Share

Pertolongan untuk Karamel

Bau obat-obatan yang menyengat mulai membangunkan tubuh Kara. Terlihat dari segala arah, semua serba krem. Tangannya pun terpasang selang infus. Ada selimut yang menyelimuti tubuh sampai ke dada.

'Ini di mana?' batin Kara mulai bertanya-tanya.

Seingatnya, sepertinya dia pingsan di pinggir jalan. Lalu kenapa bisa sampai disini? Siapa yang telah menolongnya?

Ceklek

Terdengar pintu terbuka. Terlihat seorang gadis yang mungkin seusia Kara terlihat disana.

"Sudah enakan?" tanya gadis itu. Kara pun menjawab dengan menganggukkan kepalanya.

"Aku Asri. Perempuan yang membawamu kesini. Apakah ada nomor keluarga yang kamu ingat? Karena dari tadi kami mencari kartu identitasmu tapi tak ketemu." lanjut Asri kembali.

Kara hanya menggeleng sebagai jawaban. Bukan tak ingat. Hanya tak ingin kembali menjadi beban untuk mereka. Kejadian hari ini sudah membuat beban yang sangat berat untuk mereka. Apakah Kara juga tega menambah beban dengan mengatakan bahwa dirinya terdampar disini karena dibuang kakaknya?

"Ehm... Mbak Asri..." aku menggantung kata-kataku. Ada sedikit rasa tidak enak. Tapi aku juga bingung bagaimana aku harus membayar biaya perawatanku disini.

"Kenapa?" tanya Asri sembari menatap Kara yang terlihat seperti kebingungan.

"Mengenai biaya disini..." belum sempat Kara berucap sampai selesai, sudah dipotong oleh Asri.

"Gratis!" jawabnya singkat.

"Gratis?" Kara menanyakan kembali jawaban Asri yang terdengar seperti sebuah kebohongan. Apa iya di jaman sekarang masih ada pengobatan yang gratis tanpa syarat apapun?

"Iya gratis. Puskesmas ini sumbangsih dari para mantan preman yang kini sudah insyaf. Bukan semua orang. Hanya orang-orang tanpa identitas dan baru saja tertimpa kemalangan. Seperti... dirimu." terangnya yang membuat Kara terheran-heran.

Seperti... dirinya? Memang apa yang salah dengan dirinya?

" Kau habis kena kemalangan. Kata kak Ahmad tadi begitu. "paparnya yang membuat Kara mengernyitkan dahi semakin tak mengerti.

'Kemalangan apa? Bukankah tadi dirinya tak jadi dilecehkan para berandalan itu?' batinnya.

" Maaf, kak Sinar terpaksa memeriksa seluruh tubuhmu tadi. Karena terlihat banyak memar, kak Sinar dibantu temannya untuk memeriksamu. Dan katanya sebelumnya, kamu sudah mendapatkan kemalangan sebelum disini." paparnya kembali.

Kara pun menjadi terkejut. 'Kok ada yang lancang memeriksa tubuhnya disaat dia tak sadarkan diri? Tak ada yang beres dengan tempat ini.'

Ceklek.

Kembali pintu terbuka. Kali ini seorang dokter perempuan yang masuk ke ruangan ini. Di belakangnya ada seorang polisi yang turut serta menemani.

"Maaf karena sudah melakukan pemeriksaan tanpa persetujuan darimu." ujar dokter perempuan tersebut. Kara hanya terdiam menunggu alasan berikutnya dari dokter tersebut.

"Seseorang mengiris nadi, itu sudah bukan sesuatu yang lazim dilakukan jika dia tidak berada di situasi yang terdesak. Apalagi ditambah keterangan dari Asri tadi. Jadi kak Bram mengajukan tes visum untuk mencari bukti kesalahan dari berandalan kecil tadi." ujar dokter perempuan itu kembali.

" Mereka tak bersalah. "ungkap Kara lirih.

" Setelah pemeriksaan, kami tahu hal itu. Karena kalau dilihat dari lukanya, itu sudah beberapa jam yang lalu. Kamu tak mau mengangkat kasus ini? "tanya dokter perempuan itu kembali. Sedangkan Kara, hanya mampu tertawa sinis.

" Maunya seperti itu. Tetapi mereka dari kalangan orang berada. Bukannya mendapatkan keadilan, malah aku yang akan terseret pencemaran nama baik nantinya. "jawab Kara.

Dokter itu hanya menghembuskan nafas kasar. Sedangkan polisi yang sedari tadi mendampinginya, mulai mendekati Kara.

" Namaku Bram. Aku yang mengajukan visum untuk dirimu. Memang disini kami bisa mengajukan visum tanpa persetujuan dari korban jika merasa bahwa korban seperti terancam. Apakah kamu keberatan akan hal itu?" tanya polisi yang bernama Bram itu kepada Kara.

''Aku keberatan pun, visum sudah dilakukan. Jadi buat apa Abang menanyakan hal itu?" sarkas Kara.

Bram mengerti akan sikap Kara. Tak semua oranmau di korek lukanya. Tetapi bagi seorang polisi seperti dirinya, hal ini sangat penting dilakukan untuk memberikan efek jera kepada pelaku.

" Kau tau ini tempat apa? "tanya Bram kembali yang dibalas gelengan kepala dari Kara.

" Kata orang, disinilah tempat seseorang untuk menutupi aib. Banyak anak yang tak mempunyai orang tua lengkap. Banyak mantan narapidana juga. Banyak preman juga. Seolah mereka itu tak tersentuh hukum." jelas Bram yang membuat Kara tersentak kaget.

Sebegitu burukkah tempat ini?

" Kenapa bisa? "tanya Kara kembali.

" Entahlah. Mereka seperti terlindungi oleh sesuatu. Itu sebabnya, sekecil apapun bentuk kejahatan, kami berusaha untuk mengungkap dan memberi hukuman untuk sang pelaku. "terang Bram.

" Kenapa harus? "tanya Kara kembali.

" Selain karena tugas, disinilah tempat kelahiranku. Aku tak suka dengan predikat kota ini. Karena itu, aku merasa mempunyai kewajiban untuk memperbaikinya. "terang Bram kembali.

Kara menatap laki-laki di hadapannya ini. Raut wajah yang tegas, dengan tubuh yang tegap, seandainya dia di kota, pasti mudah sekali dia mendapatkan popularitas.

Namun, laki-laki ini malah justru memilih bertahan di tempat yang penuh masalah. Apa yang ada di pikirannya sebenarnya?

"Lukamu tak terlalu dalam. Besok pagi, kamu sudah bisa pulang."

Ucapan dokter perempuan itu membuat pikiran Kara kembali. Pulang? Pulang kemana?

"Kamu bisa kos sama aku. Kecil dan kumuh sih. Tapi murah. Kamu bisa cari kerja di pasar atau di pabrik sepertiku." ucap Asri menjawab kegundahan hati Kara.

Kara hanya menjawab dengan senyum. Kalau kos, mungkin dia bisa menjual pemberian ibunya yang masih aman di saku jaketnya. Tetapi pekerjaan? Kara tak membawa apapun selain baju yang dikenakannya kini. Bagaimana caranya dia akan mencari kerja?

"Ngga usah dipikirkan sekarang. Tidurlah!" lanjut Asri.

"Kamu tak membawa baju ganti?" tanya dokter perempuan itu.

"Dia dibuang hanya membawa badan sama pakaian yang dipakainya saja, mbak!"

Bukan Kara yang menjawab tapi Asri. Teman baru Kara itu memang kasihan akan nasib Kara yang seperti anak sebatang kara.

"Astagfirullah... Aku ada baju. Kamu pakai saja tak usah dikembalikan. Oh ya. Nama saya Sinar" ucap dokter perempuan itu sembari mengulurkan tangan perkenalan.

"Karamel Nandhita." jawab Kara.

"Kembali ke masalah pelecehanmu kembali. Kamu yakin tidak akan menindaklanjuti?" tanya Bram yang sebenarnya tak tega jika kasus Kara ditutup begitu saja. Sedangkan Kara, dia menganggukkan kepala mengiyakan pertanyaan polisi perhatian tersebut.

"Seperti alasanku diawal, Bang. Mereka punya kuasa..." belum selesai Kara berucap, sudah dipotong pertanyaan heran dari ketiga orang yang berada di ruangan tersebut.

"Mereka?" ucap mereka bertiga serempak.

"Keempat orang yang sangat berpengaruh di kota. Dan seorang suami yang mempercayakan istrinya pada orang yang salah." ungkap Kara yang membuat yang lain terkejut.

"Kamu sudah punya suami? Bagaimana ceritanya kalau sudah bersuami tapi malah dibuang sama kakak sendiri?" tanya Asri penuh tanya kepada teman barunya tersebut.

"Niatnya agar mengantarkan aku kerumah suamiku. Tetapi di tengah jalan, dia ingin mengambil posisiku sebagai istri dari suamiku." jawab Kara kembali. Sungguh kalau dipikir-pikir, mereka ini sudah seperti wartawan. Tanya tak ada berhentinya.

"Siapa nama suamimu? Barangkali nanti bisa aku mencarikannya untukmu." tanya Bram.

"Dirgantara Wisesa." jawab Asri cepat.

"Wisesa?" tangan Bram mengepal kuat seakan penuh amarah mendengar nama Wisesa disebut. Dokter Sinar pun menggenggam tangannya seperti memberi kekuatan.

'Ada apa dengan Wisesa? Kenapa suasana menjadi tegang setelah nama Wisesa disebut?'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status