“Kau mau pergi kemana?” Tanya Derald padaku yang tertangkap basah hari itu, membawa tas keluar kelas pada jam pulang sekolah normal, pukul 2 siang. Aku menoleh kebelakang perlahan dan mendapati tatapan malas Derald dengan jari yang mengisyaratkan untuk kembali. Aku kembali melihat kedepan dan menghela napas. Aku benar benar lelah. Setidaknya biarkan aku kembali ke kursi santai dirumah dan membaca novelku untuk sehari saja.
“Baiklah, kau menang.” Responku pasrah. Mau tak mau, akupun kembali ke kelas.
“Baguslah jika kau mengerti, karena hingga kita siap untuk medan tempur nanti, kita tidak akan mendapat waktu luang. Persiapkan dirimu, Sofia” Kalimat kemudian diakhiri dengan senyuman manis khas miliknya itu. Sedikit memberiku semangat, tapi aku menganggapnya sebagai ejekan pada anak baru yang buta materi. Aku tidak akan —dan memang tidak ingin― kalah dari Derald. Akan kupastikan dia melongo saat mengetahui kemampuanku yang sebenarnya.
Aku menghabiskan banyak waktuku untuk belajar lebih dan lebih lagi untuk lomba ini. Seperti di jam istirahat, di sela sela pergantian jam pelajaran, hingga waktu dirumah pun aku terus membaca. Aku benar benar serius dengan perkataanku ingin menyainginya.
“Hmm, sedang apa kau?”
Ah, suara itu lagi. Tanpa melihatnya aku mendecak lidahku ditengah waktuku membaca buku. Aku kesal.
“Derald, berhenti menggangguku. Kau sudah melakukan hal yang sama diwaktu yang sama dengan posisi yang sama selama 3 hari berturut turut. Kita bahkan tidak sekelas.” Dia masih berdiri di pojok mejaku dengan bertumpu dengan kedua tangannnya, hingga akhirnya dia menurunkan tubuh tingginya dan menjajarkan kepalanya untuk menatapku.
“Mau selama apapun kau membaca buku tebal itu, kau tidak akan bisa mengalahkanku, Sofia.” Katanya santai, aku jadi merasa diremehkan.
“Haah.. Pergilah, cari orang lain untuk—”
“Tidak mau.” Sahutnya sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Aku hanya menatapnya kesal dan mencoba mengabaikannya.
“Terserahlah, aku tidak ada waktu untuk meladenimu.”
Sejenak setelah aku bicara, semuanya terdengar hening. Tidak ada lagi jawaban berisik yang menyahutku. Ketika aku melirik, ternyata Derald sudah tidak disini.
Tunggu, apa dia benar benar pergi?
Jadi… dia sudah pergi?
Apa aku memperlakukannya terlalu kasar? Aku tiba tiba merasa tidak enak.
Tanpa bergerak sedikitpun dari posisiku, aku melirik sekelilingku untuk memastikan apakah Derald sungguh pergi. Yang kudapati adalah ruang kelas yang masih sepi, hanya ada beberapa orang saja, yang ku deteksi sebagai mereka yang tidak memiliki sirkel pertemanan, aku turut prihatin dan memahami perasaan mereka. Tapi tetap tdak ada sosok Derald. Apa benar aku sudah menyakitinya? Apa kita bermusuhan sekarang? Padahal aku sama sekali tidak bermaksud seperti itu. Ah, perrasaan ini benar benar membuatku berpikir berlebihan. Salah satu kelemahanku, overthinking.
Aku segera menutup bukuku dan bernajak dari tempat duduk. Bergegas keluar untuk mencari Derald. Sampai selangkah keluar pintu kelas, aku hampir dibuat jantungan dengan daun pintu yang tiba tiba bergerak. Beruntung aku tidak menjerit atau berteriak semacamnya. Kemudian muncul sesuatu dari baliknya.
“Kau mencariku?” Ternyata itu Derald, lagi. Baru saja aku mengkhawatirkannya, tapi nampaknya orang ini masih sehat wal afiat baik lahir dan batin tanpa kurang suatu apapun. Aku menghela nafas sesaat dan tidak bicara untuk menormalkan tubuhku setelah kejutan tadi, Derald melanjutkan kalimatnya tanpa jeda berarti.
“Ya.. aku sudah tau pasti kau akan mencariku...” Uh, gayanya melipat tangan itu membuatku sebal. “Apa kau mengkhawatirkanku?” Sekarang dia melempar lirik jahil padaku. Cukup tampan untuk membuatku tertegun, tapi tidak cukup untuk menghilangkan rasa kesalku yang tertuju padanya. Aku menghela nafas sejenak.
“Kau beruntung aku tidak reflex menampar wajahmu yang menyebalkan itu beberapa detik lalu.”
“Ahahaha, aku penasaran apakah itu akan terasa sangat manis, hm?” Sekarang seorang Derald mencoba untuk menggodaku. Aku baru mengetahui dia memiliki sisinya yang ini. Sisi yang menyebalkan, tapi sejujurnya… aku tidak terlalu terganggu dengan itu.
“Berhenti bermain-main, aku akan pergi.” Aku memutar badanku 180 derajat dengan cepat untuk kembali ke tempatku membaca tadi.
“Tunggu, Sofia...” Sekarang dia menahan tanganku. “Maaf aku tidak bermaksud untuk bermain-main.” Tanpa perintah khusus dari otakku, tubuhku melemaskan otot-ototnya. “Belakangan ini kau tampak sangat sibuk dengan buku-buku itu, kau bahkan jarang terlihat berada dikantin ataupun diluar rumahmu. Apa kau bahkan sempat makan? A-aku agak mencemaskan kondisimu, jadi aku berniat untuk membuatmu sedikit lebih rileks. Maaf aku berlebihan.”
Ah.. dia menyadarinya.
Jadi begitu…
Apa dia memperhatikanku sebagai partnernya? Atau sebagai temannya? Atau,.. Ugh, sial, aku tidak bisa mengontrol emosiku.
“Tenang saja.” Kataku pelan, aku tidak tau apakah aku sengaja mengatakannya atau hanya tidak sengaja keluar dari pikiranku. Kemudian aku menyadari aku agak sedikit tersenyum. “A-aku bisa menjaga diriku sendiri. Aku juga tetap cukup makan. Jadi kau tidak perlu khawatir.” Aku bicara sambil menunduk karena malu. Derald terdengar terkekeh setelahnya. “Ta-tapi, untuk memikirkanku..” tanpa sadar aku meremas tangannya dalam genggamanku. Aku mencoba sekuat tenaga untuk mengangkat kepala agar perasaanku dapat tersampaikan dengan jelas. “Terima kasih ya, Derald!” akupun tersenyum sambil mengatkannya. Akhirnya aku melakukannya. Menyampaikan perasaan itu, ternyata sangat sulit.
Aku melihat wajah Derald sekilas setelah aku bicara. Aku melihat matanya agak sedikit terkejut kemudian membuang muka. Dia mengangkat tangan menuju arah wajahnya, tapi aku tidak dapat melihat jelas apa yang dia lakukan. “Ka-kalau begitu, sampai ketemu di tempat biasa nanti, Sofia.” Dia memutar badannya. “Iya, sampai jumpa nanti!” kataku tersenyum, dan Derald pun pergi. Meski aku merasa sesenang ini sekarang, aku bertnaya-tanya apa aku boleh untuk merasa seperti ini?
Aku selalu merasa takut untuk merasa bahagia, apalagi untuk cerita roman remaja. Bukan hanya karena orangtuaku yang sangat kaku. Entahlah, setiapkali aku merasa bahagia, disaat yang bersamaan aku merasa akan ada suatu bahaya atau kecelakaan besar. Dengan ‘fobia’ anehku itu aku jadi orang yang sangat waspada. Posisi, keadaan, ataupun orang lain, aku seakan tidak bisa mempercayai mereka jauh dari lubuk instingku yang paling dalam. Tapi aku harus tetap memakai topeng ini untuk bisa menjalani kehidupan normal. Dan parahnya terkadang hormone hormone remaja ini terlalu sulit untuk dikendalikan. Aku bahkan sering merasa tidak mengerti diriku sendiri. Mungkin itulah artinya menjadi remaja? Dan seperti biasa di jam pulang sekolah, tim kami selalu belajar bersama di bawah pohon itu, markas kami. Bahkan seingatku kami tidak pernah pulang tepat waktu sejak saat itu. Sampai penjaga sekolah berteriak untuk mengakhiri seluru
Kami semua berlatih bersama selam 2 minggu itu. Bukan hanya hubungan dan kerja sama kami yang mengalami perkembangan, namun juga ranah social disekitar kami. Tak luput juga gossip gossip baru yang beredar. Sekian banyak hoax-hoax yang beredar dan cukup banyak penghuni sekolah yang meyakini hal itu. Seperti Jennifer yang naksir keeper tim futsal sekolah yang sudah jelas mustahil ditaksir cewek popular, apalagi mengingat mantannya yang sekelas Derald. Yang membuatku paling tidak percaya adalah ada aku dalam pergosipan kali ini. Aku. Iya, Aku?? Mungkin karena selama enam hari aku terus bersamanya, cowok yang pernah jadi pacar Jennifer itu, dan menghabiskan sore hariku dibawah pohon dengan Derald, bersama yang lainnya juga sebenarnya. Juga tentang seberapa dekat rumah kami, dan soal kesamaan pelih
“Hmm, Rhena kan?” Kami semua tercengang. “AHH! Derald!!” Bob membentak Derald dan melempar tatapan kesal. Tiba tiba suasana menjadi riuh dan mulai menggoda Bob. Ahaha.. ternyata seperti ini rasanya menggoda seseorang? Aku cukup menikmatinya. “Jelas aku mengetahuinya, dia sering hadir di rapat kegiatan sekolah. Rhena Taylor, perwakilan dari klub permainan papan” Terang Derald. Ah iya, aku baru ingat dia salah satu anggota OSIS. Kalau tidak salah aku mengingat, dia membacakan pidato pembukaan tahun lalu. “Oh.. Jadi itu sebabnya kau mendapatkan permainan ini? Dasar modus.” Celetuk Jimmy yang kemudian mengundang tawa kami semua. Permainan berlanjut. Dan lagi lagi aku mendapat angka 2. Tetapi aku tidak meli
“Siaaap, MULAIII!!!”Aku menutup mataku. Mulai merasakan tubuhku bergerak maju tanpa menggerakkan kakiku. Tanpa sadar aku mengencangkan pelukanku padanya. Sepertinya aku sempat menjerit ketika dia mulai berlari, entahlah aku tidak terlalu mengingatnya. Aku membenamkan wajahku dibalik punggungnya yang lebar. Antara takut jatuh atau malu. Derald kembali berbicara ditengah nafasnya yang terengah. “*hufh* Kau berat ya..” “Jangan bicarakan itu sekarang, aku akan jatuh!” teriakku panic. Tapi Derald hanya tertawa dan terus melanjutkan larinya kearah teman-teman kami di bawah pohon. Aku mendengar sayup terdengar teriakan mereka dari kejauhan. Tetapi lagi lagi, yang bisa kuingat hanya diriku yang sedang memeluk Derald sambil berlari sekarang.&
“Ayo” kata Derald. “Kemana?” tanyaku sambil berdiri. “Ke bawah pohon. Kau mau menunggu sendirian di lapangan ini?” Saat itu juga aku baru sadar orang-orang sudah pergi. “Ya... baiklah.” Sampai di ‘markas’ tempat kami biasa berlatih, aku langsung bersandar pada pohon itu. “Ah.. nyaman sekali” kataku perlahan bersandar. “Tadi itu sangat menyenangkan, seru sekali.. Seandainya kita tidak berdebat, pasti kita bisa menjawab semuanya.” Aku membuka tutup botol minumku dan mulai meminumnya. “Aku sudah mengatakan jawabannya, tapi kau malah bilang jawabanku salah.” Jawabnya. Kami terus bercerita tentang seleksi tadi. Itu memang topik yang bagus untuk saat ini. Sore itu sangat nyaman. Bersandar di bawah pohon,
“Lomba akan diadakan 3 hari lagi. Karena lomba ini diadakan bersamaan dengan Pekan Pramuka, maka kita akan bersama dengan anggota pramuka dan klub sains dari berbagai daerah. Kita juga akan menginap 2 hari 1 malam disana.” Suara kemudian menjadi riuh, padahal kami hanya ber 6. Tapi aku hanya terdiam. Bukannya aku tidak suka jika itu menginap. Masalah terbesarnya berada di orangtuaku. Bagaimana aku akan mendapatkan izin untuk ini?Menginap? Bahkan untuk bermain bersama teman-temanku diluar hari sekolah saja sudah cukup untuk membuat satu rumah terasa kaku dan dingin. Itu terakhir kali terjadi di sekolah dasar. Aku hanya memiliki 72 jam tersisa sampai waktunya tiba nanti. Apa aku harus memicu permasalahan itu lagi? Atau aku harus mundur dari kesempatan ini? Tapi aku benar benar tidak ingin mundur. Ini bukan hanya tentang uang lomba, teman teman, atau Derald. Ini tentang diriku dan kesempatanku untuk berkembang. Aku mungkin tidak akan mendapat kesempatan yang s
“Tunggu, tunggu dulu, Derald. Setelah kupikir pikir sepertinya tidak usah. Hahah, Iya, aku baik baik saja. Aku akan mencoba untuk mengatasi ini sendiri. Hahaha.. iya..” Kataku dengan tawa janggung disetiap selanya. “Kenapa?” Derald bertanya seperti benar benar tidak mengerti apa dan mengapa. Gawat, aku sungguh belum menemukan alasan yang pas untuk kukatakan padanya dan mencegahnya bertemu orangtuaku. Derald kembali berbicara. “Tenang saja, kau tau, semua sponsor acara sekolah kita sampai saat ini? Akulah yang menegosiasikannya selama aku bergabung dengan OSIS. Ini pasti akan berjalan lancer. Percayalah. Hahaha..” katanya sangat percaya diri sambil menepuk pundakku dengan maksud menghibur. Tapi aku tetap sama sekali tidak terhibur. “Oh, benar juga. Karena 3 hari lagi kita akan berangkat, bagaimana jik
Di bawah, aku sudah melihat ayah dan Bill yang berada di depan TV sambil menungggu ibu yang sedang menyiapkan makan malam. Bau masakan ibu sudah menyeruak kemana mana, sepertinya akan segera matang. Aku dengan kaos putih longgar dan celana pendek hitamku langsung ikut menubrukkan diri ke sofa tempat ayah dan Bill. “Kau tidak membantu ibumu, Sofia?” Ayah menegurku namun tidak melihat mataku ketika berbicara. Dan akupun juga melakukan hal yuang sama. “Ibu sebentar lagi sudah selesai.” Jawabku singkat, nampaknya ayah juga tidak peduli dengan apapun jawabanku. Seperti biasa. Jujur saja, semakin aku beranjak ‘tua’, aku semakin tidak ingin berbicara dnegan orangtuaku, khusunya ayah. Entahlah, aku hanya tidak nyaman. Insitngku mengatakan akan selalu ada hal tak baik jika aku berbicara secara dalam dengan ayahku. Tapi saat ini nampaknya ayah nampaknya punya lebih dari satu topik untuk diceritakan.