Share

Bab 4. Happy Graduation

Sheyra masih setia menatap gerbang kampus di mana calon wisuda dan wisudawan masih terus berdatangan, tentunya bersama orang tua mereka. Dan di antara lalu-lalang orang-orang itu, Sheyra masih berharap jika sosok papanya akan muncul dan memanggil namanya saat mengetahui Sheyra telah menunggu tidak jauh dari sana.

Dia masih terus berdoa, berharap papanya mau meluangkan waktunya walaupun itu hanya sebentar dan berharap jika papanya itu mau menebus ketidakhadiran beliau di saat-saat hari terpenting dalam hidup Sheyra.

Namun hingga menit demi menit yang berlalu, sosok papa yang selama ini sangat Sheyra rindukan kehadirannya itu tak kunjung menampakkan diri. Hal itu seketika membuat Sheyra teringat pada hari kelulusannya di mana di setiap acara tersebut, sang Papa tidak pernah hadir untuk memberikan apresiasi untuknya. Selalu seperti itu dan Sheyra harus kembali menelan kekecewaan yang begitu dalam.

Merasa tidak ada lagi yang bisa Sheyra harapkan, dia pun segera berbalik untuk kemudian berjalan menuju acara kelulusannya diadakan. Namun, saat kakinya baru beberapa kali melangkah, suara seseorang dari arah belakang seketika menghentikannya.

"Kak Sheyra!"

Dan Sheyra tak mampu lagi untuk menahan laju air matanya yang sudah sejak tadi berusaha dia tahan mati-matian. Segera, dia berbalik dan mendapati sosok Radit sudah berada di hadapannya dalam kondisi terengah-engah. Mungkin karena adiknya itu berlari saat memasuki gedung kampusnya.

"Aku datang. Aku sudah menepati janjiku," ucap Radit sambil membungkukkan badan, mungkin untuk mengatur napasnya yang sedang terengah-engah.

Sheyra mengangguk dengan telapak tangan yang sibuk menghalau laju air matanya. "Makasih ya," ucapnya dengan suara gemetar.

Mendengar nada suara kakaknya yang berbeda, Radit pun mendongak dan dia mendapati kakaknya itu tengah mengusap kedua pipinya yang tampak basah. "Loh. Kakak kok nangis sih?" seru Radit panik yang membuat Sheyra segera menghentikan tangisannya.

"Iya nangis bahagia ini," jawab Sheyra tersenyum sendu.

Radit tampak mengangguk-angguk. "Jangan nangis lagi, Kak. Bahagia tuh nggak harus nangis. Nih, aku bawain hadiah buat Kakak biar nggak nangis lagi," ucap Radit sambil mengulurkan sebuah buket coklat yang sejak tadi disembunyikannya di balik badan.

Sheyra menerima buket berisi coklat dari produk terkenal itu dengan sorot mata yang berbinar cerah. Dia pun menjawabnya. "Wah. Ini coklat kesukaanku. Makasih ya, Dit," seru Sheyra sumringah.

Radit tersenyum dan menjawabnya. "Sama-sama. Eh. Btw, happy graduation ya, Kak."

Namun, bukannya mengucapkan terimakasih atas ucapan selamat yang di lontarkan adiknya itu, Sheyra justru teringat sesuatu, sehingga memilih untuk menanyakannya lebih dulu. "Eh, Kamu nggak sekolah?" tanya Sheyra heran.

Radit tampak menepuk bahu disertai sebuah senyuman jumawa. "Tenang. Aku udah izin guru." Dan Sheyra seketika tertawa melihat bagaimana adiknya itu bertingkah bak pahlawan perjuangan. Ya walaupun, Radit memanglah pahlawan untuknya karena selalu ada di setiap masa-masa gentingnya.

"Makasih ya, Dit. Kamu udah mau luangin waktu untuk Kakak." Sheyra begitu terenyuh dengan sikap Radit kali ini. Walaupun dirinya dan Radit lahir dari ibu yang berbeda, tetapi Radit tidak pernah menjadikan hal itu sebagai sebuah pembatas antar hubungan persaudaraan yang terjalin. Katanya. 'Kita itu saudara dan Kak Sheyra adalah kakak terbaik sepanjang masa.'

"Tapi, Kak—" ucap Radit seperti sengaja menggantung kalimatnya.

"Kenapa?"

"Ini nggak gratis ya." Dan Sheyra seketika memutar bola matanya jengah, merasa sudah bisa membaca apa yang diinginkan oleh adiknya itu. Walau demikian, Sheyra tidak merasa keberatan dan memilih menjawabnya dengan. "Iya, nanti aku belikan tiketnya."

****

Acara perayaan kelulusan itu akhirnya berjalan lancar dan Sheyra telah meraih toga itu. Memang, toga yang dia dapat bukanlah penghargaan tertinggi dalam hidupnya. Namun, toga itulah yang bisa membuktikan bahwa dia sanggup dan mampu menyelesaikan pendidikan sarjananya. Karena toga itulah, dia akan membuktikan pada sang Papa bahwa dia bisa mendapatkan nilai IPK yang tinggi, seperti keinginan papanya dulu.

Bisa diakui, Sheyra masuk dalam jajaran lulusan terbaik, walaupun nilai IPK nya masih berada di bawah dari nilai yang di dapat Kafka. Laki-laki itu memiliki nilai yang hampir sempurna. Oleh karena itu, wajar-wajar saja bila Kafka sampai bisa mendapat beasiswa di Australia.

Kekasihnya itu memang mampu dan sangat pantas mendapatkan penghargaan beasiswa tersebut. Walaupun, tanpa beasiswa itu pun kedua orang tuanya masih sangat mampu untuk membiayai semua modal pendidikan putranya, tetapi Kafka memiliki prinsip lain dan tidak ingin membebankan seluruh biaya kepada orang tuanya.

Oh ya. Mengenai laki-laki itu, karena saat acara sedang berlangsung Sheyra tidak bisa memberikan ucapan selamat secara langsung, maka yang dilakukannya sekarang adalah menunggu Kafka di halaman depan kampus dan membiarkan Radit untuk pulang lebih dulu. Lagipula, tempat tinggal Sheyra dan Radit juga sudah berbeda. Jadi, Sheyra rasa papanya tidak akan bertanya ini dan itu mengenai keterlambatannya pulang. Toh, selama ini papanya tidak pernah peduli entah Sheyra pulang atau tidak ke kostnya.

"Sheyra!"

Sheyra tersentak dari lamunannya. Dia menoleh ke arah sumber suara dan segera dia mendapati sosok Arya tengah berlari kecil ke arahnya disertai senyuman lebar yang terukir di bibir pria tampan itu. "Selamat, Shey. Kamu hebat," ucap Arya ketika telah tiba di hadapan Sheyra.

Laki-laki itu mengulurkan tangannya yang segera Sheyra balas dengan jabatan. "Makasih ya, Ar," jawab Sheyra sambil tersenyum hangat.

Tidak lama setelah Arya datang, orang tua dari Arya itu pun ikut mendekati Sheyra dan menyapanya dengan ramah.

"Hai, Sheyra. Selamat atas gelar barunya ya," ucap Tante Hanum, ibu dari Arya yang memang sudah mengenal Sheyra setelah Kafka sering sekali mengajaknya untuk ikut ke rumah Arya.

"Makasih, Tante," jawab Sheyra tersenyum sambil menganggukkan kepalanya pelan.

Setelah itu, bergantian papa dari Arya yang mengucapkan selamat atas kelulusan Sheyra. Lalu, mereka berbincang sebentar sebelum kedua orang tua Arya itu pada akhirnya berpamitan lebih dulu. Katanya, ada kepentingan mendadak.

Kini, hanya Arya dan Sheyra yang tertinggal di halaman depan kampus itu, sehingga hal itu menciptakan suasana canggung di antara keduanya.

"Hem!" Sheyra berdehem untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering.

"Lo ... Nggak bareng Kafka ya, Ar?" tanya Sheyra untuk memecahkan kecanggungan dan pertanyaannya itu justru membuat Arya menatapnya lama dengan pandangan yang sulit terbaca.

"Nggak," jawab Arya singkat setelah cukup lama terdiam.

Sheyra pun menghembuskan napasnya kasar hingga menimbulkan sebuah tanya di benak Arya. "Kenapa? Lo lagi berantem sama dia?" tanya Arya yang seketika mendapatkan gelengan kepala dari Sheyra.

"Nggak juga sih," jawab Sheyra sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Entah mengapa, hanya berdua bersama Arya membuat perasaannya menjadi gugup. Bukan gugup karena suka, melainkan karena takut akan ada orang lain yang salah paham dan melaporkannya pada Kafka. Sehingga, hal itu bisa menimbulkan pertengkaran di tengah-tengah hubungannya dengan Kafka.

Tidak berapa lama, terdengar gumaman panjang dari Arya yang membuat Sheyra sibuk menerka apakah ada yang ingin Arya sampaikan padanya. "Gue ada hadiah buat lo. Maksud gue, buat lo sama Kafka," ucap Arya setelah beberapa lama hanya bergumam.

"Hadiah apa?" tanya Sheyra antusias, dan hal itu membuat Arya tersenyum cerah untuk kemudian menjawabnya. "Bentar. Gue ambil dulu di mobil."

Lalu, Arya pun berjalan menuju mobilnya yang terparkir di seberang jalan. Dia tampak menggapai-gapai barang di dalam mobilnya dan tidak berapa lama, dua box berukuran sedang dia bawa ke hadapan Sheyra.

"Ini, buat lo," ucapnya sambil mengulurkan satu kotak hadiah berwarna abu tua yang terdapat sebuah pita berwarna biru.

Sheyra menerima kotak hadiah tersebut sambil menggumamkan terimakasih pada Arya. Namun, dia justru merasa tidak enak hati karena tak pernah terpikir di benaknya untuk memberikan hadiah pada Arya atas kelulusan laki-laki tersebut. Akhirnya, dia mengeluarkan buket coklat pemberian Radit dari dalam paper bag dan menunjukkannya di hadapan Arya.

"Lo, suka coklat nggak?" tanyanya terlebih dahulu.

"Suka. Suka banget malah." Dan jawaban Arya itu membuat Sheyra mengambil beberapa batang coklat dan merusak susunan yang dibuat rapi itu untuk kemudian diberikan pada Arya.

"Ini, kita tukeran hadiah ya. Tapi, gue cuma bisa kasih ini," ucap Sheyra sambil menyerahkan coklat untuk Arya yang segera diterima oleh laki-laki tampan di hadapannya.

"Wah. Ini sih coklat kesukaan gue. Makasih ya, Shey. Gue terima hadiahnya nih."

Tanpa disadari, interaksi Sheyra dan Arya itu pun tengah diamati oleh sepasang mata yang tengah menatap keduanya dengan penuh curiga. Merasa tidak tahan melihat bagaimana kedekatan keduanya terjalin, sosok itu pun berjalan mendekat dan setelah tiba di hadapan Sheyra, sosok itu langsung melingkarkan lengannya pada pinggang ramping Sheyra dan berkata. "Hadiah buat gue mana, Ar? Masa cuma Sheyra yang dikasih?"

Sontak, Sheyra menoleh ke samping dan mendapati wajah Kafka yang begitu dekat dengan wajahnya, hingga hidung Sheyra sampai menyentuh pipi milik Kafka.

"Kamu habis dari mana sih, Ka?" tanya Sheyra yang ditanggapi Kafka dengan senyuman manis. Setelah itu, Kafka pun mendekat dan mencuri kecup di pelipis Sheyra.

"Habis dari toilet tadi. Makanya telat nemuin kamunya."

Dan Arya yang menyaksikan kemesraan dua insan yang sedang jatuh cinta itu hanya mampu tersenyum nanar karena lagi-lagi harus merasakan bagaimana dadanya itu bergemuruh panas.

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status