Share

Episode 14 (Kamu bukan Bella)

Bia mulai menyadari bahwa perkataannya telah membuat Dafa curiga. Ia pun berusaha untuk terlihat tenang.

"Mungkin. Aku pernah nonton berita di tv, ada yang tiba-tiba sesak setelah makan udang dan itu karena si pemakan alergi udang," jawab Bia dengan mengontrol dirinya agar tidak terlihat panik.

"Gimana bos? Kita selidiki kemana?" tanya Sandi pada pak Irwan.

Pak Irwan pun menjawab dengan cepat, "berangkat sekarang menemui istri pak Tiar."

Pak Irwan melangkahkan kaki dengan cepat, dibuntuti oleh Yoga, Sandi, dan Dafa. Sementara Bia masih diam di tempat dengan wajah cemas.

"Ayo, Bel," ajak Sandi yang kini berada 5 meter dari Bia.

Bia tiba-tiba memegang kepalanya. "Aku gak ikut ya, San, kepala aku sakit. Mungkin gara-gara shock tadi." Bia berpura-pura sakit agar Sandi tak memaksanya ikut menemui istri pak Tiar yang tak lain adalah bibinya. Gadis itu cukup cerdik.

"Langsung pulang aja, istirahat." Dafa yang berada di depan Sandi nampaknya mendengar ucapan Bia. Ia pun meminta Bia agar pulang ke rumah untuk beristirahat.

***

Siang kini berganti malam, Dafa masih belum juga sampai di rumah. Sementara Bia sejak tadi berbaring di sofa ruang tamu menunggu kedatangan Dafa. Ia begitu penasaran ingin mengetahui hasil penyelidikan yang dilakukan di kediaman almarhum sang paman.

"Pasti bukan bibi pelakunya," ucap Bia pelan. Ia terlihat begitu cemas sedari tadi. Gadis ceria itu kini telah jadi pemurung.

Bia memutar ponselnya berkali-kali, ia ingin sekali menghubungi Dafa namun takut jika kecemasannya yang berlebihan dapat membuat Dafa semakin curiga padanya.

Sudah lama menunggu, Bia akhirnya terlelap di Sofa. Ia tidur dengan wajah lesu. Dafa yang ditunggunya sejak tadi belum juga pulang.

"Krekk," suara pintu terbuka. Dafa muncul dari balik pintu dengan wajah yang begitu lelah. Matanya yang merah karena kantuk kini tertuju pada sofa, tempat Bia tertidur.

Dafa berjalan mendekati Bia, ia pun duduk di sofa yang berdekatan dengan wajah gadis yang tinggal satu atap dengannya itu. Ia memandang wajah Bia dengan seksama, melihat detail demi detail wajah cantik di hadapannya. Bulu mata yang lentik, alis yang berwarna cokelat kehitaman, bibir kecil yang merah merona dengan balutan lipstik, serta rambut yang menutupi sebagian pipi Bia. Seperti tak tahan melihat rambut yang menghalangi pandangannya, Dafa pun menyingkirkan rambut itu dari pipi Bia.

"Kamu bukan Bella, tapi siapa?" tanya Dafa pada Bia yang masih tertidur pulas.

Menyadari ada seseorang di dekatnya, Bia pun terjaga dari tidur. Ia membuka mata, tepat di hadapannya ia melihat Dafa tengah memandanginya. Dafa pun memalingkan wajah ketika matanya bertemu dengan mata Bia.

Bia pun dengan cepat beranjak dari tidurnya. Ia duduk dan menatap Dafa dengan serius. "Gimana, Daf? Ada hasilnya?" tanya Bia coba menghilangkan rasa penasarannya.

"Memang ada kandungan udang di saus," jawab Dafa tanpa memandang ke arah Bia.

"Terus?" tanya Bia lagi.

Dafa menghela nafas, "istrinya gak sadar kalau ada kandungan udang di saus. Jadi kasusnya bisa aja ditutup."

"Apa? Gak bisa gitu dong, Daf. Ini nyawa orang, gak mungkin istrinya gak tau kalo suaminya alergi udang, lebih gak mungkin lagi kalau istrinya sampai gak sadar kalau udah ngasi saus udang ke suaminya. Ini pasti sengaja, Daf." Bia begitu kesal mendengar kasus kematian pamannya akan ditutup begitu saja.

Dafa menoleh ke arah Bia sambil mengerutkan dahi, "udah sembuh pusingnya? Kayanya tenaganya udah banyak, udah bisa teriak-teriak."

Bia mengontrol emosinya. Bagaimana pun juga Bia tidak bisa membiarkan Dafa mengetahui siapa ia sebenarnya. "Aku cuma rasa ini gak adil," jawabnya sambil tertunduk.

"Kita pasti cari keadilan," jawab Dafa.

Bia menatap Dafa dengan penuh harap. Ia berharap pria di hadapannya itu membantunya mencari tahu siapa dalang di balik semua ini.

"Jangan terbawa perasaan, kita cuma kerja." Dafa mulai memperingati Bia. Ia tidak ingin Bia merasa kasihan pada setiap orang yang mengalami kasus yang harus mereka tangani.

Bia pun mengangguk mengerti. Bersamaan dengan anggukan Bia, ponsel Dafa berbunyi. Dafa mengambil ponsel itu dan mengeluarkannya dari celana. Setelah melihat layar ponselnya, bukan menjawab, Dafa justru mematikan telpon tersebut.

"Siapa?" tanya Bia.

"Gak penting," jawab Dafa lalu mengembalikan ponsel ke dalam saku celananya.

Bia tersenyum. "Cewek yang kapan hari jalan sama kamu di mall, ya?"

Dafa terdiam mendengar tebakan Bia. Nampaknya, tebakan Bia kali ini benar.

"Siapa emang? Pacar kamu?" Bia tidak berhenti bertanya.

"Jangan banyak tanya," jawab Dafa yang kini mulai ketus.

Bia melebarkan senyumannya, ia bergerak menempatkan wajahnya tepat di hadapan Dafa. "Cantikan mana sama aku?" tanya Bia menggoda Dafa.

Dafa menjauhkan wajah Bia darinya. Ia bahkan tidak lagi berani menatap mata gadis berwajah Bella itu.

"Kalau lebih cantik dia, Bella gak akan mundur. Kalau lebih cantik Bella, Bella akan lebih maju," ucap Bia. Ia sengaja membuat Dafa berpikir bahwa dirinya menyukai pria berwajah tampan itu.

Perkataan Bia kali ini cukup untuk membuat jantung Dafa berdetak lebih cepat. "Aku gak mungkin sama Bella."

"Kenapa?" tanya Bia. Ia pikir Dafa hanya asal menjawab karena memang di hatinya tidak ada Bella.

"Karena kamu bukan Bella," jawab Dafa sambil menoleh ke arah Bia.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status