Share

008. Permintaan Maaf Sang Jagoan

Sofia menatapnya lega. “Brian! Papamu nyari-nyari sampai kampung seb⸻”

“Sssst!” Brian meraih bahu Sofia, dan menyeretnya menjauh.

“Kamu mau bikin aku malu di depan teman-teman, hah?” omelnya jengkel.

Sofia mengerutkan kening. “Ayo pulang, papamu pasti khawatir.”

“Bawel, deh! Dasar ibu tiri!”

“Terserah kamu mau ngomong apa, aku nggak akan marah. Yang penting kamu pulang, ya,” bujuk Sofia, meraih tangan Brian yang langsung menepisnya kasar.

“Nggak mau! Ini kan tujuan kamu, menyingkirkan aku agar kamu bisa menguasai papa seutuhnya?”

“Brian ….” Sofia memijat keningnya putus asa, “Aku nggak ada niat buruk sama sekali, sungguh. Pernikahan aku sama papamu, murni karena masalah utang yang nggak bisa dibayar orangtuaku. Kamu benar, aku ini murahan, hargaku nggak lebih mahal dari satu hektar ladang ayahku.”

Melihat Sofia merendahkan diri seperti itu, membuat Brian bungkam.

“Pulang, ya …” Sofia menautkan jemari, memohon di hadapan Brian.

Brian memalingkan wajah, dan berdecak kesal, “Nanti, agak malam.”

Sofia tersenyum lega.

“Brian …,” panggil Sofia pelan.

Brian melotot galak. “Apa lagi?”

“Tolong bayar dulu ongkos jeepnya, ya, aku dan Haris sama-sama nggak punya uang.”

Brian membeliak, “Astaga!”

Walaupun kesal, Brian tetap bertanggung jawab dengan membayar ongkos jeep Sofia dan Haris.

Sofia duduk di bangku warung kopi, sementara Brian dan Haris berbincang hangat dengan komunitas sepeda downhill.

Sofia tengah menikmati sinar keemasan matahari yang sebentar lagi terbenam ke balik bukit, saat Brian menyodorkan segelas susu panas padanya.

“Kenapa nggak pakai jaket? Angin di sini besar, kalau nanti masuk angin, papa marahin aku lagi!”

Sofia meneguk susu manis yang terasa hangat di tenggorokan.

“Pulang sekarang, yuk!” ajaknya pada Brian.

“Nggak,” jawab Brian ketus. “Masih ada yang harus aku obrolin sama mereka.” Brian menunjuk kumpulan teman-temannya dengan dagu.

Brian bangkit berdiri, dan melepas kaus panjang yang ia pakai di atas kaus berlengan pendek, lalu menyodorkannya pada Sofia.

“Pakai ini sampai aku selesai mengobrol. Aku nggak mau dimarahi papa lagi gara-gara kamu masuk angin.”

Sofia menerimanya dan memakai kaus itu sambil tersenyum. Kemudian, ia kembali menikmati susu panas sambil menyaksikan matahari pulang ke peraduan.

Itulah pertama kalinya Sofia melihat fenomena menakjubkan dari atas bukit. Sinar keemasan mentari jatuh ke wajahnya yang cantik, hingga perlahan menggelap.

Di antara teman-temannya, Brian mencuri pandang pada sosok Sofia yang duduk di bangku warung kopi. Walaupun langit sudah sepenuhnya gelap, gadis itu berpendar sendiri, seolah-olah kulitnya memancarkan cahaya.

“Ris, kamu bawa sepedaku pulang, ya. Aku menumpang jeep sama Sofia.” Brian bangkit berdiri, dan berpamitan pada seluruh anggota komunitas.

Ia menghampiri Sofia dan berkata sinis, “Ayo pulang!”

Tanpa perlu disuruh dua kali, Sofia langsung bangkit berdiri. Ia mengekor Brian yang menuju jeep Mang Tono.

“Turun, Mang,” ucap Brian pada sopir.

“Siap, Den! Nggak trekking pakai sepeda?” tanya sopir sambil memasang topi baret andalannya.

“Haris yang bawa, Mang.”

Sopir itu nyengir sebagai tanggapan.

Brian naik lebih dulu tanpa membantu Sofia yang kesulitan memanjat ke atas mobil beroda besar tersebut.

“Jadi si Neng teh pacarnya Den Brian atau Haris? Tadi datang sama Haris, pulang sama Den Brian,” seloroh si sopir iseng.

Brian berdecak malas. “Jalan deh, Mang,” katanya enggan menanggapi gurauan sopir.

Sofia duduk di sisi Brian. Angin malam menyibak rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai.

“Papamu sampai pergi ke kampung sebelah untuk mencari kamu, Yan,” ucap Sofia menatap jurang gelap di sisinya.

“Ngapain aku pergi ke kampung sebelah, anak-anak kampung sebelah aja mencari bukit yang bagus ke sini.”

“Pak Ajat nggak bisa menemukan kamu dimanapun. Katanya dia sudah keliling kampung seharian kemarin.”

Brian mendengus. “Kok kamu tahu aku di sini?”

“Haris yang kasih tahu.”

“Haris nggak kasih tahu Pak Ajat?”

Sofia mengangkat bahunya. “Mungkin Pak Ajat nggak nanya.”

“Lho, katanya tadi Pak Ajat keliling kampung nyari aku. Dia nggak mampir ke rumah Haris?” Brian tertawa mengejek.

Sofia menoleh menatap Brian yang menghindari matanya. “Pak Ajat cuma nanya kamu ada di rumah Haris atau nggak, jelas Haris jawab nggak.”

“Kalo kamu?” tanya Brian pada kelebatan tebing yang memagar di sepanjang lereng.

“Aku tanya, kemana kamu biasa pergi kalau lagi marah.”

Brian tergelak. “Hampir setiap hari aku pergi ke bukit, nggak cuma kalau lagi marah.”

Sofia diam tidak menanggapi, hingga Brian berkata lemah, “Papa bahkan nggak tahu itu, kan?”

“Dia kan nggak suka ikut naik gunung sama kamu, kayak Haris,” bela Sofia, “Wajar papamu nggak tahu.”

“Dih, ngebelain,” sindir Brian mencibir.

“Itu faktanya, Brian.” Sofia berkata bijak.

Brian menyugar rambutnya yang tertiup angin.

Mereka saling diam untuk beberapa saat lamanya, hingga Brian berkata lagi dengan nada datar, “Aku minta maaf.”

Sofia menoleh cepat. Ditatapnya Brian tidak percaya.

“Apa?” kata Sofia memiringkan kepala.

Brian mendengus kesal. Ditatapnya balik Sofia dengan sorot tajam, “Besok, ambil kartu debit papa terus pakai periksa ke THT, jangan malah dibagi-bagi ke warga!”

“Apaan, sih!” keluh Sofia, membuang wajah.

Brian bersandar ke punggung jok dan tertawa mengejek, “Nah, kan, nggak dengar lagi.”

“Bukan nggak dengar, aku cuma nggak paham kamu ngomong apa!”

“Kalau gitu uangnya pakai bimbel, biar pintar!”

“Ehm, permisi Neng cantik, Den Juragan, kita sudah sampai,” sela sopir mengintrupsi.

Brian celingukan, dan terkejut saat menyadari mereka sudah tiba di kaki bukit. Ia melompat turun, dan menyodorkan beberapa lembar ratusan ribu pada sopir.

“Terima kasih, Den,” sopir itu menerima uang Brian sambil membungkuk. Melihat Brian tidak menjawab, Sofia buru-buru mengambil alih.

“Sama-sama, Mang.”

“Terima kasih, Neng cantik, semoga langgeng sampai pelaminan sama Den Juragan.” Sopir itu mengedip jahil pada Sofia yang tergelak.

“Nggak ada yang lucu,” sindir Brian saat Sofia menyejajari langkahnya.

“Kamu kenapa, sih, marah-marah terus? Heran, deh, kalau lagi sama teman-teman sepeda kamu, kamu nggak galak kayak kamu sama warga kampung.”

Sudut bibir Brian menukik naik. “Untuk apa aku galakin teman-temanku sendiri?”

“Untuk apa kamu galakin wargamu sendiri?” balas Sofia membuat Brian kesal.

Brian menatap Sofia judes. “Karena kalau mereka dibaikin, nanti ngelunjak!”

“Masa? Contohnya?”

“Kamu lihat, digalakin aja masih banyak yang nunggak utang! Apalagi kalau dibaikin.”

Sofia menggeleng lemah. “Itu bukan ngelunjak, Brian, mereka terdesak keadaan. Kamu tahu Mang Somad yang siang tadi tanahnya mau papamu sita? Sekarang dia kritis di puskesmas, dan harus dibawa ke rumah sakit dengan biaya yang nggak sedikit.”

Brian berdecak malas. “Bukan urusanku,” katanya acuh.

“Apa kamu nggak kasihan? Mang Somad gagal panen selama lima bulan berturut-turut karena nggak bisa berkebun dengan benar. Dia sakit, Brian, dia sakit dan nggak punya uang.”

Kening Brian berkerut. “Terus?”

Sofia mengangkat wajah menatap Brian. Laki-laki itu balik menatap Sofia dengan sorot menyebalkannya yang biasa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status