Share

2. Selingkuh di Kantor

“Aaah … hhhh!” Terdengar desahan memenuhi ruang kerja milik Leonel.

Di atas meja dengan tumpukan map itu, tampak seorang wanita mendesah di bawah Leonel. 

Mendengar itu, Leonel semakin merasa panas, menikmati sensasi di selangkangannya. 

“Apa istrimu tidak akan marah jika dia tahu kau selingkuh denganku?” Livy bertanya dengan napas yang terdengar begitu ngos-ngosan, seperti orang yang habis marathon puluhan kilo meter. Matanya merem melek menikmati sodokan yang semakin lama terasa semakin nikmat.

“Persetan dengan wanita itu. Dia hanya wanita bodoh yang tidak tahu apa-apa. Dia akan memaafkanku jika dia mengetahui perbuatanku.”

Leonel berucap dengan penuh percaya diri. Ia berhenti bergerak, menciptakan gurat kecewa di wajah cantik Livy, sebab ia hampir mencapai puncak kenikmatan.

Plak!

Leonel memberikan pukulan yang cukup keras. Menciptakan bekas kemerahan dengan telapak tangan di bokong montok, mulus, dan putih milik Livy. Wanita itu merasa panas di sana, cukup sakit karena Leonel lagi-lagi memberikan pukulan.

Livy hanya bisa diam, tidak berani memberikan komentar. Ia menerima setiap adegan yang dilakukan oleh Leonel.

Leonel membuka lebar-lebar bokong Livy, sehingga lubang kotorannya terlihat dengan sangat jelas.

“Jangan main belakang.” Akhirnya wanita itu berani menolak, sebab tidak ingin pantatnya diperawani oleh sang bos. Ia tidak tahu seenak apa sensai ketika bercinta dengan gaya dan cara yang seperti itu. Namun, ia pernah membaca artikel jika cara buang air besarnya akan sangat terganggu. Ia tidak ingin merasakan itu.

“Tidak apa, ini tidak akan sakit.”

Livy menggeleng. Sayangnya, Leonel tidak peduli.

“Auu!” Livy mengaduh karena terkejut ketika Leonel dengan kasar menjambak rambutnya, membuat ia harus mendongak demi mengurangi rasa sakit akibat jambakan.

Wajah Livy tampak memerah menahan rasa sakit. Beberapa helai rambutnya bahkan tercabut karena jambakan yang ia terima terlalu kuat. Wajahnya semakin memerah, bibirnya hampir berdarah karena ia gigit dengan sangat keras.

“Mmmph!”

Begitu puas, Leonel pun menjauh.  

Livy kira permainan mereka berakhir. Namun, Leonel ternyata tidak memberi waktu untuk istirahat sama sekali.

Digendongnya wanita itu menuju sofa yang ada di sana.

Ia baringkan Livy dengan cukup kasar, seperti setengah membanting.

Livy merasakan sakit ketika kepalanya membentur lengan sofa. Ia hanya menyipitkan mata, tidak mengaduh ataupun mengelus untuk mengurangi rasa sakit sama sekali.

Leonel ikut naik ke atas sofa, ia buka paha Livy lebar-lebar. Lalu, langsung melakukan penyatuan dengan sangat kasar. Sejenak ia diamkan batang kejantanannya berada di sana, menikmati rasa hangat liang itu dan juga kenyotan yang memberikan rasa nikmat tersendiri.

“Aku merasa sesak.” Livy memberikan komentar dengan senyuman meski wajahnya tampak pucat.

Tampaknya ia sudah sangat lelah karena sudah keluar beberapa kali. Sementara Leonel seperti memiliki stamina yang tidak habis-habis, terus menyodoknya tanpa henti sama sekali.

“Kau nikmat sekali, sangat berbeda dengan istriku.” Leonel kembali bergerak.

Ujung-ujung kuku Livy menancap di punggung lelaki itu.

Leonel menikmati setiap rasa sakit yang ia dapatkan dari punggungnya yang teruka akibat tancapan kuku itu. Ia semakin menekan batang kejantanannya, membuat cakaran Livy semakin dalam di punggungnya.

“A-ku mau sam …pai, aaahhh!” Akhirnya Livy kembali melakukan pelepasan untuk yang kesekian kali.

Namun, Leonel terus bergerak.

Urat lehernya bahkan tercetak dengan jelas, rahangnya mengeras.

Ketika hampir puas, Leonel menjauh.

Hanya saja, Livy tersenyum puas ketika ia merasa sesuatu yang hangat membahasi rahimnya.

Leonel sendiri menghempaskan tubuhnya di lantai, ia terduduk dengan lemas di sana. Merasa sangat lelah setelah tiga jam bercinta tanpa jeda.

Drrt!

Ponsel yang berada di meja terdengar berbunyi. Leonel mengabaikan hingga dering itu berhenti sendiri.

Lelaki bermata hazel itu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, sudah menunjukkan pukul delapan malam. Panggilan itu pasti berasal dari Airin karena ia telah telat pulang tanpa kabar.

“Kenakan pakaianmu, aku akan mengantarmu pulang.” Leonel berucap dengan sisa ngos-ngosan yang masih terdengar.

Livy bangkit dengan susah payah. Ia hampir mati di tangan lelaki itu, seluruh tubuhnya terasa sangat sakit kini.

Ponsel kembali berdering, Leonel bangkit berdiri dengan lutut yang terasa sangat lemas, seakan persendiannya terlepas. Benar saja, Airin yang sedang menghubunginya.

“Sayang, kamu di mana? Kenapa tidak mengabari dulu kalau ada lembur, aku nungguin kamu dari tadi.” Terdengar lembut suara Airin yang bertanya padanya dari dalam ponsel.

“Aku akan pulang sekarang.”

“Kamu mau makan atau mau mandi dulu? Biar aku siapin.”

“Aku langsung tidur saja.”

“Tapi—”

“Aku lelah, Airin.” Leonel langsung memotong pembicaraan.

Terdengar helaan napas kasar dari dalam ponsel. “Ya sudah, aku siapin kamar buat kamu. Hati-hati nyetirnya.”

“Ya.” Leonel langsung mematikan panggilan sebelum menutup pembicaraan.

“Apa dia tidak curiga jika kau bersikap seperti itu?” Livy bertanya seraya mengenakan pakaiannya.

“Dia itu sangat bodoh. Apa pun yang kukatakan, dia akan percaya.”

“Itu karena dia mencintaimu.”

“Cinta dan bodoh itu beda tipis. Aku muak harus pulang dan bertemu dengannya.”

“Jika begitu, menginaplah di apartemenku.” Livy berucap dengan manja, ia peluk tubuh Leonel dari belakang. Kedua telapak tangannya berada tepat di pentil lelaki itu.

“Aku akan melakukannya jika aku bisa.”

“Mengapa tidak bisa?”

“Ayahku akan menghajarku jika dia tahu aku tidak pulang ke rumah istriku.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status