[Sayang, kau tidak jadi ke sini? Ini sudah hampir jam delapan malam. Kau bilang kau akan datang jam lima sore.] Sebuah pesan masuk dari Livy.
Leonel menghela napas dengan dalam. Ia menoleh, menatap istri dan ayahnya yang tengah berbincang di depan televisi. Keduanya tampak sangat akrab. Ada banyak hal yang tengah mereka bicarakan.[Aku sudah rindu goyanganmu. Ah, aku sudah basah hanya dengan membayangkanmu saja. Aku sangat horny sekarang.] Wanita itu kembali mengirimkan pesan.[Aku akan ke sana sebentar lagi. Aku harus mencari alasan karena ayahku ada di sini.][Apa dia akan melarangmu? Sementara istri bodohmu itu tidak pernah melarang kau pergi ke mana saja.][Aku takut pada ayahku.][Apa dia galak?][Sangat.][Aku menunggumu, cepatlah datang.]Lagi, Leonel menghela napas dengan dalam. Ia bangkit berdiri, meraih kunci mobil dan hendak beranjak pergi.“Mau ke mana kau?” Robin bertanya dengan sorot begitu dalam menatap sang putra.“Aku keluar sebentar, mau cari angin. Ini malam minggu, waktunya untuk menjernihkan pikiran sebelum kembali bekerja besok lusa.” Leonel mencari alasan. Wajahnya sangat meyakinkan.“Mengapa kau tidak mengajak istrimu?” Lelaki paruh baya itu menatap dengan sorot curiga.“Dia tidak suka jalan-jalan.” Leonel menatap dengan tajam pada Airin, seolah sorot matanya tengah memberi kode pada sang istri agar mengiyakan ucapannya.“Aku mau kok.” Airin menjawab dengan cepat. Ia alihkan pandangan ke arah lain, tidak berani membalas tatapan sang suami yang begitu menakutkan.Leonel tampak geram. Namun, ia tidak bisa melampiaskan kemarahan di depan ayahnya. Terpaksa ia tahan emosinya untuk saat ini.“Kau dengar? Dia ingin ikut.” Robin berucap dengan tegas. Segera ia minta menantunya untuk lekas siap-siap dan berganti pakaian.Airin tampak begitu senang. Ia lekas bangkit dan berlari menuju kamar. Sudah sangat lama ketika mereka menghabiskan waktu bersama. Ia bersyukur memiliki bapak mertua yang begitu perhatian dan penyayang.Karena tidak ingin membuat suaminya kesal sebab menunggu lama, Airin kembali lagi lima belas menit kemudian. Wanita itu tampak sangat cantik dengan dress vintage tanpa lengan. Ia seperti gadis yang baru berusia 17 tahun dengan pita yang mengikat rambutnya. Juga polesan make up tipis-tipis. Apalagi tubuhnya yang mungil, membuat ia dan Leonel terlihat seperti pasangan kakak dan adik. Di usianya yang sudah 22 tahun, Airin belum bisa menghilangkan sifat manjanya sama sekali. Bagi Leonel, sikap manja itu lebih terkesan kekanak-kanakan. Ia tidak suka wanita manja.Airin sangat menyukai Leonel semenjak wanita itu masih kecil. Orang tua mereka berteman sangat dekat. Mereka sering berkumpul bersama, membuat rasa cinta di dada Airin semakin mekar karena selalu disiram.Ketika menginjak 20 tahun, Airin mengatakan keinginannya untuk menikah dengan Leonel. Orangtuanya langsung setuju, sebab mereka mengenal Leonel sebagai pria yang baik. Apalagi mereka tidak bisa menolak permintaan sang putri sama sekali. Orang tua Airin melamar Leonel untuk putri mereka. Leonel menolak, sebab ia tidak mengenal Airin dengan baik. Ia jarang memerhatikan Airin ketika pertemuan mereka. Sebab, baginya wanita itu hanya anak-anak dan tidak pernah terpikir akan menikah dengannya.Usia mereka terpaut lima tahun. Tapi dari segi fisik dan pemikiran, jelas sekali jika mereka memiliki perbedaan yang sangat jauh. Terlebih lagi Leonel memiliki jiwa yang cukup berandal.Namun, karena Robin merasa memiliki hutang budi pada orang tua Airin, ia memaksa putranya untuk menikah dengan Airin. Jika menolak, Leonel harus mengembalikan semua uang milik Robin yang telah ia habiskan dari kecil hingga beranjak dewasa. Terlebih lagi lelaki itu suka menghamburkan uang. Leonel tidak punya pilihan. Ia terpaksa menerima pernikahan.Tahun pertama menikah, ia masih bersikap baik karena merasa Airin sangat cantik. Akan sangat disayangkan jika ia tidak memanfaatkan apa yang sudah ia genggam. Ia pikir Airin akan bisa membuatnya jatuh cinta. Setidaknya bisa dipuaskan di atas ranjang. Namun, nyatanya tidak sama sekali. Baginya Airin sangat membosankan dan monoton ketika bercinta. Ia merasa tidak ada yang istimewa dari istrinya selain wajah yang terpahat begitu sempurna. Ia akui jika kecantikan Airin memang berada jauh di atas rata-rata. Airin bagaikan bidadari yang turun dari surga. Perlakuannya sangat lembut, juga senyum yang begitu memikat. Setiap lelaki yang memandangnya, akan jatuh cinta padanya. Namun, tampaknya itu tidak berlaku bagi Leonel.Tahun kedua pernikahan, Leonel mulai menyerong karena mendapatkan kenyamanan dari sekretarisnya. Livy sangat menggoda meski wajahnya tidak secantik Airin. Wanita itu sangat agresif dan pintar membuatnya puas di atas ranjang. Tidak jarang Leonel membayangkan wajah istrinya ketika ia tengah bercinta dengan Livy. Sebab, ia merasa sangat terpuaskan dengan berfantasi seperti itu. Sebuah perpaduan yang begitu sempurna menurutnya. Jika Airin bisa sedikit lebih nakal, mungkin ia tidak akan menyimpang seperti sekarang.“Mas ….” Airin memanggil dengan begitu lembut. Merasa sangat tidak nyaman dengan tatapan yang ia dapatkan.“Kau lama sekali.” Leonel berucap dengan kesal.“Bersikaplah lebih lembut pada istrimu, Leonel!” Robin menanggapi.Leonel tidak merespons. Lelaki itu beranjak pergi dengan wajah tidak senang.“Kami pamit, Pa.” Airin mencium punggung tangan Robin, lalu beranjak menyusul suaminya yang sudah pergi lebih dulu.“Kau di belakang!” Leonel menutup kembali pintu mobil yang sudah dibuka oleh Airin.“Tapi, Mas—”“Kau berani membantah sekarang?” Leonel menatap dengan sangat tajam.Mata Airin tampak berkaca-kaca. Hatinya yang sangat lembut membuatnya mudah terluka. Itulah mengapa Leonel sangat tidak suka padanya. Ia muak dengan sikap Airin yang begitu cengeng.Airin melangkah menuju kursi penumpang, masuk dan duduk dengan mata berembun. Baru saja wanita itu duduk, mobil langsung melaju keluar dari pagar.[Sayang, kau masih lama? Aku merasa sangat panas. Jangan buat aku tersiksa menahan nafsu seperti ini.] Pesan dari Livy kembali masuk.[Aku sudah di jalan.] Leonel membalas dengan cepat.“Mas … aku salah apa? Kenapa kau bersikap seperti ini padaku?”“Salahmu karena kau menikah denganku!” Leonel berucap dengan nada tinggi. Terselip amarah dan kekesalan yang begitu besar dari nada bicaranya.“Maaf.” Airin berucap dengan lemah, ia menunduk untuk menyembunyikan matanya yang memerah menahan tangisan.Mobil berhenti setelah mereka meninggalkan rumah cukup jauh.“Turun!” Leonel berucap pada istrinya.Airin menatap sekitar. Tampak sunyi dan sedikit gelap.“Kita sudah sampai?” Wanita itu masih saja bersikap sangat manis meski Leonel telah melukai hatinya berulang kali.“Kau saja yang turun. Aku akan bertemu dengan teman-temanku di bar. Mereka akan meledekku jika aku membawamu. Kau pergilah jalan-jalan sendiri, nanti kau kuhubingi jika aku sudah ingin pulang. Kau akan kujemput.”“Mas … kau bilang kau sudah berhenti minum.” Airin berkomentar dengan nada begitu lembut. Sedikit pun ia tidak ingin suaminya merasa kesal karena ucapannya.“Kau pikir di bar hanya ada alcohol?” Leonel berucap dengan ketus. “Cepat turun! Satu lagi, jangan beritahu papa jika kau kuturunkan di sini!” Lelaki itu memberikan ancaman.“Di sini gelap …. Tolong turunkan aku di tempat yang sedikit ramai.” Airin berucap dengan suara bergetar.“Jangan manja. Beberapa menit berjalan, kau akan bertemu keramaian. Cepat turun!”Airin terpaksa turun meski ia merasa sangat takut. Sesaat setelah ia turun, mobil langsung melesat dengan kecepatan tinggi.Airin menghela napas dengan kasar. Entah berapa banyak lagi ia harus menyetok rasa sabar.Airin berjalan dengan kaki gemetar. Ia melongok ke kiri dan kanan. Tidak tahu di mana ia berada sekarang. Hanya satu dua kendaraan yang lalu lalang. Hingga sebuah mobil jeep lewat dengan pelan. Di dalam mobil itu ada tiga lelaki dewasa yang tengah mabuk. Mereka kembali memundurkan mobil ketika menyadari bahwa mereka memiliki kesempatan.Airin bahkan hampir kehilangan napas dengan wajah memerah. Wanita itu sama sekali tidak bisa menghirup oksigen.Lampu mobil yang mati membuat Airin tidak bisa mengenali wajah para pelaku.“Hantam saja biar dia berhenti memberontak.” Salah satu dari mereka berucap.Plak! Wajah Airin digampar dengan sangat kuat. Membuat wanita malang itu langsung kehilangan kesadaran. Tampak darah segar keluar dari lubang hidungnya. Sudut bibirnya pecah, pipinya bengkak dan biru lebam.Salah satu dari lelaki itu menjilat wajah Airin. Lidahnya dengan kasar menghapus darah yang mengalir dari hidung wanita itu. Seakan cairan merah itu berupa sirup manis baginya.“Kalung ini sepertinya mahal.” Kalung berlian yang Airin kenakan ditarik dengan kasar. Lalu, dikantongkan.“Sepertinya dia anak orang kaya. Kita bisa kesusahan jika membebaskannya. Sebaiknya dia kita bunuh saja.” Salah satu dari mereka berucap.Ponsel yang berada di dalam tas Airin berdering. Tertulis nama sang bapak mertua di sana. Tampaknya lelak
Berbeda dengan keadaan Airin, di sofa apartemen lantai 12, Leonel tengah bercinta dengan begitu panas bersama sekretaris kesayangannya. Ia selalu saja bergairah setiap kali melihat wanita itu. “Uuuuuh.” Livy mendesah. Ia menatap Leonel dengan penuh cinta. Seakan lelaki itu adalah miliknya. Lengannya ia lingkarkan ke leher lelaki itu. Ia menggigit bibir bawahnya untuk meredam kebisingan yang ia timbulkan.“Lepaskan saja. Kau tahu kan, aku lebih suka mendengar desahan.” Leonel berucap dengan napas yang terengah-engah.“Aku takut didengar oleh tetangga apartemen.” Wanita itu memiliki alasan yang kuat. Ia seorang wanita lajang. Reputasinya di lingkungan apartemen begitu baik. Semua tetangga mengenalnya sebagai wanita yang sopan dan penuh santun. Ia sangat ramah dan memilih senyum yang tampak manis. Siapa sangka di balik itu semua ia memiliki jiwa yang begitu liar. Bahkan dengan sadar diri menggoda suami orang hanya karena ia menyukainya. Tidak peduli dengan wanita yang menjadi pasangan l
“Untuk apa aku berbohong?” Leonel berucap dengan serius. Ia tidak tampak seperti orang yang tengah menutupi sesuatu. Sebab, ia memang berpikir seperti itu.Robin menghela napas dengan kasar. Percaya begitu saja dengan ucapan putranya. Sebab, lelaki itu tidak terlihat seperti orang yang telah berbohong. Terlebih ia bisa melihat noda lipstick di kemeja Leonel. Berpikir jika itu bekas kecupan Airin. Itu artinya tidak terjadi apa-apa di antara keduanya.***Motor butut itu melaju dengan lambat. Sang pengendara menatap ke kiri dan kanan, mencari lahan rumput untuk makanan ternak. Ia baru saja mendapat info dari temannya jika rumput di sana sangat segar. Ketika menemukan padang rumput, ia menghentikan motornya dan turun dari kendaraan roda dua. Lelaki berkulit gelap itu membawa sabetan yang biasa ia gunakan untuk mengambil rumput.Ketika tengah sibuk menyabet, ia dikejutkan dengan sosok seorang wanita di sana. Awalnya ia berpikir jika itu hanya manekin rusak, sebab kulit Airin benar-benar b
“Airin!” Robin berlari menuju ruang di mana Airin tengah dirawat. Namun, langkahnya ditahan, sebab tidak ada yang bisa masuk ke sana untuk saat ini. Airin butuh perawatan yang sangat intensif.“Apa yang terjadi?” Lelaki paruh baya itu bertanya pada para petugas yang berada di sana. Mereka menjelaskan apa yang sudah terjadi.“Bagaiman mungkin? Tadi malam dia ada di rumah orangtuanya.” Robin tidak percaya sama sekali. Ia menatap dari pintu kaca. Tampak ada banyak selang yang terhubung dengan tubuh lemah itu. Airin bahkan belum terbangun sama sekali. Layar yang memonitor detak jantung menunjukkan bahwa detak jantung Airin sangat lemah saat ini.Robin merasa sangat panas. Tangannya terkepal, api amarah menguasai hati. Akan ia cari pelaku yang menodai menantunya, jika sudah ia temukan para pelaku itu, akan langsung ia habisi tanpa memberi ampun sama sekali.“Kau sudah memberitahu Leonel?” Robin bertanya pada Alex yang berdiri tidak jauh darinya.“Aku sudah berusaha menghubunginya, tapi pan
“Silakan pakai APD yang disediakan. Hanya lima belas menit saja.” Perawat itu mengizinkan.Robin tampak sangat bersemangat. Ia langsung melakukan apa yang perawat itu katakan.Lima belas menit kali ini adalah lima belas menit paling berharga bagi Robin. Ia berdiri di samping brankar, menatap Airin dengan sangat dalam.Sementara Leonel hanya bisa menatap dari luar. Luka di wajahnya seakan tidak berarti apa-apa setelah ia melihat luka Airin. Lelaki itu menatap jemarinya, ia lupa kapan terakhir kali ia mengenakan cincin pernikahan mereka. Senyum Airin kini terbayang-bayang di pikirannya. Airin selalu bersikap begitu lembut dan manis sekeras dan sekasar apa pun ia bersikap.Ucapan Robin beberapa menit yang lalu terasa menusuk hatinya. “Wanita berhati malaikat sepertinya harus menikah dengan lelaki iblis sepertimu!” Kalimat itu terngiang-ngiang di otaknya. Matanya berkaca-kaca. Sadar jika ia telah melakukan banyak kesalahan. Tidak seharusnya ia memperlakukan Airin seperti itu. Seharusnya i
“Memang, ke mana mereka?” Arie bertanya dengan kering berkerut. Ia sudah berpesan pada Robin untuk mengatakan pada Airin bahwa malam ini mereka akan datang untuk berkunjung. Namun, ternyata pesannya tidak disampaikan ke orangnya.Leonel hendak memberi jawaban, tapi dering ponsel membuatnya urung berucap. Tertera nama Livy di layar ketika ia merogoh saku untuk mengecek siapa yang menghubungi. Ekspresi lelaki itu langsung berubah total. Wajahnya semakin terlihat pucat. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Keringat dingin tiba-tiba datang menyerang.Leonel menolak panggilan, ia tidak berani menerima panggilan Livy, sebab ada mertuanya di sana. Ia akan habis jika Arie tahu bahwa dirinya telah mendua.“Kenapa tidak diangkat? Itu dari Airin?” Lenzy bertanya dengan penuh harap. Rasa rindu dalam dada sudah memuncak, tidak sabar ingin bertemu dengan buah hati kesayangan. Meski Airin sudah 22 tahun dan telah memiliki suami seperi Leonel, tetap saja bagi mereka Airin hanyalah seorang anak kecil.
TIT!“Dokter! Dokter!” Robin berlari memanggil petugas ketika Airin memberikan tanda-tanda bahwa dirinya akan siuman.Tidak lama berselang, Robin kembali lagi bersama seorang dokter dan beberapa perawat untuk memeriksa kondisinya. Benar saja, saat dokter tiba di sana, Airin telah membuka mata. Wanita itu berkedip berulang kali untuk menyesuaikan pandangan dengan cahaya. Ia tampak begitu terganggu dengan cahaya ketika pertama kali membuka mata di saat bangkit dari koma.Airin seperti orang linglung, masih setengah sadar ketika ia menatap sekitar. Para petugas tampak sibuk dalam memeriksa kondisinya.Robin tampak begitu senang hingga matanya berkaca-kaca. Seminggu sudah Airin tidak sadarkan diri dan kini akhirnya bisa bangun kembali meski kondisinya masih belum membaik sama sekali.Airin tidak bisa berbicara, bahkan untuk membuka mulut pun ia tidak snaggup karena rahangnya masih terasa sangat sakit. Untung saja rahangnya hanya bergeser, tidak patah. Jadi, penyembuhannya tidak memakan wa
“Istri saya baik-baik saja kan, Dok?” Leonel tampak panik.Airin merasa senang ketika sang suami mengkhawatirkan dirinya. Hal yang tidak pernah ia terima dari lelaki itu sejak enam bulan terakhir. Mendapati wajah panik lelaki itu, ia merasa bahwa Leonel masih peduli dan mencintainya.“Kau menekan perutnya?”“Tidak, aku hanya memeluknya.”“Pelukanmu terlalu kuat sehingga menekan perutnya. Bengkak di perutnya akibat hantaman itu masih sangat sensitive. Organ dalamnya harus mendapat perawatan itensif selama beberapa hari ini. Tolong dijaga istrinya agar tidak melakukan gerakan berat. Dia harus itirahat total.” Dokter mengingatkan.“Saya akan menjaganya, Dok.” Leonel berucap dengan nada yang begitu meyakinkan.Airin meraih tangan suaminya, ia genggam tangan itu dan ia taruh di dadanya. Ia tidak ingin Leonel pergi meninggalkan dirinya. Sebab, ia merasa aman jika suaminya berada di sisinya.Leonel berkaca-kaca menatap istrinya. setelah apa yang ia lakukan selama ini hingga membuat istrinya