Kania memekik kesakitan saat merasakan tamparan yang terdengar menggema di seluruh kamar. Suara perempuan tersebut mengerang, merasakan nyeri begitu membekas. Bahkan sudut bibir terlihat noda darah, sedangkan mata berkaca-kaca, mencerminkan perasaan putus asa menghantam. Wajah wanita itu berubah pucat, keberanian seolah menciut tanpa bekas sedikitpun. Sementara Devano, dengan penuh amarah, menekan dagu perempuan yang menjadi tawanan dengan keras, sebagai tanda kekuasaannya. "Sakit ...." Suara Kania begitu rapuh, bahkan bergetar kala berkata demikian. Devano yang tidak mendapatkan yang diinginkan menggeram. Menunjukan ketidakpuasan. Ia semakin kesal, dan memperkuat cengkraman di dagu Kania. Seolah ingin menghancurkan wanita di hadapannya ini."Bukan itu yang ingin ku dengar! Cepat, katakan sekali lagi," seru Devano. Nada suaranya bahkan begitu menyeramkan, napasnya memburu. Seperti dengan satu kata yang terlontar bisa menghancur lawan bicara berkeping-keping. "Tuan ... tolong, lep
Mendapatkan sentakan dari ibunya Dania segera pamit pada Devano, untuk berbicara dengan perempuan yang melahirkan ini. Setelah melihat anggukkan pemilik kediaman, dengan langkah cepat perempuan itu menarik lengan Erna. Merasa sudah agak jauh, Dania berbalik lalu memegang bahu sang Ibu."Udahlah, Bu ... biarin aja sih, lagian. Ibu sih nyari gara-gara sama Tuan Devano, kalau enggak aku juga gak bakal mau ngejual harga segitu. Dia orang kaya, uang yang kita sebutin macem seujung kuku doang. Tapi ini kan Ibu bikin masalah, udah bagus dia masih bisa nahan diri, kalau enggak tamat kita, Bu! Lagian kita udah untung banyak juga kan, hutang juga udah dilunasin sama dia. Jadi mendingan kita cepat-cepat pergi sebelum dia berubah pikiran," pinta Dania. Suaranya agak gemetar, karena ketakutan. Tatapan datar Devano semakin menyeramkan, membuat dia ingin segera pergi walau masih ingin memandang ketampan ciptaan tuhan ini. Helaan napas kasar terdengar dari Erna, wajahnya terlihat sangat masam. Men
Mata Kania melotot saat ia menggelengkan kepala, ekspresinya penuh kekalutan. Tangannya gemetar saat ia memegang erat lengan Devano, mencoba memohon lewat tatapan. Sedangkan pemilik kediaman ini, dia memandang datar lawan bicaranya, mata terlihat penuh kepuasan, saat melihat Kania, dia tersenyum sinis. Sangat senang bisa membuat kekacauan dalam hidup Kania. "Tuan, tolong ... jangan hancurkan rumah itu, di sana banyak kenangan aku dan keluargaku." Suara wanita itu sangat lemah, bahkan nadanya gemetar akibat disela isakan. Air mata terus mengalir bahkan pipi memerah karena tangisan tak terbendung. Dia sudah tak membayangkan betapa jelek wajah karena terlalu lama menangis. Mendengar permohonan Kania, Devano tertawa sinis. Suaranya penuh dengan kepuasan. "Lihatlah dirimu sekarang! Inilah akibatnya jika kamu berani melawan dan menentangku," kata Devano dengan nada sinis yang menusuk.Kania sangat putus asa, dia terjebak dalam situasi yang sangat sulit. Bahkan ini tak terbayang di b
Teman kerjanya itu terdiam sejenak lalu menganggukkan. Ia berpikir sebentar, memang sepertinya Devano sudah tidak memperdulikan Kania. Kini malah wanita tersebut terus menanyai majikan mereka, membuat dia sangat kesal mengingat kejadian pas Kania kabur dan hampir mencelakai semua. "Ini, aku punya senjata. Ayo masukin ini ke makanannya, kalau gak dimakan kita paksa aja. Lagian Tuan Devano udah gak peduli sama dia, mungkin nunggu waktu pas buat buang dia aja," lontar Siska. Siska memperlihatkan sesuatu yang ia keluarkan dari saku, sebuah bungkusan berisi obat. Melihat hal itu, perempuan di sampingnya mengernyitkan kening lalu mengambil benda tersebut."Ini apa, Sis. Kalau yang aneh-aneh gak mau ahh ...."Wanita itu menolak, membuat Siska mendengus. Dia mengambil kembali bungkusan tersebut lalu memperlihatkan isinya dengan tegas."Ini cuma obat pencuci perut doang, biar dia bolak-balik kamar mandi. Gak aneh-aneh ini, cuma lampiasin kekesal kita karena dulu dia sok jual mahal. Segala
"Sial! Kenapa segala macet," maki Devano. Lelaki itu memukul tempat duduk, dia memandang ke jendela yang sangat lalu lintas sangat padat. Mendengar sang majukan terus mengomel, keringatan Alex bercucuran. Dia segera membuka jendela dan melihat ke luar, seseorang yang memakai motor ada di dekatnya. "Di depan ada kecelakaan, kayanya bakal lama macetnya," ucap pengendara. Mendapatkan informasi itu Alex segera mengucapkan terimakasih lalu ia menoleh menatap majikannya. Terlihat Devano sudah berwajah sangat dingin, lalu hawa di dalam kendaraan terasa panas. Membuat pria yang duduk di kursi kemudi itu mengibaskan tangan ke wajahnya. "Cari cara biar gak macet, pokoknya!" seru Devano. Setelah berkata demikian, lelaki itu fokus memandangi layar kembali. Melihat keadaan di dalam kamarnya, waktu terus berlalu. Keadaan di sana semakin terasa panas, padahal ada air conditioner."Apa ACnya mati, kenapa masih sangat panas," gerutu Alex. Lelaki itu menarik kerah karena kegerahan, mata Devano me
Setelah berkata demikian lelaki itu langsung mematikan sambungan telepon. Dia melihat keluar jendela, ternyata Alex sudah melajukan kendaraan dan beberapa kilo meter lagi sampai ke kediaman. "Cepatlah! Sudah gak macet bukan," kata Devano. Alex mengangguk lalu ia mulai mengencangkan laju kendaraan lagi. Tetapi hanya beberapa saja, membuat Devano kesal. "Berhenti!" perintah lelaki itu. Mendengar ucapan Devano yang lumayan kencang, Alex langsung mengerem mendadak. Membuat pria di belakang itu terantuk belakang tempat duduk. "Apa kamu gak bisa bawa mobil!" bentak Devano. Pria yang menjadi bawahannya itu hanya meminta maaf, sedangkan Devano menanggapi dengan dengkusan. Lelaki tersebut lekas keluar dari kendaraan lalu membuka pintu dan memandang datar Alex. "Cepat keluar! Pindah posisi," ucap Devano dingin. Mendengar perkataan Devano, Alex segera menurut. Lelaki itu lekas keluar sampai kepalanya menyundul perut sang majikan. Mendapati hal ini, pria yang menjadi atasan melotot kesal.
Setelah berkata demikian, lelaki itu melangkah dengan mantap menuju ruang bawah tanah. Alex mengikuti dari belakang, dan begitu mereka sampai di sana, para penjaga dengan hormat menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan. Siska, yang menyadari pria idamannya telah datang, ia yang di balik jeruji, segera mengeluarkan tangannya dan memanggil Devano."Tuan ... tolong saya, saya dituduh sama Kania. Pasti dia ada dendam dan mencoba menyalahkan kami. Mungkin kesal karena dulu gak bantu dia kamu dari Tuan," oceh Siska. Suaranya penuh dengan keputusasaan, ia berusaha menjelasoan situasi yang ia karang kepada Devano. "Pasti dia yang minum obat pencuci perut sendiri," lanjutnya. Kini suara berubah menjadi nada sinis, mencoba memberikan penjelasan lebih lanjut kepada Devano. Dan menyalahkan Kania, mendengar perkataan Siska, lelaki itu tersenyum sinis. Memandang dengan malas pada perempuan yang masih terus mengoceh, membuat beberapa penjaga yang melihat kejadian ini menahan rasa amarah mere
Seringai jahat muncul dari bibir Devano, membuat Siska yang melihat merasakan hawa dingin yang menusuk kulit."Cicipi dia dan siksa! Buat hidupnya hancur, membuat ia merasa mati lebih baik. Tapi jangan biarkan dia mati, buat dia tidak bisa bicara," seru Devano dengan penuh nafsu kejam.Setelah berkata demikian, Devano melangkah pergi dengan langkah mantap, sedangkan Siska yang berusaha mengejar, tetapi dihentikan oleh para penjaga di ruangan tersebut yang segera menangkapnya."Mau kemana, cantik? Ayo kita bersenang-senang," ujar salah satu dari mereka dengan senyum penuh kejahatan."Ayo kita bersenang-senang dulu, baru setelah itu pergi ke dokter untuk ...."Perkataan lelaki itu terhenti karena Siska meronta dan menendang alat vitalnya, membuat ia memekik kesakitan. Ia segera melepaskan cengkraman di lengan perempuan tersebut. "Sialan! Dasar jalang!" hardik pria tersebut.Dengan gerakan penuh amarah, tangannya langsung melayang menampar pipi Siska. Membuat wanita itu memekik dan samp