Share

006. Lidah Setajam Pedang

Walaupun selama memasak Wira terus menggoda Sofia, ia tetap berhasil memasak sayur sawi putih, ayam goreng sederhana dan sambal lezat.

“Wah, Abang nggak sabar ingin menyantap habis semuanya!” Wira menggosok tangan penuh semangat saat Sofia menyajikan sepiring penuh nasi dan lauk pauk ke hadapannya.

“Jangan dong, Brian kan belum makan. Sisakan buat dia,” ucap Sofia mengingatkan.

Wira berdecak, “Ah, dia bilang akan pulang terlambat karena ada acara trekking sama teman-teman sepedanya. Biar saja anak itu beli nasi goreng di tempat si Mamat kalau pulang nanti.”

Sofia tersenyum, namun ia tetap menyisihkan sepotong ayam goreng dan semangkuk sayur untuk Brian.

“Sayang, Abang ada urusan di kota malam ini, mungkin baru pulang besok siang. Kamu nggak apa-apa, kan, tidur sendiri malam ini?”

Sofia kembali tersenyum. “Nggak apa-apa, Bang.”

“Kamu jangan senyum terus, nanti Abang nggak mau pergi.”

“Lho, ya nggak usah pergi saja,” timpal Sofia santai. Ia sudah mulai terbiasa dengan guyonan menggoda dari suaminya itu.

“Kalau Abang nggak pergi, nanti urusan administrasi sama pemasok bibit bisa kacau, Sofia.”

Sofia tergelak. “Memang harus malam-malam, ya?”

Wira mengangguk. “Karena bibit-bibit itu akan disebar besok pagi sebelum matahari naik. Ilmunya begitu, Sayang, agar hasil panen berkualitas tinggi.”

Sofia mengangguk-angguk. “Bahkan waktu penanaman bibit pun ada aturannya, ya.”

“Tentu! Semua itu Abang pelajari di Belanda. Begitulah cara mereka menghasilkan produk-produk berkualitas. Nah, cita-cita Abang, selain sektor pertanian, Abang juga ingin kampung ini maju di bidang peternakan. Abang sudah berencana membuat peternakan sapi dan ayam. Mungkin Abang juga akan minta Brian kuliah jurusan peternakan, tahun ini.”

Sofia terdiam. Perguruan tinggi adalah impiannya.

“Bagus,” katanya serak. Wira menangkap ekspresi sedih di wajah Sofia.

“Kenapa, Sofia? Kok tiba-tiba murung begitu?”

“Um … nggak apa-apa,” jawab Sofia berbohong.

Wira menggenggam tangan Sofia, dan menciumnya lembut.

“Sayang, kalau ada yang kamu inginkan, katakan saja. Abang pasti kasih.”

Sofia menatap Wira takut-takut.

“Y-yang benar?”

Wira mengangguk mantap. “Benar! Asal jangan minta cerai.”

Sofia ikut nyengir saat suaminya itu tertawa.

“Sebenarnya, aku sangat ingin melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi,” ucap Sofia muram.

Wira membuang napas. Ia tahu keluarga Sofia tidak akan mampu membiayai anak gadis mereka hingga ke perguruan tinggi, sekalipun Wira tidak menikahi Sofia.

“Kamu boleh kuliah. Abang akan daftarkan kamu di kampus yang sama dengan Brian. Biar nanti kamu dan Brian membantu Abang mengurus soal peternakan di kampung ini.”

Sofia membeliak. “Yang benar?”

“Benar!” Wira mengangguk sambil tersenyum.

“Aaa … terima kasih banyak, Bang! Sofia sayang Abang!” Saking gembira karena bisa meneruskan pendidikannya, tanpa sadar Sofia mengecup pipi Wira yang terkejut.

“Lagi, dong! Masa cuma pipi?” goda Wira bermanja.

Sofia menutup wajah malu. Ia tidak percaya telah berani melakukan hal demikian pada juragan tanah paling ditakuti di kampungnya.

“Aduh, sial!” Wira mengecek ponselnya dan bangkit berdiri. “Abang harus pergi sekarang. Kamu jaga diri di rumah, ya.”

Sofia mengangguk, dan mengantar kepergian Wira hingga mobil yang ditumpangi sang suami menghilang di ujung jalan kampung.

Sofia hendak kembali ke dalam rumah ketika dilihatnya gerombolan warga berjalan cepat melewatinya. Roman-roman panik di wajah warga membuat Sofia penasaran.

“Permisi, Kang, ada apa, ya?” tanya Sofia, menghentikan langkah salah seorang warga.

“Eh, Neng Juragan, ini, Neng, kami mau mengantar Mang Somad ke rumah sakit kota.”

“Kenapa Mang Somad?” tanya Sofia ingin tahu. Baru saja siang tadi ia membicarakan Mang Somad dengan Wira yang hendak menyita tanahnya.

“Tadi siang dia mendadak pingsan, lalu dibawa ke Puskesmas. Kata petugas di sana, gula darah Mang Somad tinggi dan harus segera dibawa ke rumah sakit umum.”

Sofia menangkup tangan di mulut.

“Ya ampun ….”

“Mari, Neng Juragan, saya ke Puskesmas dulu, mau bantu urus administrasinya. Katanya, kalau belum melunasi biaya ambulan dan sewa ruangan di rumah sakit, Mang Somad tidak akan diterima di sana. Kami para warga rereongan (sumbangan) untuk membantu melunasi biaya pendaftaran dan ruangan untuk Mang Somad.”

Sofia menghela napas risau. Ia teringat jatah uang yang diberikan Wira untuknya.

“Kang, tunggu sebentar, soal biaya rumah sakit, biar saya yang bayar.”

“Aduh, jangan, Neng Juragan! Nanti kalau Juragan Wira tahu, bisa gawat!”

“Sudah nggak apa-apa. Lagipula, saya pakai uang sendiri, yah … walaupun dia yang kasih, tetap saja uang itu sudah jadi milik saya.” Sofia menggeleng tidak sabar, “Pokoknya tunggu dulu di sini, saya masuk sebentar.”

Sofia berlari ke dalam rumah, dan mengambil kartu debit di dalam laci nakas. Terdapat secarik kertas bertuliskan ‘kata sandinya hari pernikahan kita, Sayang. With Love, Suamimu.’

Sofia kembali ke muka gerbang, namun betapa terkejutnya ia saat warga yang diminta menunggu, sudah tidak ada.

Sebagai gantinya, Brian menatap Sofia sambil terkekeh di atas sepeda downhillnya.

“Ngapain kamu nyuruh warga diam di sini? Mau kasih mereka sumbangan pakai harta Papa, ya!” tuding Brian menjengkelkan.

Sofia membuang napas kasar, namun karena ucapan Brian memang benar, ia tidak berkata apa-apa.

“Kamu usir warga tadi, ya?” Sofia menatap Brian curiga.

“Iya. Kenapa?” tantang Brian senang. Ia menginjak sadel sepeda, dan berbelok tajam di hadapan Sofia, membuat gadis itu menjerit kaget.

“Cemen! Begitu doang takut!” ejek Brian, tertawa-tawa sambil beratraksi dengan sepedanya.

“Dasar, anak nakal!” keluh Sofia, mengibas ujung roknya yang terkena cipratan lumpur dari ban sepeda Brian.

“Apa? Coba bilang sekali lagi?”

“Anak nakal!” ulang Sofia tanpa rasa takut.

Brian menghentikan gerakan sepedanya, dan memicing ke arah Sofia yang cemberut.

“Menghayati banget peran sebagai ibu tiri, kamu pikir itu keren?” Brian mendengus jijik, “Kamu nggak lebih dari sekedar perempuan murahan, yang menikahi pria karena hartanya!”

“Brian!” pekik Sofia tidak percaya. Ia menatap Brian dengan mata membeliak. “Jaga ucapanmu!”

Brian tertawa lebar. “Kamu yang seharusnya jaga sikap! Sudah untung dipungut Papa, kalau nggak, kamu nggak ada bedanya sama warga tadi! Pengemis!”

Puk!

Sofia melempar kartu debit di tangannya ke wajah Brian.

“Ambil ini! Aku nggak butuh!”

Sofia berlari ke dalam rumah, dan mengunci diri di kamar sampai keesokan pagi.

Karena menangis semalaman, Sofia jadi bangun terlambat. Ia bergegas mandi, dan menunaikan shalat subuh.

Saat Sofia keluar kamar, betapa terkejutnya ia mendapati Wira tengah terlelap di sofa ruang tengah.

“Bang … Abang, bangun!” Sofia mengguncang pelan tubuh Wira yang tegap.

“Eh? Sayang, kamu sudah bangun?” Wira tersentak, dan segera duduk sambil menggosok mata.

“Maaf, aku ketiduran. Abang tidur di sofa semalaman?”

“Nggak, Abang baru pulang satu jam yang lalu. Tapi karena pintu kamar dikunci, Abang rebahan di sini sambil nunggu kamu bangun, eh, ketiduran.” Wira nyengir lebar, tapi kemudian cengiran di wajahnya menghilang cepat.

“Kenapa matamu bengkak begitu? Kamu nggak habis nangis, kan?”

Sofia mengusap matanya yang sembap karena terus menangis sampai menjelang pagi.

“Nggak apa-apa,” ucap Sofia berbohong. “Abang sudah sarapan?”

“Jangan mengalihkan pembicaraan, Sofia, Abang tahu kamu habis menangis. Ada apa?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status