Mereka seperti burung yang terkejut, padahal suara Devano tidak nyaring. Semua segera memutarkan badan dengan kaku dan menunduk kalau melihat sang pemilik kediaman ini. Sedangkan Dania, walau ia juga merasakan takut, tetapi ia mulai melangkah mendekati lelaki itu. Aura menyeramkan semakin terasa kala makin dekat pada Devano. "Berhenti! Siapa yang menyuruhmu, mendekat."Suara itu datar tetapi sangat tajam. Seperti belati yang selesai di asah lalu dilayangkan pada Dania. Membuat wanita tersebut lekas menghentikan langkah dan menundukan kepala seketika. Karena nyali yang awalannya sedikit ada kini tak tersisa sedikitpun. Seperti lilin yang menyala dan diterpa angin. "Ini caramu menyambut kami! kami keluarga Kania lho."Erna melangkah mendekati anaknya lalu berkata demikian, ia langsung memegang tangan Dania dan perempuan tersebut lekas melirik sang ibu. Suara wanita yang melahirkan kedua gadis itu bersuara nyaring walau dengan nada gemetar. Nada suara dan perkataan Erna membuat suasan
Erna, mendengar perkataan Devano, terdiam seketika. Amarah langsung membara sangat tampak jelas dari tangannya yang terkepal erat, seolah mencoba menahan emosi yang memuncak. Tetapi, mata wanita itu menatap kosong ke arah pemilik kediaman ini, seperti mencari balasan yang tepat untuk merespon."Uang segitu mana cukup, Bos aja nanti janji ke saya kalau bakal ngasih uang mahar, masa kamu enggak. Apa kamu lebih miskin dari dia!" Erna membalas dengan nada sinis, suaranya gemetar menunjukkan betapa emosinya tidak bisa dikendalikan. Sedangkan Devano hanya bisa menyeringai, mengejek. Sementara Kania, yang tidak menyangka ibunya akan berbicara begitu, tampak terpukul. Orang di sekitar mereka hanya bisa menggelengkan kepala, tampak tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar."Bu ...." Kata itu terlontar dari bibir Kania yang gemetar. Matanya berkaca-kaca, menatap wanita yang melahirkannya dengan penuh kekecewaan. Erna hanya melirik sinis, sementara Dania menatap ibunya dengan tatapa
Bawahan Devano melihat adegan tersebut berusaha menelan ludah dengan susah payah. Menatap wajah lelaki itu yang dingin bak kutub utara dan tatapan sangat tajam membuat mereka, seperti kekurangan oksigen karena pandangan mata sang majikan. Tubuh semua gemetar ketakutan, lalu tak berselang lama setelah membentak Kania. Pria tersebut segera memandang mereka, memilih menopang kaki dan bersidekap dengan sorot mata sinis."Kalian liatin apa, kenapa diam aja! Ayo cepat sajikan. Apa telinga kalian tuli," bentak Devano.Pembantu Devano tersentak mendengar omelan lelaki itu. Bahkan mereka segera melakukan tugas dengan tergesa-gesa, tidak bisa dipungkiri jika tangan para pelayan gemetar ketakutan."Yang bener kerjanya! Kalau tumpah gimana," sentak lelaki itu lagi.Mereka semakin gemetar ketakutan, bergegas menyelesaikan kerjaan lalu pergi dari ruangan mencengkam ini. Sedangkan Devano mendengkus melihat satu pembantu dengan perlahan mulai menarik pintu dengan pelan. "Lelet banget sih! Bisa cepet
Setelah berdebat sebentar Erna dengan putri bungsunya. Wanita itu kini menanda tangani dengan mantap berkas tersebut. Sedangkan Dania berwajah masam, ia sangat kesal karena dilarang ke kota ini walau sebentar saja. Secara tak langsung kaya memerintah tidak boleh mengusik kehidupan Devano dan Kania."Okey, berkas ini udah di tanda tangani. Ini uang yang mau dalam bentuk cash, dan sini nomor rekening kalian buat transfer uang sisanya," ujar Alex. Selesai berkata demikian Alex segera menunjukan bukti transfer lalu setelah mendapatkan anggukan keduanya. Lelaki itu lekas bangkit dan memasukan tangan ke saku, tatapan pria tersebut ke arah kedua perempuan ini. "Ayo cepat! Jangan membuang-buang waktu. Kita langsung pergi ke bandara, saya yang bakal ngawasin kalian pergi dari kota ini," lontar Alex. Mendengar itu mata Dania membulat sempurna, ia langsung berdiri dan menatap Alex. "Yang bener aja! Kita aja baru selesai tanda tangan. Harusnya kalian kasih waktu lah, buat kami pamitan dan sen
Kania memekik kesakitan saat merasakan tamparan yang terdengar menggema di seluruh kamar. Suara perempuan tersebut mengerang, merasakan nyeri begitu membekas. Bahkan sudut bibir terlihat noda darah, sedangkan mata berkaca-kaca, mencerminkan perasaan putus asa menghantam. Wajah wanita itu berubah pucat, keberanian seolah menciut tanpa bekas sedikitpun. Sementara Devano, dengan penuh amarah, menekan dagu perempuan yang menjadi tawanan dengan keras, sebagai tanda kekuasaannya. "Sakit ...." Suara Kania begitu rapuh, bahkan bergetar kala berkata demikian. Devano yang tidak mendapatkan yang diinginkan menggeram. Menunjukan ketidakpuasan. Ia semakin kesal, dan memperkuat cengkraman di dagu Kania. Seolah ingin menghancurkan wanita di hadapannya ini."Bukan itu yang ingin ku dengar! Cepat, katakan sekali lagi," seru Devano. Nada suaranya bahkan begitu menyeramkan, napasnya memburu. Seperti dengan satu kata yang terlontar bisa menghancur lawan bicara berkeping-keping. "Tuan ... tolong, lep
Mendapatkan sentakan dari ibunya Dania segera pamit pada Devano, untuk berbicara dengan perempuan yang melahirkan ini. Setelah melihat anggukkan pemilik kediaman, dengan langkah cepat perempuan itu menarik lengan Erna. Merasa sudah agak jauh, Dania berbalik lalu memegang bahu sang Ibu."Udahlah, Bu ... biarin aja sih, lagian. Ibu sih nyari gara-gara sama Tuan Devano, kalau enggak aku juga gak bakal mau ngejual harga segitu. Dia orang kaya, uang yang kita sebutin macem seujung kuku doang. Tapi ini kan Ibu bikin masalah, udah bagus dia masih bisa nahan diri, kalau enggak tamat kita, Bu! Lagian kita udah untung banyak juga kan, hutang juga udah dilunasin sama dia. Jadi mendingan kita cepat-cepat pergi sebelum dia berubah pikiran," pinta Dania. Suaranya agak gemetar, karena ketakutan. Tatapan datar Devano semakin menyeramkan, membuat dia ingin segera pergi walau masih ingin memandang ketampan ciptaan tuhan ini. Helaan napas kasar terdengar dari Erna, wajahnya terlihat sangat masam. Men
Mata Kania melotot saat ia menggelengkan kepala, ekspresinya penuh kekalutan. Tangannya gemetar saat ia memegang erat lengan Devano, mencoba memohon lewat tatapan. Sedangkan pemilik kediaman ini, dia memandang datar lawan bicaranya, mata terlihat penuh kepuasan, saat melihat Kania, dia tersenyum sinis. Sangat senang bisa membuat kekacauan dalam hidup Kania. "Tuan, tolong ... jangan hancurkan rumah itu, di sana banyak kenangan aku dan keluargaku." Suara wanita itu sangat lemah, bahkan nadanya gemetar akibat disela isakan. Air mata terus mengalir bahkan pipi memerah karena tangisan tak terbendung. Dia sudah tak membayangkan betapa jelek wajah karena terlalu lama menangis. Mendengar permohonan Kania, Devano tertawa sinis. Suaranya penuh dengan kepuasan. "Lihatlah dirimu sekarang! Inilah akibatnya jika kamu berani melawan dan menentangku," kata Devano dengan nada sinis yang menusuk.Kania sangat putus asa, dia terjebak dalam situasi yang sangat sulit. Bahkan ini tak terbayang di b
Teman kerjanya itu terdiam sejenak lalu menganggukkan. Ia berpikir sebentar, memang sepertinya Devano sudah tidak memperdulikan Kania. Kini malah wanita tersebut terus menanyai majikan mereka, membuat dia sangat kesal mengingat kejadian pas Kania kabur dan hampir mencelakai semua. "Ini, aku punya senjata. Ayo masukin ini ke makanannya, kalau gak dimakan kita paksa aja. Lagian Tuan Devano udah gak peduli sama dia, mungkin nunggu waktu pas buat buang dia aja," lontar Siska. Siska memperlihatkan sesuatu yang ia keluarkan dari saku, sebuah bungkusan berisi obat. Melihat hal itu, perempuan di sampingnya mengernyitkan kening lalu mengambil benda tersebut."Ini apa, Sis. Kalau yang aneh-aneh gak mau ahh ...."Wanita itu menolak, membuat Siska mendengus. Dia mengambil kembali bungkusan tersebut lalu memperlihatkan isinya dengan tegas."Ini cuma obat pencuci perut doang, biar dia bolak-balik kamar mandi. Gak aneh-aneh ini, cuma lampiasin kekesal kita karena dulu dia sok jual mahal. Segala