Yah, Arsenio menyadari jika Jihan tidak punya uang. Karena selama tinggal bersama Dyra dan mamanya. Jihan hanya diperlakukan seperti babu.
"Kau gendong Arlo dulu. Aku akan membeli susu."
Setelah Arsenio menyerahkan putranya pada Jihan. Arsenio langsung berjalan keluar dari dalam rumahnya.
Langkah Arsenio kembali berderap. Kali ini Arsenio berjalan menuju minimarket. Untungnya minimarket yang dituju Arsenio tidak jauh dari rumahnya. Arsenio tidak perlu berjalan jauh seperti tadi.
Sesampainya Arsenio di depan minimarket. Arsenio tak langsung masuk. Arsenio berdiam di depan sana sembari memikirkan cara untuk mendapatkan susu.
"Aku tidak punya uang. Bagaimana aku bisa membeli susu untuk anakku?"
Arsenio benar-benar pusing. Sekarang hidupnya berada di titik terendah. Arsenio tidak punya apa-apa. Bahkan hanya sekedar untuk membeli susu.
"Wah, wah, ternyata dunia begitu sempit."
Arsenio mengalihkan pandangannya. Saat itu Arsenio melihat David yang datang bersama Dyra. Huh, Arsenio sudah bisa menebak. Jika kedatangan mereka hanya akan membawa masalah.
"Kenapa diam saja di sini? Kau tidak punya uang untuk membeli barang kan?"
"Pastinya lah sayang. Mana mungkin dia punya uang."
"Kalau begitu aku akan membantu kamu mendapatkan uang."
Dyra mengedarkan pandangannya. Ada banyak orang yang keluar masuk minimarket itu.
"Semuanya. Ayo cepat berkumpul," teriak Dyra, dan saat itu juga mereka yang ada di sana langsung berkumpul.
"Kalian melihat laki-laki tak berguna ini?"
"Dia seorang gembel yang sedang mengemis. Yok, bantu dia seikhlasnya," sambung Dyra.
Semua yang ada di sana pun berbisik. Dan tidak lama setelahnya. Mereka berjalan mendekati Arsenio. Mereka satu persatu melempar uang pada Arsenio. Melihat itu, Dyra tertawa puas. Dia sangat senang. Melihat Arsenio, laki-laki yang akan menjadi mantan suaminya diperlakukan seperti pengemis.
Arsenio hanya diam. Arsenio tak hentinya melihat Dyra. Wajah bahagia Dyra semakin mengundang kesedihan Arsenio. Teganya Dyra melakukan itu padanya. Arsenio seperti ini juga karena anak mereka.
“Kamu memang benar-benar sudah melupakan aku dan Arlo, Dyra,” bisiknya.
"Terus, terus lempari dia uang."
Dyra tak hentinya tertawa. Arsenio merekam tawa Dyra di memorinya. Arsenio bersumpah jika tawa itu akan ia ganti dengan kepedihan yang tak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya.
"Aku akan merebut harta milik orang tuaku dan membuktikan pada Dyra. Kalau aku bukan laki-laki miskin," bisiknya.
Lembaran uang berserakan di sekitar Arsenio. Arsenio masih diam dan tak mengambilnya sepeserpun.
"Ambil."
Mata elang Arsenio menatap Dyra penuh kebencian. Jika saja membunuh tidak dikenakan pasal. Arsenio akan membunuh Dyra saat itu juga. Tapi sayangnya, cinta dan benci terus tumpang tindih di hatinya.
"Kenapa diam saja? Kamu butuh uang kan? Cepat ambil. Atau kamu malu mengambilnya? Sini. Aku bantu."
Dyra pun langsung mengumpulkan uang yang berserakan tadi.
"Ini, ambil."
Arsenio diam. Arsenio hanya melihat uang itu. Dyra yang tidak sabar. Langsung melempar uang tadi, tepat di wajah Arsenio. Arsenio memejamkan matanya. Jangan tanya bagaimana perasaan Arsenio saat ini. Hancur. Yah, itu sudah pasti. Belum kering luka yang Dyra goreskan di hatinya. Dan kini, Arsenio mendapatkannya lagi. Arsenio ingin menangis jika dia tidak ingat kalau saat ini dia ada di tempat umum.
"Ayo sayang, kita pergi dari sini."
"Iya sayang."
Dyra menggandeng tangan David, dan mereka pun meninggalkan tempat itu.
Arsenio memejamkan matanya. Sakit. Arsenio merasa dirinya benar-benar tak punya harga diri saat itu.
"Hanya kali ini Arsenio. Kamu harus kuat. Ini demi susu anakmu."
Arsenio mengambil uang yang berjatuhan di kakinya, dan setelahnya langkahnya kembali berderap memasuki pintu minimarket.
Arsenio berjalan mengitari satu rak ke rak lainnya. Setelah Arsenio puas mengambil barang yang diinginkannya. Arsenio berjalan mendekati kasir. Arsenio menunggu kasir menghitung barang yang ia beli.
"Semuanya 500 ribu Kak."
"Ambil semuanya."
Arsenio memberikan semua uang tadi. Setelah mengambil barang belanjaannya. Arsenio melangkahkan kakinya keluar.
"Aku harus segera pulang."
Arsenio mempercepat langkahnya menuju rumahnya.
Cklek
Pintu rumah terbuka, dan saat itu Arsenio langsung mendengar tangisan anaknya. Arsenio bergegas masuk ke dalam rumah. Langkah Arsenio berderap mendekati Jihan yang ada di ruang makan.
"Berikan Arlo padaku. Dan buatkan susu untuknya."
Arsenio mengambil Arlo dari Jihan setelah ia menaruh barang belanjaannya. Jihan pun sampai terkejut dibuatnya.
"I-iya Kak."
Jihan mengambil kotak susu diantara tumpukan barang lainnya. Jihan pun langsung membuatkan susu untuk Arlo.
"Ini Kak susunya."
"Berikan padaku."
Arsenio langsung mengambil susu yang dibuat Jihan. Tangis Arlo pun seketika berhenti saat Arsenio memberikan susu tadi padanya. Bahkan Arlo juga perlahan mulai tertidur lelap.
"Bawa dia ke kamar."
"Baik Kak."
Jihan menggendong Arlo dan membawanya menuju kamar. Sementara Arsenio berjalan menuju ruang tamu.
Brukkkk
Arsenio menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Kejadian hari ini benar-benar menguras emosi Arsenio. Arsenio dipermalukan berulang kali. Dan semua itu Dyra yang melakukannya. Meskipun seperti itu. Arsenio tidak bisa membohongi hatinya. Cintanya pada Dyra tidak bisa dengan mudah hilang begitu saja.
"Aku harus segera mencari syarat yang diminta Om Mahendra. Agar aku bisa segera menjadi orang kaya. Siapa tahu kalau aku jadi kaya. Dyra akan........."
Arsenio mengusap wajahnya kasar. Cintanya pada Dyra benar-benar mengacaukan hidupnya. Arsenio sangat membenci itu.
Cklek
Mata elang Arsenio melirik pintu kamarnya. Saat itu Arsenio melihat Jihan yang berjalan keluar dari dalam sana. Arsenio pun tersenyum setelah ia mendapatkan ide.
"Aku harus segera menghubungi Om Mahendra."
Arsenio beranjak dari duduknya. Ia berjalan keluar dari dalam rumah. Setelah Arsenio mengambil ponselnya. Arsenio langsung menghubungi omnya.
"Halo, Om Mahendra. Syarat yang Om minta sudah aku dapatkan. Kapan aku bisa memberikannya pada Om Mahendra?"
"Oh, baiklah. Malam ini juga aku akan ke sana."
Arsenio mengakhiri panggilannya. Arsenio melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.
"Jihan," kata Arsenio yang menghentikan langkah Jihan yang hendak masuk ke kamarnya.
"Ada apa Kak?"
"Malam ini kamu ikut denganku."
"Kemana Kak?"
"Jangan banyak tanya. Sekarang kamu siap-siap."
"Tapi Kak."
"Oh, kamu berani menolakku? Kamu mau jadi gembel yang tidak punya tempat tinggal?" balas Arsenio yang memberikan tatapan menakutkan.
"Ti-tidak Kak, aku akan segera siap-siap."
Jihan langsung masuk ke dalam kamarnya. Arsenio pun tersenyum senang melihatnya.
"Setelah ini, aku akan menjadi orang kaya."
Arsenio mengalihkan pandangannya saat mendengar suara pintu terbuka. Ternyata itu Jihan yang tengah berjalan keluar dari dalam kamarnya.
"Kita berangkat sekarang."
Arsenio yang tidak sabar. Langsung melangkahkan kakinya, namun Jihan menghentikannya.
"Tunggu Kak. Bagaimana dengan Arlo?"
"Bukankah dia tidur?"
"Iya Kak, tapi kan masak kita tinggal dia pergi. Apakah tidak akan terjadi apa-apa?"
"Tidak akan terjadi apa-apa dengannya. Ayo cepat. Kita pergi."
Arsenio kembali melangkahkan kakinya, dan Jihan pun mengikutinya.
"Kakak memesan taxi?" tanya Jihan saat melihat taxi yang sudah terparkir di depan rumah.
"Iya."
Cklek
Arsenio masuk ke dalam taxi, namun tidak dengan Jihan. Jihan hanya diam dan melihat tadi itu bingung.
"Malah bengong. Cepat masuk!!!!!!"
"Eh, iya Kak," Jihan pun langsung masuk ke dalam taxi.
Taxi yang mereka tumpangi melaju pergi meninggalkan pekarangan rumah.
Taxi terus melaju di tengah gemerlapnya taburan lampu di sepanjang jalan. Meski saat itu Arsenio melihat kebingungan Jihan, namun Arsenio mengabaikannya. Arsenio terus fokus pada jalan yang hampir sampai membawanya menuju tujuannya.Cklek"Ayo turun," kata Arsenio saat mereka sampai. Jihan pun langsung turun saat melihat Arsenio yang sudah turun dari dalam taxi."Kita ada di mana Kak?""Tidak usah banyak tanya. Ikuti aku saja."Arsenio melangkahkan kakinya, berjalan masuk ke dalam hotel yang sudah ia sepakati dengan omnya."Di mana Om Mahendra?" tanya Arsenio pada sekertaris omnya."Tuan sedang ada keperluan sebentar. Tadi tuan berpesan untuk meminta anda membawa wanita itu ke kamar langsung.""Kamar berapa?""Kamar 306.""Baiklah, aku akan ke sana."Arsenio kembali melangkahkan kakinya, dan Jihan pun langsung mengikutinya.Setelah melewati deretan kamar yang berjejer. Akhirnya Arsenio sampai juga di depan kamar yang ia tuju.Cklek"Kakak mau apa membawaku ke sini?" tanya Jihan yang t
Saat pintu life terbuka, saat itu juga Arsenio langsung masuk ke dalam life. Perhatian Arsenio bergantian melihat jam tangannya dan juga pintu life. Padahal baru masuk. Tapi rasanya seperti satu abad di dalam sana."Cepat dong."Arsenio langsung berlari keluar saat pintu life sudah terbuka.Arsenio yang kebingungan berlari ke sana kemari. Sudah hampir separuh hotel yang Arsenio keliling, tapi Arsenio belum juga menemukan Jihan."Sialan. Di mana tua bangka itu menyembunyikan Jihan?"Arsenio panik. Arsenio cemas. Ia tak henti mengacak rambutnya frustasi. Arsenio mengedarkan pandangannya, tapi hanya orang asing yang Arsenio lihat. Arsenio semakin bingung. Arsenio takut. Jika dia sampai telat menemukan Jihan."Br*ngsek si tua bangka itu."Arsenio kembali berlari. Arsenio menghampiri setiap orang yang ia temui dengan menyodorkan foto Jihan kepada mereka.“Apakah anda melihat wanita ini nyonya?”“Oh, wanita ini ya?”“Iya, wanita ini nyonya. Nyonya melihatnya?” balas Arsenio yang terlihat sa
Arsenio berjalan keluar dari dalam hotel. Arsenio mengedarkan pandangannya. Arsenio ingat jika dia masih memiliki selembar uang seratus di dalam saku bajunya. Yah, uang yang ia dapat dari menjual barang di rumahnya.“Aku harus ke pinggir jalan raya. Siapa tahu ada taxi lewat.”Arsenio kembali melangkahkan kakinya. Untungnya saat itu Arsenio melihat taxi yang melintas di depannya.“Taxi.”Teriakan Arsenio yang keras, membuat sopir taxi menghentikan mobilnya. Arsenio pun tersenyum, dan langsung berjalan mendekat.“Silakan masuk Mas,: kata sopir taxi yang membukakan pintu.“Iya Pak, terima kasih.”Arsenio langsung berjalan masuk ke dalam mobil, begitu juga dengan sopir taxi yang juga masuk ke dalam mobil. Sopir taxi pun melajukan mobilnya pergi.Perhatian Arsenio kembali fokus pada Jihan. Dari tatapannya yang sayu. Jihan terlihat begitu trauma. Arsenio percaya. Jika Jihan wanita baik-baik yang tidak pernah berhubungan dengan laki-laki, karena itulah dia bisa setrauma ini. Arsenio semaki
BrukkkkArsenio menghempaskan tubuhnya di sofa. Arsenio menyandarkan kepalanya, dan seketika itu. Arsenio teringat dengan kejadian tadi. Arsenio mengacak rambutnya frustasi. Bisa-bisanya Arsenio sampai tergoda dengan Jihan.“Kamu sangat memalukan Arsenio. Untung tadi Jihan sampai tidak melihatmu.”Arsenio memejamkan matanya. Arsenio mencoba melupakan kejadian tadi. Meski kejadian itu terus mengganggu pikirannya.Arsenio mulai terbawa suasana. Rasa kantuk yang tak tertahankan, membuat Arsenio mulai terbawa ke dalam samudra mimpi.Deg“Arlo.”Arsenio langsung membuka matanya. Arsenio panik saat mengingat putranya. Arsenio sudah meninggalkan putranya, dan Arsenio harus tahu keadaannya saat ini. Arsenio langsung beranjak dari duduknya, dan berlari menuju kamarnya.BrakkkkSaking paniknya. Arsenio membuka pintu kamarnya dengan keras. Arsenio berjalan masuk ke dalam kamar. Dan perhatiannya langsung tertuju pada ranjang."Arlo."Arsenio semakin panik dan juga cemas. Saat itu Arsenio tidak m
Mendengar pintu terbuka. Arsenio langsung beranjak dari duduknya. Arsenio melihat dokter yang keluar dari dalam ruangan."Bagaimana keadaan putraku dok?""Maaf tuan. Dengan berat hati, kami harus menyampaikan berita buruk ini. Kami sudah berusaha keras, tapi maaf. Kami tidak bisa menyelamatkan putra anda."BrukkkkArsenio langsung terjatuh. Ucapan dokter tadi seperti pukulan dahsyat yang menghujam jantungnya. Tidak. Rasanya Arsenio masih tidak percaya. Tapi ucapan itu, terus terngiang-ngiang di telinganya."Tidak mungkin. Tidak mungkin anakku mati. Tidak mungkin!!!!!!!"Air mata Arsenio semakin membanjiri pipinya. Hati Arsenio hancur. Putra kesayangannya harus pergi meninggalkannya untuk selamanya."Aku harus melihat anakku."Arsenio beranjak dan langsung masuk ke dalam ruangan. Langkah Arsenio terhenti di depan pintu. Perhatiannya tertuju pada anaknya yang terbaring di atas hospital bad dengan kain kafan membungkusnya. Hati Arsenio semakin hancur.“Tidak. Ini tidak mungkin.”Arsenio
Gerimis membasahi tanah. Hari masih pagi, namun gerimis seolah ingin ikut andil dalam kesedihan yang dirasakan Arsenio saat ini. Arsenio duduk termenung di samping batu nisan putranya. Arsenio tak langsung pergi. Meski prosesi pemakaman sudah selesai.“Kenapa begitu cepat kamu meninggalkan Papa, Arlo. Meninggalkan Papa sendirian seperti ini.”Perhatian Arsenio tak teralihkan dari batu nisan yang bertuliskan nama putranya. Rasanya Arsenio masih belum percaya jika putranya telah pergi untuk selamanya. Berat bagi Arsenio menerima kenyataan pahit ini. Berulang kali air mata Arsenio berjatuhan. Mungkin jika tidak gerimis. Pipinya penuh dengan air mata."Maafkan Papa, Arlo. Jika malam itu Papa tidak meninggalkan kamu. Papa tidak akan mungkin kehilangan kamu.”Ingatan Arsenio mengingatkannya dengan kejadian tadi malam. Tangan Arsenio mengepal kuat. Mengingat omnya sendiri. Tega membohonginya."Semua ini gara-gara tua bangka itu. Gara-gara dia, aku kehilangan putraku."Mulai detik itu Arsenio
CklekArsenio membuka pintu kamar mandi. Setelah dia selesai mengganti bajunya. Saat Arsenio hendak berjalan menuju ranjang. Langkahnya terhentikan. Melihat tempat di mana ia menemukan putranya terjatuh dan bersimbah darah.Hati Arsenio kembali dibalut duka. Tapi perasaan itu dikalahkan oleh pikirannya. Yah, Arsenio masih memikirkan putranya yang masih bayi, tapi dia bisa sampai terjatuh ke lantai.“Bagaimana Arlo bisa terjatuh? Dia masih bayi, dan dia tidak mungkin bisa bergerak. Apa ada orang yang menjatuhkannya? Tapi siapa? Tadi malam Arlo tinggal sendirian di rumah.”Arsenio terus memutar otaknya, namun Arsenio tetap tidak menemukan jawabannya. Arsenio sampai mengacak rambutnya karena frustasi.Semakin lama di dalam kamar. Semakin Arsenio terbawa suasana hatinya. Bahkan tanpa diundang air matanya berjatuhan. Ada rasa sesak di dalam dadanya yang benar-benar mengganggunya.“Lebih baik aku keluar.”Arsenio melangkahkan kakinya berjalan keluar dari dalam kamar. Arsenio berjalan menuju
Cklek“Keluar,” kata polisi tadi yang menarik Arsenio keluar dari dalam mobil.“Lepaskan saya.”Arsenio kembali memberontak, tapi Arsenio tetap tidak bisa melepaskan dirinya saat tangannya di borgol.“Lapor komandan. Kami berhasil membawa pelaku,” kata polisi tadi saat mereka masuk ke dalam kantor.DegArsenio terkejut saat melihat omnya yang amat ia benci saat ini melihat kearahnya. Omnya tersenyum, tapi bagi Arsenio itu sebuah ejekan. Arsenio mengalihkan pandangannya. Malas rasanya melihat wajah tua bangka itu. Apalagi wajahnya penuh dengan luka yang diperban. Dan itu hasil karya Arsenio malam itu.“Pasti tua bangka yang sudah melaporkan aku ke kantor polisi,” bisiknya.Tap tap tapArsenio mengalihkan pandangannya. Saat itu Arsenio melihat omnya yang berjalan mendekatinya.“Selamat malam keponakanku tercinta.”Arsenio langsung menarik daguyanya dari tangan menjijikkan tua bangka itu.“Sebentar lagi masuk penjara, tapi masih sok sikapmu.”“Tidak masalah kalau aku harus masuk penjara.