"Apa Anda serius mau membantu kami, Pak Arka?" tanyaku penuh selidik.
"Tentu," jawab Pak Arka sambil menaikkan kedua alisnya.
"Baiklah, apa rencana Mas Arka?" tanya Aish antusias.
"Tapi, Aish, kita jangan terlalu percaya sama dia. Kalau dia berbohong dan menutupi kebenarannya gimana?" bisikku pada Aish.
"Tenang saja, saya benar-benar akan membantu. Karena saya tida tega melihat istri yang dibohongi oleh suaminya," ujar Arka seakan mendengarkan ucapanku pada Aish."Mangkannya jangan suudzon," ujar Aish tepat di kupingku.
Aku hanya melotot kepadanya. Dasar adik tidak sehati. Harusnya dia tidak memojokkanku. Agar aku tidak salah tingkah.
"Bagaimana, setuju dengan bantuan dan rencana saya?" tanya Arka sambil menyodorkan tangannya.
"Setuju," jawab Aish tanpa meminta persetujuan dariku.
Gadis ingusan itu, malah cari perhatian kepada Arka. Dia terus tersenyum, sementara tangannya masih berjabatan.
"Aish." Aku senggol dia, agar melepaskan tangan Arka.
"Eh, hilaf Mbak."
Tanpa merasa dosa, Aish malah menunjukan cengiran kuda. Aku hanya geleng-geleng melihat sikapnya.
"Jadi, rencana Pak Arka gimna?"
"Sebelumnya, nama Mbak siapa?"
"Elina."
"Saya Aish," celetuk Aish tanpa di tanya.
"Baik, Mbak Elina dan Dek Aish, lebih baik, malam ini mencari penginapan dulu. Besok, datanglah ke hotel Gren forest resort. Karena calon mempelai bernama Aida dan Wijaya akan datang ke situ sore hari. Pernikahan mereka diadakan hari Minggu, di hotel tersebut. Di bagian luarnya, karena tema pernikahan mereka outdoor, bertema alam. Besok, Mbak Elina bisa melihat langsung, untuk mencari kebenarannya."
"Excellent. Ide Mas Arka luar biasa. Kita bisa mengintai mereka diam-diam. Jika terbukti itu Mas Wisnu, kita susun rencana baru untuk memberi hadiah di pesta pernikahan mereka. Gimana?"
"Oke, kita ikuti saran Pak Arka.""Baik, ini kartu nama saya. Mbak Elina, bisa menyimpan nomer telepon saya, agar memudahkan kita, untuk saling memberi informasi."
"Makasih Mas Arka, udah ganteng, baik lagi," puji Aish dengan tatapan berbinar. Arka hanya tersenyum mendengarkannya."Aish, diam."
"Pak Arka, saya pamit cari penginapan dulu. Terimakasih atas informasi dan bantuannya. Semoga besok saya bisa menemukan kebenarannya."
"Sama-sama Mbak Elina dan Dek Aish. Kalian bisa menginap di hotel dekat sini."
"Biak, saya pamit. Ayok Aish."
"Sampai jumpa Mas Arka, besok kita ketemu yah!" teriak Aish yang sedang aku tarik tangannya.
Aish memang suka bikin malu. Di saat seperti ini, malah cari perhatian. Kalau tidak segera di ajak pergi, makin menjadi-jadi. Dia kebanyakan nonton drama Korea, jadi sangat mengidolakan pria seperti Arka yang notabene mirip opah-opah Korea.
"Langsung cari penginapan, Aish," intruksiku saat Aish menyalakan mesin motor.
"Siap, Mbak cerewet."
Rasa humorku sedang pudar. Di kepala begitu banyak pertanyaan yang menghantui. Tubuh sangat letih melakukan perjalanan jauh. Bukan hanya itu, batinku juga terasa lelah dengan teka-teki Kuintansi ini.
Sekitar lima belas menit, akhirnya kami sampai disebuah hotel yang cukup bagus. Aish langsung memesan satu kamar untuk kami istirahat.
Sebelum tidur, Aku dan Aish mandi dulu secara bergantian. Kemudian melaksanakan solat isya berjamaah. Bercengkrama dengan pemilik hati, membuat diriku lebih tenang. Rasa khawatir mulai berkurang kadarnya.
Drat!
Drat!
"Mas Wisnu?"
Mata ingin terlelpa tapi suara nada dering ponsel membangunkanku.
"Angkat Mbak, loudspek. Mbak harus Bersikap biasa aja." Aku hanya mengangguk mendengar saran dari Aish.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Mas."
"Neng, lagi apa? maaf Mas baru ngabarin. Hari ini sibuk banget."
"Hmmm ... Neng mau otw tidur. Mas lagi apa?"
"Mas baru selesai mandi, capek sekali. Pengen dipijitin, Neng," ucapnya dengan manja.
Hatiku malah sakit mendengarkan sikap manjanya. Bulir bening, tiba-tiba mengalir.
"Emm .... minum obat Mas, biar gak pegel-pegel. Udah dulu yah, Mas. Neng ngantuk."
"Neng gak papa 'kan? ko, suaranya beda gitu?"
"Gak papa Mas, Neng cuman ngantuk."
"Oke deh, selamat tidur Sayang. I love you."
"Iya Mas.".
Tuut ....Sambungan telepon langsung aku matikan. Entah kenapa, dada semakin sesak mendengar suara Mas Wisnu. Ribuan jarum seakan silih berganti menusuk hati.
"Sabar, Mbak."
Aish memelukku. Tangisan tidak bisa ditahan lagi. Air mata tumpah dengan deras.
"Mbak takut, Aish. Mbak takut Mas Wisnu selingkuh. Mbak sangat sayang sama dia, hiks, hiks.""Tenang Mbak. Apapun yang terjadi, Mbak pasti bisa melewati. Ingat, kita punya Allah tempat mengadu dan meminta pertolongan. Hidup memang penuh cobaan dan ujian, Mbak."
"Terus di samping Mbak, Aish. Apapun yang terjadi besok, jangan bilang Bapak sama Ibu. Biar Mbak dan kamu saja yang tahu."
"Siap, Mbak. Sudahlah, jangan cengeng. Mbak Elin 'kan kuat. Sejak SMA tukang ribut sama temen cowonya. Masa baru segini doang udah mewek.""Asem."
"Aw, bar barnya kumat, dah, ah." Aku tonyor kepalanya. Aish memang paling pintar menghiburku.
"Sudahlah kita tidur. Besok butuh amunisi yang banyak untuk menghadapi kenyataan," celetukku.
"Hahaha, bener juga. Hidup kadang sebercanda itu. Kita harus kuat berdiri, meski kenyataan seburuk tsunami."
"Halah, lebay."
"Hahaha, sudahlah otw pulau kapuk."
Aku dan Aish mulai terpejam. Menunggu matahari menyapa. Semoga kenyataan esok hari, tidak terlalu menyakitkan.
*******
"Benar di sini tempatnya, Mbak?" tanya Aish.
Kami sudah sampai ditempat yang di arahkan Arka. Dia bilang, akan mengadakan pertemuan dengan pengantin bernama Aida dan Wijaya sore ini, sebelum acara besok.
Arka menyuruhku menunggu di restoran hotel green forest resort. Tempat ini sangat mewah. Impian setiap pengantin ketikan mengadakan resepsi pernikahan. Aku yakin, biaya acara di sini cukup menguras kantong.
"Duduk dengan tenang, Aish. Jangan sampai penyamaran kita terungkap."Aku dan Aish sengaja menggunakan Masker dan kacamata. Gamis dan kerudung dengan motif gelap sengaja dipilih, agar tidak mengundang perhatian orang.
"Baiklah, Aish akan akting dengan baik."
Aish menyeruput jus yang sudah kami pesan. Sedangkan aku, tidak bisa minum sedikit pun, rasa gundah sangat membuat tidak nyaman.
"Mbak, itu Mas Arka.""Ma ...."
Mataku membeliak melihat kedua orang di belakang Arka. Pria dan perempuan itu, berjalan sambil bergandengan. Wajah yang tidak asing bagiku.
"Mas Wis-" Aish seketika membungkam mulutku. Dia merangkul tubuh ini, agar mata beralih dari memandang mereka.
"Jangan berisik, Mbak. Tenang dan bersikap biasa. Mereka bisa curiga," bisik Aish.
Arka, Mas Wisnu dan Aida, melewati meja kami yang tidak terlalu jauh dengan pintu. Arka seakan paham dengan keberadaan kami. Dia sengaja mengajak dua manusia itu, duduk di tempat yang jauh dariku dengan posisi duduk yang membelakangi."Mas Wisnu sudah menghianati Mbak, Aish."
Dadaku sesak seperti dihimpit batu besar. Jika tidak ditahan Aish, aku ingin mengamuk, lalu mencekik Wisnu dan Aida. Dasar manusia tidak punya hati, tega sekali mengkhianatiku.
"Tenang, Mbak. Jangan ngamuk sekarang. Lebih baik kita pulang, dan persiapkan kado terindah untuk pernikahan mereka," lirih Aish."Tenang, Mbak. Jangan ngamuk sekarang. Lebih baik kita pulang, dan persiapkan kado terindah untuk pernikahan mereka," lirih Aish."Ayok, kita keluar dari sini. Mbak butuh waktu menenangkan diri." Aish menarikku menuju kasir, dan mengajakku pergi."Ah! tega sekali Mas Wisnu menghianatiku. Apa kurangku selama ini, hah? tega sekali kamu, Mas!" teriakku.Aish sengaja mengajakku ke sebuah taman. Dia bilang, aku bebas mengekspresikan segala rasa sakit yang ada di hati pada tempat ini. Taman ini cukup luas, dengan pepohonan yang rindang. Cukup memberi ketenangan kepadaku. Untung saja, suasana tidak terlalu ramai, sehingga bebas berteriak. Meskipun, sesekali, ada beberapa orang yang menatap heran. Mungkin, dia pikir aku gila."Udah ngamuknya, Mbak?" tanya Aish enteng sambil duduk minum es teh."Ih, Aish, kamu kenapa tenang banget sih? harusnya ikut kesel dong. Mbakmu ini dikhianati, bahkan mau dipoligami. Edan, kamu malah setenang itu.""Hahaha, terus aku harus apa, Mbak? ngamuk-ngamuk di sin
"Sekarang," intruksiku. Aish langsung datang bersama gerombolan preman. Disusul tim pemadam membawa selang hydrant. Semua mata menatap tanpa berkedip. Pertunjukan spesial, akan dimulai. "Serang!" teriak Aish. "Apa-apaan, ini?" tanya Aida panik. Brak! Brak! Para preman langsung mengubrak-abrik meja, kursi dan merusak pelaminan serta hiasan pesta lainnya. Sedangkan para pemadam, menyemprotkan air berkekuatan tinggi. Menyiram para tamu undangan dan keluarga Mas Wisnu di pelaminan. Satu petugas lainnya, khusus menyiram Aida dan Mas Wisnu. "Arrgh!" Para tamu undangan berhamburan keluar tempat resepsi. "Arrgh! gila kamu Elina!" teriak Aida histeris saat terkena semprotan air. Aku sengaja menepi ke tempat yang aman dari penyemprotan. Menjauh dari mereka. Rasanya Puas melihat kericuhan ini. Ide Aish dan Arka memang luar biasa. Dibandingkan harus bersikap kriminal dengan cara mencekik atau mengancam mereka, lebih baik, mengacaukan acaranya dengan perbuatan konyol seperti ini. Tidak aka
"Oh, tentang uang itu. Tidak usah dikembalikan." Aku mengernyitkan dahi, mencerna ucapan Arka. Lalu, menatap Aish meminta pendapat atas kebingunganku. Aish hanya tersenyum santai. "Maksud anda gimana, yah? Maaf Pak, Anda pikir saya tidak mampu membayarnya? Saya bisa bayar sendiri. Jadi, Bapak gak usah repot-repot membayarkannya. Tolong, diterima. Jangan macam-macam," hardikku. "Bukan gitu maksud saya, Mbak Elin. Tolong jangan salah paham." "Terus maksud Bapak apa?" tanyaku dengan intonasi tinggi. "Saya tidak ingin, uangnya dikembalikan karena ingin menjalin kerja sama sama Mbak Elin. Jadi, anggap saja, uang itu modal awal saya." Kepalaku makin oleng mendengar penjelasan Arka. Sebenernya apa yang dia mau? ribet dan berbelit-belit. "Aduh, Mbak Elin Lola banget. Jadi, Mas Arka mau colab bisnis di bidang restoran sama Mbak Elin," papar Aish geregetan. "Kerja sama? Anda tahu dari mana saya punya bisnis restoran?" "Aish yang cerita. Saya jadi tertarik menjadi panter bisnis anda. Keb
"Mbak Elin!""Astagfirulloh, kenapa sih, teriak-teriak."Suara cetar Aish menyadarkanku dari lamunan. Kembali ke rumah, malah mengingatkanku pada memori indah selama enam tahun ini, bersama Mas Wisnu."Lagian ngelamun Mulu. Mulai di perjalanan, sampai di rumah, masih aja ngelamun. Tenang ajah, Mas Wisnu pasti pulang," tegur Aish.Sejak siang, sampai malam ini, bayangan Mas Wisnu dan kejadian kemarin, masih terekam jelas di ingatan. Rasanya seperti mimpi. Aku ingin bangun dari mimpi buruk ini, akan tetapi, semuanya memang sudah terjadi. Bukan khayalan apalagi bunga tidur."Apa iya, Aish?""Iya. Dia kelihatannya masih sayang sama Mbak. Tapi kenapa mendua, yah? sepertinya, ada misteri yang harus kita pecahkan, Mbak.""Misteri?""Iya. Dari ucapan dan tatapan Mas Wisnu sama Ibunya, Aish yakin, ada yang tidak beres tentang pernikahan Mas Wisnu dan Aida.""Hal yang tidak beres apa, Aish?""Ya, mana Aish tahu. Ini baru dugaan. Mangkanya, kita cari tahu.""Bener juga, sih. Terus Mbak harus apa
Aku hanya bisa geleng-geleng mendengar pengakuan Aish. Dia sangat cerdas. Meskipun, rasa tidak tega sangat kuat kepada Mas Wisnu."Aish, apa tidak bahaya? kenapa Mas Wisnu yang dikasih obat pencahar. Harusnya si Aida.""Aish sengaja melakukan itu, agar Mbak bisa caper sama Mas Wisnu. Biar dia sadar, kalau Mbak adalah perempuan yang sangat tulus mencintainya. Ya meskipun, pada waktu yang tepat, Aish berharap kalian bercerai."Perkataan Aish menampar hatiku. Cepat atau lambat, perasaan ini harus sirna. Aku sendiri tidak yakin, bisa kuat saat dipoligami. Walaupun Mas Wisnu berusaha adil, tetap saja, masalah hati tidak bisa dikontrol. Mas Wisnu akan sulit untuk berbuat sama rata menyikapi perasaanku dan Aida."Terus Mbak harus Apa?""Aduh, nanya mulu. Untung punya adik yang kesabarannya seluas sungai Amazon. Nih, kasih obat ini sama Mas Wisnu. Sebelumnya, bawakan teh hangat sama biskuit buat mengganjal perutnya yang kosong.""Ide luar biasa.""Iya dong, siapa dulu dalangnya, Aish.""Hahah
"Neng, Aida kenapa?" Aku hanya menautkan alis tanda tak tahu."Pergi kamu, Setan!""Ayok, kita liat."Drama apalagi yang dibuat madu baruku? pagi-pagi sudah bikin rusuh aja. Terpaksa, aku mengekor di belakang Mas Wisnu. Penasaran dengan apa yang menimpa Aida, sampai berteriak ketakutan."Ada ap-" Mas Wisnu tidak meneruskan ucapannya.Matanya mebelalak menatap Aida. Mas Wisnu menggeleng heran ke arah gundik yang biasanya nampak cantik, berubah bak nenek lampir. Senyum tipis, tersungging di bibirku. Di dalam hati, aku bersorak bahagia memperhatikan ekspresi kepanikan di wajah Aida."Mas, parasku jadi seram gini. Pasti perbuatan Elina. Dasar perempuan gila."Aida menghampirku, siap melayangkan tamparan. Tangan Mas Wisnu, sigap menangkisnya. "Jangan sembarangan nuduh. Dari tadi, Elina bersamaku. Harusnya aku yang nanya, ngapain kamu coret-coret muka gitu.""Aku juga gak tahu, Mas. Pas bangun udah gini.""Mangkannya kalau tidur jangan kaya kebo," cibirku."Diam kamu. Pasti kamu 'kan yan
"Mas, aku juga mau dibelikan Mobil." Aida menerobos masuk. Emosi memicunya lupa diri. Hatiku bersorak girang memandang kecemburuan dari mukanya. "Ada yang ngintip, nih," sindirku. "Mas, kamu harus adil. Aku juga mau dibelikan mobil dan uang 500 juta. Masa Elina doang, aku lebih berhak. Kamu tau 'kan aku yang akan memberi keturunan untukmu?" "Maksud kamu?" tanyaku. Sudah beberapa kali, Aida mengungkapkan kata yang mengisyaratkan bahwa dia tengah mengandung darah daging Mas Wisnu. Apa Aida hamil? tak mungkin secepat itu. "Tidak Neng. Aida memang suka aneh." "Pokoknya, Mas harus memperlakukanku sama rata dengan Elin" "Baik-baik, aku akan adil." "Nah, gitu dong." Kesian sekali Mas Wisnu. Kalau begini, bisa jatuh miskin dia. Namun, biar terjadi seperti ini. Aku senang melihatnya. Mas Wisnu akan merasakan resiko punya dua istri. Satu saja tidak habis, dan ribet, malah nambah lagi. "Mas, aku juga mau dibelikan berlian, yah. Malu dong, pemilik restoran gak punya perhiasan." "Per
POV Wisnu"Nikahi Aida, Wisnu," perintah Ibu saat aku berkunjung ke Bandung."Tidak Bu. Wisnu sudah bilang, balas Budi gak harus menikahinya. Wisnu siap menanggung hidup Aida. Memberinya uang tiap bulan. Asal, tidak menikah dengannya.""Gak bisa Wisnu. Itu permintaan terakhir Pak Reno. Dia ingin kamu menjaga Aida.""Aku bisa menjaganya, tanpa harus menikah dengannya, Bu!" bentakku geram."Tolong, Wisnu, menikahlah dengan Aida, agar kamu bisa punya anak. Lihatlah, sudah enam tahu pernikahan, kalian belum mempunyai anak.""Belum rezeki, Bu. Kami sama-sama subur. Jadi, jangan beri alasan apapun. Sampai kapan pun, Wisnu tidak akan mempoligami Elina. Wisnu sangat mencintainya.""Wisnu, mau ke mana?""Aku mau kembali ke Jakarta.""Wisnu, jangan pergi. Temani Ibu!" teriak Ibu tak aku hiraukan.Aku berlalu pergi dari rumah Ibu. Sungguh, permintaannya diluar akal sehat. Aku sangat mencintai Elina. Perempuan paling sempurna di mataku.Sekuat tenaga, aku tolak permintaan gila dari Ibu. Tak akan