Suara ketukan pintu kamar membuat Greta bangkit dari duduknya. Pintu tersebut akhirnya terbuka. Dia mendapati pelayan itu membawakan sebuah nampan berisi makanan."Makan siangmu sudah siap. Nona harus makan dulu," ucap pelayan seraya memberikan nampan tersebut pada Greta."Aku tidak mau makan," tolak Greta. Dia tidak mengambil nampan itu justru memalingkan wajahnya."Ini perintah. Kalau Nona tidak mau makan, mereka bisa melakukan apa saja padamu." Dua orang bodyguard dengan tubuh kekar masuk ke dalam kamar.Bulu kuduk Greta merinding saat kedua bodyguard itu menatapnya tajam. "Oke, baiklah. Letakan saja itu di nakas. Nanti aku akan memakannya."Pelayan tersebut menuruti perintah Greta. "Kalau Nona tidak memakannya, Nona tahu, kan, akibatnya?"Greta memutar kedua bola matanya jengah. "Iya, aku mengerti.""Baiklah, kami permisi dulu." Baru saja ingin keluar kamar, pelayan itu dicegah Greta lebih dulu."Tunggu! Siapa namamu?" tanya Greta. Dia tahu kalau pelayan itu sebenarnya baik hati d
"K-kau?" Greta terkejut saat seseorang itu berbalik badan. "Koko? Kenapa kau di sini?" Greta menghampiri Jerico di paviliun. "Jadi, Tuan Besar yang dimaksud Rita itu, kau?""Memangnya kenapa? Kau tidak suka aku berada di sini? atau kau mengharapkan orang lain?" Jerico berkata dengan dingin.Greta menggeleng cepat. "Bukan begitu. Aku justru lega kalau Tuan Besar itu adalah kau. Aku benar-benar ketakutan. Aku takut jika ternyata Marko menjualku pada lelaki hidung belang."Jerico menarik Greta ke dalam pelukannya. "Aku tidak akan membiarkan itu semua terjadi padamu.""Lalu kenapa kau melakukan ini semua padaku?" ucap Greta manja masih berada dipelukan lelaki itu."Aku melakukannya karena merindukanmu. Kau tidak merindukanku memangnya?" Jerico melepas pelukannya."Tentu saja aku merindukanmu. Kau yang lebih dulu cuek dan tak peduli padaku. Sampai-sampai aku tak menyangka, kau mengenalkan Shena di depan para karyawan." Greta memukul dada Jerico karena kesal."Bukankah, kita telah setuju so
"Hei, itu milikku!" seru perempuan dengan rambut dikuncir kuda.Pria yang mengambil mie cup tersebut berhenti melangkah lantas membalikkan tubuhnya. "Kau bicara denganku?" tanyanya tanpa merasa bersalah."Aku yang melihatnya lebih dulu! Kembalikan padaku!" Bukannya menjawab, perempuan itu justru melayangkan pernyataan."Tapi aku yang mendapatkannya lebih dulu," ucap pria itu sembari melengos pergi ke kasir untuk membayar apa yang sudah di dapatkannya.Sambil menyilangkan kedua tangannya di dada, perempuan itu memberengut sebal. Pasalnya rasa yang ingin dia santap pada mie cup tersebut hanya tersisa satu. Belum lagi di kosan yang dia tinggali tidak ada makanan sama sekali.Dengan wajah kesal, perempuan itu mengambil asal snack yang berada di samping kanannya. Lantas melangkahkan kakinya menuju kasir. Pria yang dia temui barusan sungguh membuat moodnya buruk."Mba ... aku ambil satu. Kekasihku ini yang bayar, ya," seru perempuan itu kepada mba kasir seraya berlari keluar mini market."He
Pak David menepuk pundak sebelah putranya seolah menstransfer seluruh tanggung jawab di perusahaan. "Papa harus pergi sekarang. Client Papa sudah menunggu. Papa yakin kau bisa, Jer."Jerico hanya membalasnya dengan anggukkan kepala. "Semuanya bisa keluar ruangan dan kembali bekerja kecuali sekretaris," ucap Jerico setelah Pak David keluar ruangan.Selepas ruangan sepi dan tinggallah mereka berdua, Jerico menutup pintu serta jendela kaca yang menembus keluar. Greta masih diam di kursi dan berusaha untuk tetap tenang.Perlahan langkah Jerico mendekat seraya melepas jas kemudian menggulung kemeja putihnya sampai lengan. Greta masih berpikir positif jika atasannya itu ingin memberikan arahan dan penjelasan mengenai pekerjaan.Tubuh Greta kini berada dalam kungkungan Jerico. Wajah lelaki itu semakin dekat dengan wajah Greta, membuatnya bergidik ngeri. Mata Greta terpejam."Kau tidak ingat denganku?" bisik Jerico. Suaranya t
"Mega," panggil Jerico ketika ketiganya baru saja sampai di ruangan dari makan siang tadi. "Bisa ke ruangan saya sebentar?" Jerico memang mengubah cara bicaranya menjadi formal ketika di kantor."Baik, Pak." Mega buru-buru meletakkan dompetnya di meja lantas ke ruangan Jerico. Dia tak ingin membuat kesalahan karena atasannya menunggu lama.Sementara Greta dan Satria kembali ke meja dengan pikiran masing-masing. Meski telah mendapat lampu hijau dari Jerico, Satria masih khawatir akan hubungannya dengan Mega. Bisa saja atasannya itu berubah pikiran, lalu memecat salah satu antara dirinya dan Mega.Sedangkan Greta memikirkan perkataan Mega mengenai Jerico yang bisa jadi adalah bagian dari masa lalunya. Rasa-rasanya tidak mungkin karena jika memang lelaki itu kekasih atau suaminya, dia pasti mengaku. Tapi ini, tidak."Hayoooo ... bengong saja! Mikirin apa?" Tiba-tiba Mega datang mengagetkan Greta dengan memegang pundak sahabatnya itu.
"Jadi, informasi apa yang kau dapatkan?" tanya Jerico saat asisten pribadinya masuk ke dalam mobil.Selain mengikuti ke mana Greta pergi, Jerico memerintahkan asisten pribadinya mencari informasi terkait perempuan itu. Apa lagi dia harus tahu siapa lelaki yang bersama Greta saat ini."Lelaki itu bernama Calvin, dia sahabat Greta," ucap Marko kemudian mengambil napas lalu dia keluarkan perlahan. Dia khawatir informasi selanjutnya akan membuat atasan sekaligus sahabatnya itu naik pitam."Lalu? Itu saja?" Jerico tidak yakin informasi yang Marko dapatkan hanya sebatas itu.Marko ragu-ragu untuk mengatakannya. "Mereka tinggal di lantai dua nomer enam belas.""Maksudmu mereka berdua tinggal bersama?" Tanpa perlu jawaban dari Marko, Jerico sudah bisa menebaknya.Marko tidak membuka suara. Dia terdiam, menunggu perintah Jerico selanjutnya. Sebab dia paham sekali kalau sahabatnya tidak akan tinggal diam.
Greta menjatuhkan dirinya di sofa panjang kala baru saja tiba di kosan. Tiba-tiba saja irisnya menangkap suatu pemandangan yang janggal. Sepasang sepatu perempuan berada di antara sepatu miliknya di rak dekat dengan pintu masuk."Sepatu milik siapa, ya?" tanyanya dalam hati. "Aku merasa tidak memiliki sepatu model itu."Ternyata bukan hanya itu, meja makan terlihat berantakan dengan beberapa sisa lauk. Serta wastafel berisi piring dan gelas kotor dibiarkan begitu saja."Calvin," panggil Greta kala mendapati sahabatnya itu berada di ruang santai bersama perempuan asing."Grey, kau sudah pulang?" Calvin menghampiri Greta kemudian mengajaknya bergabung bersama. "Aku ingin mengenalkan seseorang padamu."Greta menghela napas. Ruang santai yang semula bersih, kini berantakan dengan berbagai macam makanan. Beberapa snack juga berceceran di lantai."Grey, kenalkan dia Lidya, kekasihku. Lid, dia Greta, sahabatku."
"Kalian siapa?" Greta mengerjap-ngerjapkan matanya usai sadarkan diri. Dia terkejut mendapati beberapa lelaki berpostur besar berada satu ruangan bersamanya. "Di mana aku?""Nona, tenanglah. Kau berada di rumah sakit karena sebelumnya pingsan." Salah satu dari lelaki tersebut menjawab.Greta berusaha mengingat apa yang telah terjadi sebelumnya. Terakhir kali yang dia ingat sedang berada di kantor, membawakan beberapa map untuk diberikan pada atasannya. Setelahnya dia tidak mengingat apapun lagi."Gret," seru lelaki berstelan jas yang tiba-tiba datang dan langsung memeluk erat perempuan itu. "Akhirnya kau bangun. Aku sangat mengkhawatirkanmu."Yang dipeluk merasakan napasnya sedikit sesak. "Ma-maf, Pak. Apa ini tidak berlebihan? A-aku baik-baik saja."Jerico melepas pelukannya. "Dasar ceroboh! Kau memiliki penyakit lambung, kenapa tidak sarapan?"Greta bingung kenapa atasannya bisa tahu jika dia memiliki sa