Foto-foto jepretan Adam dipilih dipilah bos Anwar di ruang kerjanya. Dia bukan orang biasa. Sebutan bos killer tersemat padanya. Tidak banyak fotografer baru yang tahan lama kerja di perusahaan ini. Harian paling lama bulanan. Maklum. Tuntutan perusahaan sangat besar. Hasil foto haruslah berkelas internasional. Harus perfect! No mercy. Motto perusahaan jelas dan tegas, Quality is number one. Itu sudah final. Harga mati. Tidak bisa ditawar-tawar lagi.
"What?! Gambar jelek kayak gini gak bisa dipakai! Dasar bocah gemblung!" Puluhan lembar foto di lempar ke muka Adam hingga berserakan ke segala arah. Adam hanya bisa tertunduk. "Aku gak bisa toleransi hal sepele kayak gini. Kalau you masih niat kerja di sini kasih poto yang bagus dong!"
"Baik, Bos." Jawab Adam lirih gemetaran.
"Gimana you bisa jalanin perusahaan besar ini kalau you ambil gambar aja gak becus!" Mendengar kata itu keluar dari bosnya yang super killer itu Adam tertegun bingung.
"Maaf maksud, Bos?"
Sang Bos mengaduk teh panas kemudian menyajikan untuk anak buahnya yang sedang berusaha mengelak tawaran istimewa ini. Adam semakin kebingungan dengan perubahan drastis ini. Apa maksudnya? Sandiwara apalagi ini?
"Semalam Tiara bilang sama Bapak. Katanya you naksir dan punya niat kawin sama Tiara. Apa itu benar?" Bos Anwar bertanya lirih di dekat telinga Adam. Sadar dengan kebiasaan si kepo Boim dan kawan-kawan yang suka menyadap pembicaraan pribadi empat mata di balik pintu.
"Maaf saya tidak paham maksud, Bos...?"
Gelas teh yang baru saja disajikan bukan tanpa pamrih dibanting ke lantai. Gelegar pecahan keramiknya terdengar ke luar ruangan. Asap teh yang masih panas mengepul berserak di lantai mendidihkan suasana.
Sontak karyawan kaget serempak. Benar saja. Satu dua orang berarak tanpa komando menguping di balik pintu. Sebuah kebiasaan buruk.
Boim yang sedang setor di toilet ketinggalan berita. Virus kepo tingkat dewa segera saja menjangkiti seisi kantor.
Bos Anwar melanjutkan amarahnya.
"You tidak usah pura-pura, Damned!” Siapa sih anak sini yang nggak mau kawin sama Tiara?! Dia putriku satu-satunya. Cantik. Kaya. Kurang apa lagi?!"
Adam semakin terpaku dan membeku sulit untuk berkata-kata.
Bos Killer lanjut merayu.
"Kamu sendiri tahu. Udah berapa banyak lelaki mapan dari keluarga berada melamar Tiara. Dan Tiara, hanya mau laki-laki miskin kayak kamu! Kamu tahu itu!" Penuh kecongkakan jari telunjuk bos Anwar mengarah tepat ke batang hidung Adam. Mata Adam mengernyit takut kecolok.
"Maaf, Bos saya..."
"Halah! Bapak sudah capai banget. Semalaman Bapa bertengkar sama Tiara ngebahas masalah ini. Sekarang kamu malah kayak orang yang baru jalan bareng Tiara aja!"
"Anu Bos, kami baru saling kenal sebulan ini dan ini terlalu cepat, Bos."
Anwar menghela napas. Mencoba mengatur napas khawatir terkena stroke menghadapi manusia tidak tahu diri yang dia hadapi saat ini. Dengan lembut telapak tangannya menepuk pundak Adam. Bapak emosian ini menurunkan tensi nada bicaranya sebisa mungkin.
"Ini sudah jadi takdir Tuhan. Nikahilah putriku. You akan jadi raja perusahaan besar ini. Stop your stupid job dan ready to lead. Ku mohon sama you sebagai calon Ayah. okay?"
Dari balik pintu Boim mengendus kekepoan yang melanda alam semesta. Sambil menutup resletingnya yang macet dengan langkah tergesa dia hampiri kerumunan manusia yang haus akan informasi gelap.
"What's up guys?" Boim nggak mau telat.
"Apaan sih? Pengin tau aja apa pengin tau bangeet?" Jawab Laras kecentilan.
"Tau gejrot! Udah kasih tau dong! GC!" Nada Boim naik saking tidak sabarnya.
"Ssssst, si bos muarah buesar. Si Adam, temen lu yang bego itu tamat karirnya."
"Hah, what?!"
"Iya. Tadi kita denger suara piring apa keramik pecah gitu. Pokoknya si bos marah besar deh." Timpal Rusli yang tiba-tiba nongol entah dari mana.
"Heh dari mane aja lu?! Giliran ngegosip aja kagak pernah absen! Gara-gara lu gak kasih pinjem kamera ke Adam dia kilangan gawenya!" Umpat Boim ke Rusli si biang rusuh.
"Bodo amat. Fotografer pro musti dan kudu punya kamera masing-masing dong. Iya nggak temen-temen?" Jawab jutek Rusli sambil melengos.
"Heuh." Tangan Boim mengepal ke arah Rusli berasa pengin nonjok.
"Byee, Guys." Rusli ngeluyur pergi sambil tertawa sinis kemenangan.
"Sumpah gue bingung deh, mengapa sih kalian pade benci ame Adam?" Boim tak habis pikir.
"Kepoooo." Laras ngeluyur menyusul Rusli dengan senyum sinis kemenangan yang kurang lebih sama jahatnya.
Pasukan kepo berangsur meninggalkan area penyadapan memberikan ruang untuk si big size Boim melakukan penyadapan lanjutan. Semacam pengecekan kembali lah.
Tak selang beberapa lama pintu ruangan dibuka oleh bos Anwar. Boim kaget setengah mati hingga terjerembab ke lantai. Dengan sigap ntuk menghilangkan jejak aksi penyadapan terlarang barusan Boim melakukan gaya merayap. Entah apa maksudnya?
"Ngapain you?! Nguping lagi ya?!" Tanya bos Anwar marah. Matanya melotot.
Boim berdiri tersipu malu. "Anu, Pak. Latihan mengambil gambar di medan perang gitu, Pak."
"Bullshit! Kamu yang ngajakin perang. You ke ruangan saya! Se-ka-rang!" Perintah tegas bos Anwar. Boim bersiap memasuki ruangan sambil merapikan lipatan bajunya. Sejenak dia melirik simpati ke arah Adam yang berpapasan ke luar ruangan.
"Sabar ya, Dam. Lu gak sendiri kok. Gue bakal nyusul elo." Kata Boim memberi sepatah kata penyemangat terakhir.
"Hah?" Adam kebingungan.
"Boiiiiiiim!" Bos Anwar memanggil.
"Iya, Booos!”
Adam tertunduk lemas di taman gersang sambil menghadap patung pipis yang tidak pernah absen mengencingi kehidupan sialnya. Tiap hari. Sambil mengusap rahangnya yang memar dia pandangi kamera mengenaskan di tangannya. Dia sudah duga hal ini akan terjadi lagi dan lagi. Kamera bekas yang betapapun awet kata penjualnya tetap tak akan berkutik melawan sang waktu. Korban iklan bertambah satu orang.Perkataan kejam Rusli ada benarnya. Memang sudah seharusnya kamera butut itu dibuang jauh-jauh jika masih ingin menyandang sebagai fotografer profesional. Namun apa daya. Gaji freelance nya yang angin-anginan tak cukup untuk membeli kamera baru. Cash maupun kredit.Menyanggupi keinginan bos Anwar untuk menikahi Tiara mungkin adalah solusi terbaik keluar dari kehidupan jahanam ini.Di awal kontrak kerja sudah jelas. Perusahaan sudah menentukan spek kamera khusus yang dibutuhkan studio besar ini. Sebuah kamera DSLR dengan spesifikasi…"Adam! Si
Kilat memaksa petir memainkan teror di atas awan. Gumpalan bergulung bersiap menumpahkan air sebanyak yang dia mau. Awan pekat menegaskan pertanda hujan besar akan segera menghujam bumi. Sayu kelopak matanya yang payah sedikit dibukanya. Pusing ini masih menusuk. Tak butuh banyak waktu untuk mengingat kesialan yang baru saja dialami.Tas.Kamera.Dompet raib diangkut angkot sialan! Ini terminal! Ya aku ingat semuanya.Entah siapa yang memindahkan tubuh lunglainya? Yang pasti sekarang dia terbaring sendiri di atas bangku berkarat tepat jam sembilan malam. Dengan segenap tenaga dia melangkah pulang menuju kontrakan yang berjarak beberapa puluh meter. Berteman gelegar petir tubuh lemahnya mulai menggigil. Sadar sedang menghadapi banyak masalah namun yang dia pikirkan saat ini adalah mengistirahatkan tubuh sakitnya di tempat yang layak."Permisi, Bunda" Adam mengetuk pintu. Seorang janda bertubuh gemuk melangkah cepat dari dalam rumah menyambut panggilan manis Adam. M
Mentari menenggelamkan dirinya ke tengah lautan dengan perlahan. Lautan bagai lukisan minyak dengan warna-warni pilihan. Warna-warni romansa. Tawa riuh ratusan tamu undangan pertunangan Dimas dan Sofie melengkapi riah acara spesial yang sudah direncanakan keduanya hampir setahun lebih. Lalu lalang pelayan tak hentinya menuangkan Brendi merah. Pengiring musik memainkan lagu A Thousand Yearsnya Christina Peri dengan sangat apik.Kuta Bali adalah pilihan ideal nan sakral untuk mengikrarkan janji suci mereka. Dua cincin berlian siap tersemat di jari manis kedua pasangan penuh cinta yang asanya kini melayang-layang di surga."Untuk mengukuhkan pertunangan ini mari kita sambut kedua raja dan ratu yang akan mengikrarkan tanda cinta berupa silang cincin emas bertahta berlian White Diamond. Inilah dia Dimas dan Sofie! The heaven is yours my dear!" Pekik Master of Ceremony mengarahkan acara pertunangan yang sakral ini.Sofie berjalan ke
Harusnya mereka berdua mati!Sulit untuk percaya namun nyata. Tergeletak pnuh luka Dimas menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri pemandangan paling mengerikan sepanjang hidupnya. Separuh badan mobilnya hancur dengan posisi tengkurap. Tidak jauh dari tempatnya tergeletak tunangan yang akan menjadi istrinya dalam hitungan hari itu terjepit di remukan mobil tak sadarkan diri.Melihat titik nyala api di bagian tangki mobil yang semakin membesar Dimas meyakini tak lami lagi mobil itu akan meledak. Hancur berkeping-keping.Shit! Lukaku teramat parah! Aku tak bisa menggerakkan kedua kakiku. Apakah kakiku patah?! Dan apa ini?!Darah segar mengalir dari luka robekan kepalaku.Dan lagi Luka sayatan di sekujur tubuh ini begitu menyakitkan!Oh ya Tuhan. Aku muntah darah! Pasti dadaku yang terkoyak! Aku sulit bernapas!Help me!Bau anyir darah bercampur karbon hitam begitu menyengat. Meski hujan lebat namun titik nyala itu tak jua padam.
Matahari menyilaukan membumbung tinggi menyinari permukaan bumi. Pertanda pagi sudah menyapa. Langkah berat kaki seseorang dari gang menuju kontrakan semakin terdengar nyaring. Masih dengan posisi terbaring dilihatnya seseorang berbadan gempal berambut keriting dengan setelan baju sporty itu-itu saja sedang mengamatinya dari atas."Boim?!!" Adam bergegas bangkit. Boim mengibas-ngibaskan tangannya menahan bau badan Adam."Bau lu. Kayak bau comberan." Umpatnya."Emang abis tidur di comberan, Bo." Timpal Adam dengan senyum."Gw telpon puluhan kali kenapa kagak dijawab?!""HP ku mati.""What?! Kan elu bisa cash di kontrakan, Damned?""Gue nggak bisa masuk.""What?""Tas kamera kunci dompet semuanya raib, Bo. Ketinggalan di angkot.""What?!" Boim coba membuka paksa pintu kontrakan."What what..pake gak percaya lagi. Udah jangan dipaksa buka pintunya entar rusak lagi. Makin susah gua." Tangan Adam mencegah.
Di rumah Boim seusai mandi dengan air hangat. Adam menikmati segelas minuman jahe panas untuk melegakan tenggorokannya yang meradang. Dengan lagak sombong Adam menunjukkan pesan WA dari Tiara yang berisi peringatan keras untuk tidak lupa ngedate malam ini di Chateau Blanc Senopati.“Bagaimana menurutmu, hah?” Tanya Adam penuh kecongkaan. Boim menanggapi takdir baik sahabatnya penuh kegirangan seraya menari hip-hop diiringi lagu Feelsnya Calvin Harris.Boim sibuk dengan laptopnya membantu Adam membeli busana kencan secara online. "Nih pilih mau pake setelan kemeja jas ama sepatu yang mane? Awas lu nolak lagi. Pokoknya lu nggak usah khawatir. Habis kawin ama Tiara lu gantiin duit gua dua kali lipat. Ini utang bukan sumbangan.""Hmmm..." Adam jaga gengsi lagi pura-pura mikir."Ah, kebanyakan mikir! Udah jam segini nih mau dandan jam berapa? Telat ngedate berantakan masa depan lu.""Oke, Bo. Sabar dong. Yang ini menurut lu gimana? Ukuran ya
Petir pertama menggelegar jam 10 pagi. Dimaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaasss!!! Sofie terbangun di atas ranjang yang kumal. Matanya perih merah nanar. Bola matanya memburu. Menyapu seisi kamar mendapati dirinya sedang berada di tempat asing! Dalam udara dingin lembab bau asam pekat alkohol karbol bercampur bermacam obat kadaluarsa menyatu dengan anyir tubuhnya. Entah mengapa? Ia merasa seolah tempat ini sudah lama ia huni. Tangan gemetarnya meremas erat selimut yang melindunginya dari hawa dingin. Kepalanya menoleh perlahan ke sana ke mari coba mengingat sebisanya namun sayang tidak ada satupun barang yang pernah dilihatnya. Sebenarnya tidak banyak barang di tempat itu. Hanya tempat tidur bersprei putih polos. Meja tulis pensil tumpul dan buku entah apa isinya...yang pasti tebal. Dan apa ini? Tiang bergelantung kantong infus berisi cairan Benzodizepin yang jarumnya masih menusuk dalam lengan kirinya. Apa lagi ini? Ratusan gambar seorang gadi
Dengan wajah canggung keheranan yang sulit ditutupi mata Adam menyapu langit-langit dan dinding restoran. Lukisan bergambar menara Eiffel, Napoleon Bonaparte, Madame Tussauds dan revolusi rakyat perancis berlatar kerajaan Bastille pertanda jelas ia sedang tidak sedang berada di warung pinggir jalan. Lagu perancis dengan suara mirip Waljinah yang sedang kumur-kumur berpadu suara hujan di luar sana membuat matanya sedikit terkantuk. Ini pasti Kopi bukan darah tokek! Dari baunya dia hafal. Semua bau khas kopi sama saja. Ia seruput beberapa kali untuk mengijinkan caffein mengaliri darah mencegahnya tertidur di saat malam yang mahal ini.Semua kursi restoran perancis Chateau Blanc Senopati sudah di booking Tiara. Semua meja tertulis All Reserved! Malam spesial ini tidak boleh ada yang makan di restoran ini kecuali mereka berdua! Hanya boleh ada mereka berdua diiringi lagu Oh Ipanema didampingi tiga pelayan siap menyajikan apa saja...termasuk daging bekicot!"Baca kertas apa