Sementara itu, tanpa rasa bersalah Doni berjalan melewati aku dan Oma. Kedua tangannya ia masukkan dalam saku celana, sungguh gayanya seakan tidak terjadi sesuatu apapun.
"Doni, mau kemana kamu?" tanya Oma begitu melihat Doni hendak keluar kamar.
Doni memutar tubuhnya. "Urusan saya sudah selesai," jawabnya santai.
"Apa maksudmu? Saya yakin kamu sengaja mengacaukan semua ini," geram, Oma.
Doni hanya mengendikkan bahu dan tertawa.
"Saya akan melaporkan kamu ke polisi," ancam Oma.
Doni menghentikan tawanya dan menatap serius ke arah, Oma.
"Jangan coba-coba mengancam, saya! Tentunya kamu tidak ingin, 'kan cucu kesayanganmu yang kini tengah beranjak remaja itu kenapa-kenapa?" ucap Doni santai tapi penuh ancaman.
Seketika aku teringat, Rania. "Oma, biarkan saja dia pergi!" ucapku, karena aku tidak ingin mengambil resiko lelaki bre*gs*k sepertinya bisa saja melakukan apapun agar tujuannya tercapai.
Mendengar perkataanku, Doni t
Aku mundur ke belakang, tubuh bergetar hebat. Sementara, tungkai kakiku begitu terasa lemas. Tidak percaya dengan yang barusan kulihat. Air mataku semakin deras mengalir bagai hujan yang tiba-tiba turun tanpa aba-aba, rasanya dada begitu sesak.Setelah merasa lebih tenang dengan menumpahkan tangis aku kembali melihat ke jendela, aku sudah tidak melihat, Doni lagi sepertinya sudah pergi. Begitu pun dengan Tante Alana sudah tak terlihat. Apa mereka juga sudah pergi?Saat tengah sibuk mencari keberadaan mereka, aku melihat, Dewa menuju mobil sepertinya sebentar lagi ia akan pergi, sekilas ia menatap ke arah jendela kamarku, buru-buru aku bersembunyi di balik gorden, aku tak sanggup melihatnya. Setelah dirasa cukup lama perlahan aku kembali menyingkap tirai gorden, mobil Dewa perlahan meninggalkan halaman rumah, dadaku semakin terasa sesak yang amat sangat bersama kepergiannya, yang sebenarnya tidak kuinginkan. Tetapi, aku bisa apa hanya bisa pasrah. Semoga ini jalan
Dua tahun telah berlalu sejak kejadian itu, sejak itu pula aku tidak lagi pernah bertemu, Dewa. Dia benar-benar melupakanku, dan pelan aku pun perlahan berusaha melupakannya, tidak mudah memang, tetapi bukan tidak mungkin.Hari-hari kulalui dengan berat, dan perasaan sedih. Hanya, Oma dan Rania yang selalu memberi semangat. Menyadarkanku untuk senantiasa tegar, sebab satu masalah yang terjadi bukan akhir dari segalanya.Dua kali gagal dalam rumah tangga dan satu kali batal bertunangan cukup membuatku trauma untuk kembali membuka hati pada seorang laki-laki. Bagiku saat ini, masa depan Rania adalah segalanya.Bukankah memulai semuanya dengan hal yang baru jauh lebih baik, dari pada mengingat-ingat masa lalu? Aku bersyukur sampai detik ini Tuhan masih mengizinkan, aku untuk membersamai, Oma di usi beliau yang semakin senja. Aku ingin lebih lama lagi merawatnya."Naya," panggil Oma saat aku tengah membereskan kamar, karena kebetulan hari ini libur."I
Setelah menempuh perjalanan lebih kurang 35 menit akhirnya aku tiba dirumah. Satpam yang jaga di depan segera membukakan pintu begitu melihat kedatanganku.Perlahan aku menghela nafas lalu membuangnya dengan masygul, ada perasaan tidak enak karena membuat, Oma menunggu. Begitu memasukkan mobil ke parkir aku langsung menuju pintu utama, Oma pasti sudah menungguku.Perlahan aku menekan handel pintu, berharap begitu melihat kepulanganku, Oma menyambut seperti biasanya, dengan senyuman meski kali ini aku telat.Namun, begitu pintu terbuka, mataku membulat melihat tamu yang sangat ini tengah berbincang dengan Oma di ruang tamu. Apa aku tidak salah lihat?Aku tertegun sesaat, bingung dari mana aku harus memulai kata, seseorang yang terkadang membuat rindu kini hadir kembali? Untuk apa? Aku masih menerka-nerka. Lalu perhatianku teralih pada seorang perempuan cantik dengan balutan busana muslimah menutupi seluruh tubuhnya kecuali muka, itulah yang kulihat.
Usai subuh aku merapikan kamar, hari ini Dewa dan Keluarganya akan pulang ke Amerika setelah menginap beberapa hari di Indonesia.Aku bahagia meski akhirnya tidak bisa bersama setidaknya hubungan ini tetap berakhir dengan baik. Ya meski dalam hati masih ada rasa yang masih tertinggal, semoga itu menjadi doa kebahagian untuk, Dewa dan keluarganya.Hari ini aku juga berencana akan pergi ke pondok pesantren untuk mengunjungi, Rania. Saat aku tengah merapikan seprey yang baru kuganti, Nadifa datang."Mbak, lagi sibuk gak?" tanya Nadifa sembari membukan pintu, dan menampakkan bagian wajahnya."Gak nih, ada apa?" tanyaku balik."Boleh aku masuk?""Masuk aja!" ucapku.Nadifa pun masuk, dan langsung menghempaskan pantatnya di sisi ranjang. Aku pun ikut duduk di sisinya."Mbak, aku mau ngomong serius," ucap Nadifa sembari memutar tubuhnya menghadapku, lalu memegang tanganku."Mau ngomong apa sih, kayaknya serius banget?" ta
"Bram, kamu jangan lupa nanti malam kita mau pergi kondangan, anaknya teman Mama?" ucap Mama sembari menyuapkan makananannya."Iya, Ma." jawab Mas Bram santai, kedua tangannya sibuk menyendok makanan dalam piringnya."Mas, aku ikut ya!" pintaku tiba-tiba. Entah keberanian dari mana, aku bisa berucap demikian."Ih ngapain, Mbak Nay ikut segala, yang ada nanti hanya bikin malu," sinis Mita adik iparku yang baru duduk di kelas dua SMA itu berucap."Tapi, Mbak juga pengen pergi kondangan," ujarku.Mita terbahak. "Jangan-jangan, Mbak Naya belum pernah kondangan ya?"Aku hanya mengangguk pelan, aku memang belum pernah pergi kondangan dengan kelas mewah, dulu pernah waktu masih dikampung dengan musik dangdutan. Selama menikah Mas Bram tidak pernah mengajakku, entah memang tidak pernah ada undangan atau apa, yang jelas ia tidak pernah membahas itu."Omaigat! Jadi benar, Mbak Naya belum pernah pergi kondangan kelas mahal? Hati-ha
"Minumlah!" tiba-tiba seseorang menyodorkan sebuah minuman ke arahku.Ragu-ragu aku mengambil gelas yang berisi minuman tersebut."Te-terima kasih, Bu!""Jangan sungkan. Panggil saja Oma Lastri." Ia meneguk air yang berada dalam gelasnya. Lalu menatapku dengan tersenyum."Oma lihat kamu nampak bingung? Kenapa? Maaf kalau pertanyaan Oma lancang."Aku terdiam sejenak, apa mungkin aku kelihatan bingung, mungkin iya lantaran aku tidak terbiasa di tempat seperti ini, semua orang terlihat begitu cantik dan elegan, sementara aku ... Tentunya berbeda jauh."Nak, kenapa diam?" tanya Oma Lastri mebuyarkan lamunan."Em, eh gak kok, Oma. Aku cuma merasa asing saja berada di sini." ucapku dengan perasaan canggung."Oh iya siapa namamu?""Naya Putri, Oma.""Oh, jadi Nak Naya pergi ke sini sama siapa?""Em, sama suami, Ibu mertua juga adik ipar.""Lalu kemana mereka?"Aku hanya menggeleng pelan
"Udah jangan protes, Mita lebih butuh!" ucap Mas Bram dingin.Astaga!"Mas, aku cuma ...." Belum sempat aku menyuarakan protes lagi, tiba-tiba Mama mertua datang dari arah kamarnya."Ada apa sih ribut-ribut?" tukasnya tajam, seketika membuat nyaliku terasa ciut. Sudah tentu masalah akan tambah runyam dan panjang."Ini lho, Ma Mbak Naya pengen cantik dandan kayak Mita," jawab Mita, sembari tangan sebelah kirinya berkecak pinggang sementara tangan kanannya menunjuk ke arahku."Hah? Apa Mama gak salah dengar?" Terlihat wajah mengejek, dan Mita hanya mengendikkan bahu sementra Mas Bram, berlalu meninggalkan kami. Ia memang tidak suka berdebat hal semacam ini, baginya tidak ada gunanya. Padahal aku juga ingin pergi meninggalkan perdebatan, kupingku sudah terasa tidak enak hampir tiap hari memdengar ocehan Mama atau pun Mita. Tetapi, itu bukan pilihan yang baik."Udah gak usah dandan segala, tugas kamu itu di rumah, dan di kasur. Jan
Tiba di rumah sakit petugas dengan seragam serba putih dengan sigap segera menaikkan tubuh Oma Lastri ke atas brankar dan mendorongnya menuju ICU.Selama Oma di ICU aku menunggu dengan cemas, sembari memeluk tubuh Rania."Ma, Oma kenapa? Oma gak matikan?" tanya Rania tiba-tiba memecah keheningan.Aku tersenyum getir sambil mengelus rambut sepundaknya. "Kita doain ya semoga, Oma Lastri baik-baik saja." Aku kembali memeluk tubuh putriku."Maaf apa Ibu keluarga pasien?" Tiba-tiba seorang suster datang menghampiri kami."I-iya saya, Sus," jawabku gugup."Silahkan untuk mengurus administrasinya dibagian depan, biar korban bisa segera di tindak lanjuti untuk dilakukan operasi," jelas Suster Mila yang kuketahui namanya dari bed namenya."Tapi, Sus ....""Mari, Bu silahkan!" Suster Mila tersenyum ramah sembari mempersilahkan.Dengan perasaan berdebar aku pun mengikuti suster Mila menuju resepsionis. Tib