Hari kedua libur akhir pekan sudah dimulai, dan sekarang akan segera berakhir. Sore ini akan sia sia jika dilewatkan dengan nonton acara kuis, seperti yang orangtuaku lakukan sejak berjam-jam yang lalu di ruang TV atau memberi laba-laba kudapan persis seperti apa yang Bill lakukan setiap harinya. Novel kesayangan sudah ditangan, begitu juga dengan limun dingin di jam 4 lebih 9 menit ini, lalu akan kubuka pintu kaca belakang rumah. Aku tidak akan mau melewatkan saat ini dengan sia sia. Tidak ada yang akan menghentikanku sekarang. Aku akan…
Saat itulah kilat menyala dan guntur bergemuruh.
Tetesan air mulai berjatuhan dari langit gelap itu.
“Ah, tidak..” keluhku sambil menatap kursi santai di bawah pohon di halaman belakang yang mulai basah. “Sedih karena hujan, Sofia?” kata ibuku dari dapur yang tak jauh dari tempatku berdiri. Aku mengangguk untuk menjawab pertanyaannya sambil berjalan ke meja makan dan duduk disana. “Mungkin, kau memang tidak seharusnya kesana.” Katanya, lalu pergi membawa dua gelas jus jeruk yang dituangnya dari kemasan.
Orangtuaku memang suka berbagai jus, sayangnya mereka terlalu malas untuk seorang yang suka jus. Mereka lebih suka membelinya, menurut mereka, itu lebih tidak sehat, tentu saja. Entah berapa banyak pemanis dan pengawet yang dikandung minuman itu. Tapi , orangtuaku lebih suka menyebutnya...
Praktis.
Menurutku, lebih baik membeli juicer atau blender. Atau, kau tau, alat untuk mengambil sari dari buah dan sayur secara otomatis jika mereka malas membuat jus. Tetap saja akan sia-sia jika mengatakan ini pada pasangan bertuliskan SE di belakang nama mereka, karena mereka tipe pemikir panjang, dalam kasus ini mungkin, terlalu ‘irit’ jika berkaitan dengan uang.
“Sofia!” teriak kakakku dari anak tangga paling atas. “Kau pasti tidak ingin melewatkan ini.” Bill memang selalu heboh, itu hanya pendapatku. Tapi setidaknya dia selalu membuatku tertawa setiap dia bicara. Aku dan dia seperti… Teman. Sesuatu yang bahkan mungkin jauh dari kata saudara.
“Aku datang!”
Dia memang suka melakukan hal-hal gila. Seperti tahun lalu, dia mencoba untuk mengembala laba-labanya, tapi satu dari tiga laba-laba itu hilang di kamar Bill, jadi aku harus membantunya mencari Si Kaki Delapan, yang paling besar dari dua teman se-kandangnya. Beruntung, kami menemukannya. Tepat di atas pendingin ruangan di kamar Bill. Dan sekarang, hal apa lagi yang dia lakukan? Semoga bukan tentang peliharaannya itu.
”Ada ap― wow…” Aku benar-benar tidak percaya. “A—apa yang terjadi?” Yang benar saja, kamarnya jadi… Rapi. Sangat rapi. Sangat berbeda dengan saat terakhir kali aku berkunjung ke kamarnya minggu lalu. Sekarang, aku sudah tidak lagi melihat akuarium laba-laba diatas meja. Hanya ada pajangan miniatur motor dan beberapa tokoh di Naruto, yang sudah tak kulihat lagi sejak dia merawat laba-laba. Aku jadi bertanya-tanya. Bagaimana, dia bisa jadi begitu… Normal?
“Bagaimana menurutmu? Keren bukan?” katanya melirikku dibalik kacamatanya. “Dimana laba-labamu?” tanyaku sambil menyentuh salah satu miniaturnya. “Aku menjualnya di bazar kemarin, aku sudah tidak menyukainya lagi” jelasnya sambil membuka halaman buku yang diambilnya dari rak dibawah meja miniatur.
Apa kau percaya itu!?
Maksudku, aku sudah hidup selama 13 tahun! Dan selama itu juga aku hidup bersama kakakku. Tentu saja aku sangat mengenalinya. Dan perubahan 180 derajat dalam satu minggu? Ini sangat mencurigakan. Khususnya untukku, dan juga membuatku merasa terganggu. Dia bukan orang yang cepat bosan, dan sekarang dia bilang sudah tidak menyukai..
Tunggu, menyukai. Suka.
Hoouu, tidak. Jangan bilang ini karena…
“Apa ini semua, karena, Mia?” Mataku sengaja menyiratkan ‘Kena kau, Bill!’ dalam sorotnya. Dan aku sudah melihat apa yang sejak tadi ingin kulihat. Ekspresi tertangkap basah Bill, cenderung mendelik lalu berkata
“Apa!??” dengan volume cukup keras. Aku tau situasi ini akan jadi makin aneh jika aku menunggunya menjawab pertanyaanku tadi. Jadi, mari kita buat ini jadi mudah.
“Yah, maksudku, mungkin saja, kau berubah hanya demi wanita itu.” Dia benar-benar berusaha keras. Raut wajah dan sipu malu itu tidak bisa berbohong.
“Ti..tidak, aku hanya..” dia terbata dan berusaha mengelak. Pasti denyut jantungnya saat ini sangat sulit untuk di kendalikan.
”Sudah ya, aku masih sibuk. Sampai jumpa.” Lebih baik aku keluar. Kurasa dia butuh waktu untuk mengatur kembali nafasnya. Yah, Bill bukanlah orang yang pandai berakting. Mungkin itu juga, yang membuat Mia mulai suka pada kakakku sejak beberapa minggu lalu.
Bagaimana aku tau?
Sebenarnya, tidak sulit membongkar informasi dari Bill, karena kami berdua selalu saling curhat kalau ada masalah. Umur kami hanya berbeda 2 tahun, jadi terkadang masalah kami sama, dan sangat mudah untuk saling mengerti. Kalau boleh jujur sih, aku lebih suka bicara pada Bill, daripada dengan ayah atau ibuku, jika tentang kejadian lucu, atau sekedar lelucon gila. Karena orangtuaku terlalu serius. Maksudku, terlalu serius untuk diajak bercanda ala anak remaja, apalagi tentang, kau tau, kisah cinta monyet para remaja dengan segala permasalahan yang selalu dilebih-lebihkan.
Karena, bahkan sebelum aku punya cerita cinta monyet untuk ku ceritakan, sejak awal, orangtuaku , khususnya ayah, sudah mengatakan padaku berulang kali. Penuh dengan ketegasan.
“Tidak boleh berpacaran!”
“Tidak boleh berpacaran! Apalagi masih sekolah. Lagipula, tujuan pacaran itu apa? Nantinya, malah….” dan dia akan menjabarkan secara panjang lebar akibat akibatnya, yang menurutku masuk akal. Aku tidak terlalu membenci ceramahnya itu, karena aku sendiri memang tidak berniat pacaran. Tapi, terkadang aku agak bingung saat masuk jam pelajaran IPA. Apalagi bagian biologinya. Karena Miss. Sania bilang, mulai menyukai lawan jenis itu normal untuk remaja. Jadi aku membuat kesimpulanku sendiri. ‘Suka’, mungkin boleh, tapi tidak untuk pacaran. Dengan simpulan itu, aku tetap akan jadi remaja normal tanpa kena semprot ayah. Haha.. Dan Bill mungkin punya prinsip lain. Aku tidak tau prinsipnya, tapi aku tau kisahnya. Bill tergolong cowok yang mudah mendapatkan perhatian para gadis si sekol
Oh ya, yang jadi favoritku adalah jalur lari untuk manusia. Karena lintasannya yang melewati jalan yang paling teduh dari jalur lari yang lain. Meski lintasannya paling jauh, karena berada paling pinggir, jadi kalau di hitung, kelilingnya pasti lebih besar, yang berarti jarak tempuhnya lebih panjang dari jalur lain. Di sebelah kanan langsung berbatasan dengan pepohonan, dan itu sangat rindang. Aku pernah memberitahu ayah ada taman yang ada lintasan larinya. Maksudku supaya dia bisa keluar dari ruang kerjanya, dan mencoba untuk menurunkan berat badannya. Tapi pria itu malah kembali melempar pertanyaan padaku. “Lalu aku harus melakukan apa?” dia berkata dari balik kacamata bacanya. “Apa ayah tidak mau berlari? Maksudku, sekedar…jalan jalan?” kataku agak ragu. Ayahku menghembuskan nafas berat. “Aku sudah mencoba beribu-ribu kali untuk lari dari kenyataan, Sofia. Tolong biarkan aku bekerja
Baiklah, sekarang bukan saatnya memikirkan orang asing. Aku harus memanfaatkan sisa sisa waktu liburku dengan baik hari ini. Aku terduduk di sofa depan televisi dan mencari remote-nya. Dan berharap ada acara bagus di TV. “Hai, Sofia. Kau pasti tidak percaya ini kan?” kata Bill tiba-tiba saat aku baru saja menekan tombol ‘ON’ remote TV. “Hai, sayang.” kata ibu. “Lihat apa yang kita dapatkan.” Sebenarnya saat dia bilang “lihat”, saat itu juga aku berniat untuk tidak melihat dan pergi. Tapi akhirnya aku melihatnya. Seekor ikan kakap merah dalam jaring —seperti jaring untuk menangkap ubur-ubur di Spongebob― yang dimasukkan kedalam plastik hitam besar. Sudah jelas, malam ini akan ada pesta ikan bakar ala resep buatan ibuku. “Kalian mendapatkannya di kali itu? Emm.. maksudku di tempat kalian biasa memancing?” tanyaku heran. Karena tidak mungkin mereka mendapatkan kakap merah disana. “Tidak. Kami menemukan tempat lain untuk memancing. Dan banyak yang memancing disana.” kata Bill a
Aku melihat keseluruh penjuru. Terlihat orang orang kelas sebelah sedang asik mengobrol dengan kelompok pertemanan mereka. Sepotong percakapan mereka tak sengaja terdengar olehku, dan aku jadi mengerti mengapa mereka begitu serius dengan bahasan mereka. Si Anak Populer. Dan lebih spesifiknya, mereka bicara tentang… Jennifer Amity. Siapa yang tak kenal dengan seorang Jennifer Amity. Bahkan seluruh angkatan, baik yang tahun ini, tahun lalu sampai alumni sekalipun. Sebenarnya tak heran sih kalau dia bisa jadi begitu terkenal. Karena itu sesuatu yang sudah sangat jelas
“Hai semuanya! Nampaknya aku benar-benar tertinggal.” Sebuah suara yang terdengar dari jauh. Suara yang persis sama seperti yang kudengar kemarin. Suara yang lembut dan menyenangkan, terdapat aura semangat dan keceriaan tersirat didalamnya. Meski begitu wibawanya tetap tidak hilang. Dan sampai waktunya si misterius itu bersuara, aku baru menyadari. Dia yang kemarin. Hei" panggilku sambil menyenggol lengan Jessy. "Dia itu siapa?" dia menatapku agak heran. "Kau bercanda?" "tidak, aku serius, dia itu siapa?" tiba-tiba Ellen ikut angkat suara. "Ya ampun, Sofia. Dia itu Derald. Cowok populer yang pernah jadi pacar Jennifer Amity. Putus dua bulan lalu, katanya karena beda komitmen. Dan Derald yang memutuskannya. Itu berita yang bahkan masih hangat sampai sekarang!" Terlihat wajah serius dari dua oran
“Kau mau pergi kemana?” Tanya Derald padaku yang tertangkap basah hari itu, membawa tas keluar kelas pada jam pulang sekolah normal, pukul 2 siang. Aku menoleh kebelakang perlahan dan mendapati tatapan malas Derald dengan jari yang mengisyaratkan untuk kembali. Aku kembali melihat kedepan dan menghela napas. Aku benar benar lelah. Setidaknya biarkan aku kembali ke kursi santai dirumah dan membaca novelku untuk sehari saja. “Baiklah, kau menang.” Responku pasrah. Mau tak mau, akupun kembali ke kelas. “Baguslah jika kau mengerti, karena hingga kita siap untuk medan tempur nanti, kita tidak akan mendapat waktu luang. Persiapkan dirimu, Sofia” Kalimat kemudian diakhiri dengan senyuman manis khas miliknya itu. Sedikit memberiku semangat, tapi aku menganggapnya sebagai ejekan pada anak baru yang buta mater
Aku selalu merasa takut untuk merasa bahagia, apalagi untuk cerita roman remaja. Bukan hanya karena orangtuaku yang sangat kaku. Entahlah, setiapkali aku merasa bahagia, disaat yang bersamaan aku merasa akan ada suatu bahaya atau kecelakaan besar. Dengan ‘fobia’ anehku itu aku jadi orang yang sangat waspada. Posisi, keadaan, ataupun orang lain, aku seakan tidak bisa mempercayai mereka jauh dari lubuk instingku yang paling dalam. Tapi aku harus tetap memakai topeng ini untuk bisa menjalani kehidupan normal. Dan parahnya terkadang hormone hormone remaja ini terlalu sulit untuk dikendalikan. Aku bahkan sering merasa tidak mengerti diriku sendiri. Mungkin itulah artinya menjadi remaja? Dan seperti biasa di jam pulang sekolah, tim kami selalu belajar bersama di bawah pohon itu, markas kami. Bahkan seingatku kami tidak pernah pulang tepat waktu sejak saat itu. Sampai penjaga sekolah berteriak untuk mengakhiri seluru
Kami semua berlatih bersama selam 2 minggu itu. Bukan hanya hubungan dan kerja sama kami yang mengalami perkembangan, namun juga ranah social disekitar kami. Tak luput juga gossip gossip baru yang beredar. Sekian banyak hoax-hoax yang beredar dan cukup banyak penghuni sekolah yang meyakini hal itu. Seperti Jennifer yang naksir keeper tim futsal sekolah yang sudah jelas mustahil ditaksir cewek popular, apalagi mengingat mantannya yang sekelas Derald. Yang membuatku paling tidak percaya adalah ada aku dalam pergosipan kali ini. Aku. Iya, Aku?? Mungkin karena selama enam hari aku terus bersamanya, cowok yang pernah jadi pacar Jennifer itu, dan menghabiskan sore hariku dibawah pohon dengan Derald, bersama yang lainnya juga sebenarnya. Juga tentang seberapa dekat rumah kami, dan soal kesamaan pelih