas kenal karena masalah pekerjaan. Karena lingkup kehidupan pertemanan Shenna sangatlah sempit. Dari banyaknya pegawai di departemen tempat ia bekerja, ia hanya akrab dengan Felisya. 

Sambil menunggu lift terbuka, Shenna memandang ke sekitar. Lalu kembali terfokus pada lift di hadapannya. Namun, Shenna dibuat terkejut melihat siapa yang berada di dalam lift. Rambut kecoklatan dan mata biru itu ... Marcel. Mengapa ada Marcel di sini? 

Sebuah senyum muncul di wajah bule tampan itu. "Mau naik?" 

"Y-ya," kata Shenna cepat. Di dalam lift ada orang lain yang asing, mungkin kenalan Marcel. Entah mengapa Shenna sekarang jadi bingung untuk bersikap. Efek tepukan Marcel masih bertahan sampai sekarang. 

"Lantai berapa?" 

"Lantai lima." 

Tangan Marcel lantas memencet angka lima, mengantarkan Shenna ke lantai tujuannya terlebih dahulu. Dengan senyum yang tak luntur sama sekali. Sampai membuat David terheran-heran. Bosnya itu seperti sedang tidak sehat. 

"Are you okay, Boss?" tanya David berbisik. 

"Yes, I am. Why?" Marcel malah tersenyum makin lebar. Membuat David jadi merinding. Entah sedang ada apa sampai si bos yang biasanya tanpa ekspresi itu jadi begini. 

"David, kamu duluan ke ruang rapat. Saya ada urusan sebentar." 

Aneh. Begitu lift sampai di lantai lima, Marcel ikut keluar bersama Shenna. Padahal ia sedang ada urusan di lantai delapan gedung ini. Tak hanya mengundang ribuan tanya dari David, tetapi juga menyebabkan kebingungan setengah mati dari Shenna. Gadis itu menatap Marcel tak santai. Ia kira ia tidak akan bertemu lagi dengan si bule tampan ini. 

"Anda sedang ada di sini?"

"Bekerja," jawab Marcel. Namun, malah menambah kebingungan dalam diri Shenna. Pasalnya Shenna baru kali ini berpapasan dengan Marcel. 

"Bekerja? Anda nggak sedang membohongi saya, kan?" Shenna melempar tatapan menyelidik pada Marcel. Menuntut sebuah penjelasan gamblang mengenai presensinya di gedung ini. 

"Saya bekerja, Shenna. Saya nggak bohong. Buat apa saya bohong? Apa kamu pikir saya jauh-jauh ke sini untuk menguntit kamu?" 

"Bukan itu maksud saya!" 

Sial. Shenna ketahuan sedang berpikir yang tidak-tidak. Sungguh, Shenna setekerjut itu mendapati Marcel berada di gedung tempatnya bekerja. Mengapa dari sekian banyak tempat, mereka harus bertemu di tempat seperti ini?

"Saya betulan ada pekerjaan. Mungkin saya belum perkenalkan diri saya secara lengkap tadi malam ... ah, atau tadi pagi? Kan, sudah dini hari." 

"Let's not talk about it," tekan Shenna. 

Beberapa pasang mata yang kepo dengan kegiatan mereka membuat Shenna tidak nyaman. Tidak baik kalau setelah ini ada rumor yang menyebar di kantor. Shenna benci menjadi bahan gosip. Telinganya ini cukup tajam untuk mendengar bisikan orang-orang mengenai dirinya, dan sulit untuk menahan emosi ketika mendengar mereka bicara soal berita palsu. 

"Saya ada rapat, Shenna. Kebetulan hari ini papasan dengan kamu. Biasanya saya cuma bisa lihat kamu dari jauh." 

"Hah?" 

"Sudah seminggu belakangan ini saya kemari. Masalah pekerjaan." 

Perkataan Marcel barusan seperti mantra yang membuat Shenna berhenti bergerak. Matanya membulat kaget. Lalu dua belah bibir merahnya sedikit terbuka. "Oh ... begitu?" 

Kekehan Marcel terurai. Disusul dengan uluran tangannya, bergerak mengusak surai hitam legam milik Shenna. Yang lagi-lagi dilakukan tanpa aba-aba. Memicu ketidaknormalan pada degup jantung Shenna. Juga pipinya yang mendadak terasa panas. Namun, setelah itu Marcel malah pergi. Meninggalkan Shenna yang jiwanya seperti melayang di awang-awang. 

Sentuhan yang Marcel berikan memberikan efek begitu dahsyat pada diri Shenna. Ia sampai tidak bisa mengerti alasan pasti mengapa dirinya memberi respon demikian. Tangan gadis itu lantas menyentuh bagian di mana tadi tangan Marcel bertengger. 

"Haduh. Kenapa gue kayak gini, sih?" monolognya. 

Lama ia berdiri di sana. Sampai tanpa sadar sepuluh menit berlalu. Hanya untuk menatap lift yang sudah berganti penumpang. Selagi dalam kepalanya terus berputar memori berisi potret tampan Marcel. Lelaki itu mungkin akan membuatnya gila kalau begini terus. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status