Share

010. Suara Hati

“Hm?”

“Soal kuliah, boleh nggak aku ngambil jurusan pertanian?” Sofia memasang tampang lugu, tahu betul hal itu bisa dengan mudah meluluhkan hati sang suami.

Benar saja, Wira langsung menjawil hidung Sofia gemas, dan menanggalkan sikap arogannya tadi.

“Kan sudah Abang bilang, Abang ingin mengembangkan sektor peternakan di kampung ini. Ada baiknya, kamu dan Brian belajar soal peternakan yang Abang sendiri nggak kuasai. Jadi, kalian berdua bisa mengurusnya dengan baik di kemudian hari, Sayang.”

“Tapi, dari dulu cita-citaku ingin seperti Abang, belajar tentang pertanian sampai ke luar negeri, dan pulang kampung untuk membawa tanah kelahiranku ini menjadi lebih baik.” Sofia membuat nada suaranya seimut mungkin. Sampai-sampai ia mual sendiri mendengarnya.

“Memangnya, apa yang mau kamu tahu, Sofia? Abangmu ini bisa mengajarimu lebih baik dari dosen manapun di dunia.” Wira menggosok kepala Sofia penuh kasih.

“Banyak, dong, Bang, aku pengin tahu soal cara menanam bibit sampai menjadi hasil panen berlimpah dan berkualitas baik.”

“Bisa Abang ajarkan, gampang lah itu.” Wira melanjutkan menyantap sisa makanannya dengan santai.

Keesokan harinya, Sofia dibangunkan oleh kecupan hangat dari sang suami.

“Pulas sekali tidurmu, Dek. Sampai-sampai Abang mandi dan bersiap begini, kamu masih terlelap,” goda Wira cengengesan. “Capek sekali kamu Abang buat semalam, eh.”

Sofia menangkup wajah, menyembunyikan malu.

“Jam berapa ini, Bang?” tanya Sofia dengan suara serak. Ia menggeliat bangun, dan meregangkan otot.

Diliriknya Wira yang memperhatikan tubuh Sofia sambil tersenyum. Serta merta si gadis memeluk dirinya sendiri. Malu karena mendadak teringat kesibukan mereka semalam.

“Sudah mau jam enam⸻”

“Jam enam? Kenapa Abang nggak bangunin aku dari tadi? Aku, kan, belum subuhan.”

“Ya shalat, lah, sekarang.” Wira cekikikkan melihat Sofia melompat dari ranjang dan tunggang langgang menuju kamar mandi.

Setelah mandi, seperti biasa Sofia langsung menyiapkan sarapan untuk sang suami. Mereka makan bersama, sambil mengobrol ringan.

“Omong-omong, Brian kok nggak ikut sarapan?” Sofia mendadak berhenti mengunyah, dan celingukan cemas mencari keberadaan teman sekaligus anak tirinya tersebut.

“Dia pergi trekking subuh tadi, sama teman-teman sepedanya.” Wira memberi tahu.

“Lho, bukannya Abang menyita sepeda Brian?” Sofia mengerjapkan mata, menatap Wira yang menunduk.

“Yah … dia sudah janji akan lebih sopan sama kamu mulai sekarang, Sayang. Abang nggak punya alasan untuk menahan sepedanya lebih lama.” Wira beralasan. Padahal Sofia tahu betul, rasa sayangnya lah yang membuat Wira membatalkan sanksi penyitaan itu.

“Kalau dia membangkang lagi, atau bikin kamu kesal, bilang Abang, ya. Biar Abang sita lagi sepedanya.” Wira tersenyum pada Sofia yang kini tergelak.

Gadis itu mengangguk tanpa debat. Dalam hatinya ia sendiri tahu, Wira tidak akan tega menghukum Brian sedemikian keras hanya karena anak itu bersikap arogan.

Setelah mengantar Wira sampai ke sisi mobil untuk pergi berkegiatan hari itu, Sofia kembali masuk ke rumah. Ia mengambil kaus Brian yang dipakainya kemarin, lalu mencucinya sendiri tanpa bantuan asisten.

Menjelang sore, baik Brian maupun Wira belum ada yang kembali. Sofia yang menghabiskan waktu di dalam perpustakaan pribadi Wira, bergegas ke halaman belakang untuk mengambil kaus Brian dari jemuran, kemudian menyetrikanya.

Setelah memastikan baju sang anak tiri rapi dan wangi, Sofia membawanya ke kamar Brian dan menaruh kaus itu di atas meja belajar.

Wira kembali pulang sebelum jam makan malam. Sofia yang tengah sibuk menyiapkan makan malam di dapur, langsung melepas apron memasak dan menyambut kedatangan sang suami.

“Sudah pulang, Bang?” Sofia mengambil jaket yang dilepas Wira, dan membiarkan pria gagah itu mencium pipinya mesra.

“Maaf terlambat, ada yang harus Abang urus di kota siang tadi. Jalanan macet, baru sampai kampung setelah Isya begini.” Wira mengusap wajah letih.

“Biar kusiapkan air hangat untuk Abang mandi, ya. Setelah itu, baru kita makan sama-sama.” Sofia mengusap lengan kokoh Wira yang langsung membelit di pinggangnya.

“Kamu sempurna sekali, Sayang. Sudah cantik, baik, pengertian. Ingatkan Abang untuk memperluas tanah kebun orangtuamu besok, ya. Semuanya gratis, tidak masuk catatan utang.” Wira menciumi kepala Sofia.

“Jangan berlebihan,” ucap Sofia tenang.

Wira merengut. “Nggak berlebihan, dong. Abang sangat bersyukur punya istri seperti kamu, dan sudah selayaknya juga Abang berterima kasih pada orangtuamu yang sudah melahirkan anak seperti kamu ke dunia untuk Abang nikahi. Sepetak tanah nggak sebanding dengan kebahagiaan Abang memiliki kamu.”

Wajah Sofia memerah. Ia menatap lengan Wira yang semakin erat memeluknya.

“Bang, boleh aku tanya sesuatu?” ucap Sofia lirih.

“Tanya saja.”

“Benarkah Abang menikahiku karena cinta? Bukan untuk tebusan utang semata?”

Wira tersenyum lembut. Dibelainya pipi kemerahan Sofia, lalu mengecupnya pelan.

“Seandainya Abang katakan kalau utang itu hanya alasan belaka agar Abang bisa menikahi kamu, apa kamu akan marah?” Suara Wira terdengar sangat lembut di telinga Sofia.

Gadis itu menatap suaminya sungguh-sungguh. “Kenapa aku harus marah?”

Wira mengedikkan bahu. “Mungkin, kamu merasa aku sudah memanipulasi kehidupanmu.”

“Orangtuaku tidak bisa membayar utang itu diluar rencana, Bang. Orang-orang bilang, aku beruntung harus membayar dengan menikahi Abang, bukan diusir seperti kebanyakan para warga lain yang menunggak.”

“Awalnya aku nggak setuju karena kupikir menikahi manusia paling galak di muka bumi akan jadi kesengsaraan tak berujung. Tapi ….” Sofia diam sejenak saat menatap air muka Wira yang berubah.

Bukan marah, pria itu malah menahan gemas tak tertahan dengan gigi saling terkatup dan senyum mengembang.

“Tapi?” pancing Wira tak sabar.

“Tapi ternyata Abang memperlakukan aku sangat baik.” Sofia menyentuh dada Wira dengan jemari, mengagumi kegagahan di balik kulit langsatnya yang mungil.

Wira mengikuti arah manik mata Sofia yang berkilauan indah, dan menggenggam tangan kecil itu erat.

Menelan ludah, Wira membawa jemari mungil dalam genggamannya ke kelopak bibir dan mengecup lembut ujung lentiknya yang harum.

“Abang mencintaimu, Sofia. Lebih dari yang bisa kamu rasakan.” Wira bicara dengan mata terpejam. Suaranya rendah tak jelas, seperti deburan ombak di bibir pantai yang timbul tenggelam.

Tanpa kata, tangan Wira menjamah kedua pipi halus Sofia yang kini kemerahan karena desakan emosinya sendiri. Gadis itu tidak mengerti apa yang membuat jantungnya memompa seribu kali lebih cepat dari biasanya. Ia bisa merasakan seluruh darahnya terpompa naik di kepala, berpadu dengan napas panas Wira yang menerpa wajah, hingga membuatnya pusing.

Meniru Wira, Sofia memejamkan mata tepat ketika birai bibir keduanya saling terpagut. Lama dan lembut. Saling mencari kekosongan yang lama tak bertuan. Hasrat yang sejak dulu ada namun tertahan.

Sebelah tangan Wira meninggalkan pipi Sofia dan beralih ke lekukan pinggangnya yang molek. Ditariknya mendekat tubuh ramping itu hingga tiada jarak. Si gadis bahkan bisa merasakan keras garis otot perut sang suami, membuat hatinya semakin bergolak.

Keduanya terombang-ambing badai asmara hingga sekitar tak lagi berarti. Seolah kaki-kaki mereka melayang meninggalkan lantai dapur, terbang tinggi ke awang-awang. Tak tahu sepasang mata menatap keduanya dengan cibiran tak suka.

Brak!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status