Share

Sayur Dari Mertua

“Sayur dari ibu ya, Mas?” tanyaku pada suami sambil menunjuk semangkuk sayur sop di atas meja makan kecil kami.

“Iya, Dek. Tadi ibu yang ngantar sendiri,” jawab suamiku sambil mengangguk.

“Coba kasih tau ibumu itu Mas, jangan sering-sering antar sayur sop. Cukup bikin untuk beliau berdua sama bapak aja, Mas,” ujarku.

Mas Handi menghela napas, “ya kamu tau sendirilah gimana ibu, Dek. Enggak enak mas mau larang-larang,” jawab Mas Handi pelan.

Kuikuti suamiku menghela napas, memang susah memberitahu orangtua.

“Pasti ibu mengantar sayur ini ke rumah Mba Hasna juga, ‘kan?” tanyaku lagi.

“He em, sepertinya,” jawab suamiku.

Aku hanya bisa menggeleng pelan setelah mendengar jawabannya. Sedangkan Mas Handi kembali menatap ponselnya.

“Gimana ya reaksi Mba Hasna waktu dianterin sayur sama ibuk, apa masih kaya biasanya?” gumamku sekaligus bertanya pada suami.

“Entahlah, tidak usah ikut campur, Ras. Nanti salah-salah kamu bertengkar lagi sama Mbaku itu,” tegur mas Handi sambil menatapku tajam.

Aku membalas tatapannya, “kamu enggak kasihan sama Ibu?”

“Kasihan, tapi mau gimana lagi. Aku bisa apa? Udah ditegur juga dan tetap begitu, ‘kan?” sahut suamiku sambil mengusap wajahnya.

Aku terdiam, tidak meneruskan pembicaraan kami. Karena percuma saja, suamiku tercinta tidak akan memberikan jawaban seperti yang aku inginkan.

Kualihkan pandangan menatap ke luar jendela. Angin sepoi-sepoi menerobos menerpa wajahku.

Pikiranku melayang membayangkan wajah teduh bu Sari, ibu mertuaku.

Aku tidak suka dengan ibu mertua. Ah jangan berprasangka buruk dulu, aku bukan tidak suka pada orangnya.

Bukan juga pada pribadinya. Aku hanya tidak suka pada kebaikannya.

Beliau terlalu baik. Itulah yang tidak aku suka. Di tengah kesulitan yang beliau hadapai, masih sempat mengantarkan sayur sop yang menjadi andalannya ke rumah anak-anak dan menantu.

Bukan, bukan tidak enak. Sayur sop yang sering menjadi pemicu pertengkaran antara dia dan anaknya bukan berangkat dari rasa.

***

“Ibuk! Kalau cuma sayur sop, jangan antar ke rumahku,” keluh mba Hasna. Kakak iparku, dan anak sulung mertua.

Ibu mertua yang sedang mencuci baju di kamar mandi segera berlari ke ruang tamu kala mendengar suara lantang anaknya.

“Bikinnya dikit aja sih Buk. Cukup buat ibu sama bapak aja, biar pengeluaran tidak banyak. Uangnya ‘kan bisa dipakai untuk berobat bapak, jadi aku sama Risma tidak pusing bayar obat-obatan bapak itu!” Mba Hasna yang menjadi kebanggaan ibu mertua karena menjadi seorang ASN itu berdiri berkacak pinggang di hadapan ibu.

Nafasku tercekat. Berani sekali dia bersikap tidak sopan pada ibu. Masih untung punya ibu, aku yang ditinggal sosok itu sejak kecil malah mengharapkan ibu seperti mertuaku ini. 

Aku segera beranjak dari tempat yang semula sedang asyik membersihkan kacang tanah.

“Mba, yang sopan dong bicara sama ibu. Lagian apa salahnya ibu kasih sayur untuk mba, tinggal bilang terimakasih,” ujarku mencoba menegur kakak ipar yang memasang wajah tidak bersahabat, maksudku wajah tidak bersaudara.

“Diam kamu, Laras! Cuma anak mantu saja, tidak usah mengajariku!" hardik mba Hasna semakin menegakkan tubuhnya.

Aku sedikit tersentak, “mbak, lagian emang salah ibu memberi sayur? Malah bagus ‘kan tidak repot masak lagi,” balasku dengan suara sedikit direndahkan. Sebab ibu mertua mencengkram lenganku.

“Tapi boros kalau masaknya banyak, lagian aku tidak suka sop sayur. Jadi lebih baik ibu bikinnya sedikit, supaya hemat dan ada sisa uang belanja untuk berobat bapak. Jadi tidak membebaniku!” ujarnya lagi dengan lantang.

"Banyak juga sebera sih Mba? Cuman 1 panci ukuran sedang. Tidak menghabiskan banyak uang."

Sungguh tidak sampai hati diriku melihat ibu mertua diperlakukan sedemikian rupa oleh anaknya sendiri.

Tangan keriput milik bidadari dunia itu masih berada di lenganku. Kuraih tangan kurus itu lalu memeluknya.

Aku tau ia mencegahku untuk terus melawan anaknya. Tidak bermaksud membela anak atau mantu, ia hanya tidak mau ada perselisihan.

“Kalau kamu sebegitu sayangnya sama ibu mertuamu ini, gantian kamu sama Handi dong yang menanggung kebutuhan sehari-hari ibu dan bapak,” ucap mba Hasna sambil menatapku sinis.

Tiba-tiba saja ludahku susah tertelan.

Bagaimana bisa kami membiayai kebutuhan ibu dan bapak mertua?

Sedangkan untuk mencukupi keluarga kecil kami saja masih ngos-ngosan.

Astagfirullah, aku tidak bisa membohongi diri sendiri. Bahwa masih terdapat keraguan untuk bersedekah sepenuhnya.

Mulutku tidak bisa berkata-kata, bahkan bahu yang semula tegak sudah kembali ke posisi semula.

Mertuaku seperti paham apa yang sedang aku pikirkan, beliau yg berhati baik ganti mengelus punggung tanganku.

Mata kami bertemu. Sungguh aku sekuat tenaga menahan air mata agar tidak luruh, agar tidak nampak kelemahan dan kekuranganku.

Meski begitu, mertuaku sangat pandai membaca raut wajah.

“Kamu tidak mampu ‘kan, Ras? Makanya jangan banyak omong deh,” decih mba Hasna sambil mengibaskan tangan yang dipenuhi emas pada jari-jarinya.

Mba Hasna beralih kepada ibu, “Ibu inget ya, jangan masak sayur banyak-banyak. Dihemat uangnya buk, cari uang susah!” 

Setelah mengucapkan kata-kata yang pasti membuat ibu manapun terluka, mba Hasna berlalu dari hadapan kami berdua tanpa berpamitan.

Ibu mertua kembali melanjutkan acara mencucinya, setelah memastikan putri kesayangannya pergi. Tanpa sepatah kata pun beliau melewatiku.

Sedang aku, lanjut membersihkan kacang tanah. Kami berdua bergelut dengan pikiran masing-masing dalam kesunyian.

Setelah hari itu, aku selalu takut jika ibu mengantar sayur ke rumah kami. Aku yakin beliau juga memberikan mba Hasna sayur yang sama.

Meski sudah diperlakukan begitu, ibu kadang mengulanginya lagi. Kejadian ini tidak hanya sekali dua kali.

Hatiku sangat sakit membayangkan ibu mertua yang kuanggap seperti ibu kandungku diperlakukan dengan tidak baik.

Karena sebab itu aku tidak suka ibu membuat sayur terlalu banyak yang nantinya akan mendarat ke rumah anak-anaknya. Lalu berujung mendapat caci maki dari mba Hasna dan terkadang juga mba Risma.

Tapi aku tidak sampai hati menegur beliau. Selalu mulutku terkunci rapat ketika semangkok sayur sop berpindah ke tanganku.

Wajah ibu mertua selalu berbinar ketika masakannya kuterima. Binar itulah yang membuatku tidak sampai hati menyakitinya.

***

“Ras, kamu beli daging!” Aku terkejut mendengar seruan dari balik punggung.

Hampir saja pisau yang sedang kugunakan untuk mengiris bawang malah mengiris jariku.

“Astagfirullah, mba Husna. Masuk rumah orang ketuk pintu dulu,” tegurku ketika mendapati iparku yang membuatku hampir celaka tadi.

Manusia satu ini memang ajaib, tidak pernah kudengar mengucapkan salam ketika masuk ke dalam rumahku.

“Halah, rumah kumuh gini aja tidak pantas diucapin salam,” cibir mba Husna sambil menatap jijik kesemua bagian rumah.

Meski tersinggung dengan omongannya, aku pura-pura cuek dan kembali mengiris bawang. Tidak ada gunanya memperpanjang masalah, karena aku pasti akan kalah.

Wanita dewasa yang sering tidak berpikir dewasa itu mendekatiku.

“Tadi kamu beli daging, Ras?” tanyanya sambil tetap berdiri. Ia tidak sudi katanya duduk di atas lantai rumahku yang keramiknya sudah banyak yang pecah.

Keningku mengernyit, dari mana dia tahu? Jangan-jangan iparku mulai memiliki kesaktian. 

“Iya, tadi pagi,” jawabku tanpa menoleh.

Meski aku penasaran dari siapa dia mendapatkan kabar tersebut. Padahal baru saja tadi aku membeli. Sudah sampai saja ke telinganya.

“Bawa sini, biar aku masak di rumah,” ujarnya sambil melemparkan sebuah tas belanja berlogo alfamaruk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status