DRRRRTTTT!
Ponsel Kirey bergetar. Ada panggilan masuk dari Sammy, salah satu rekan kerjanya di kantor.
“KIREY!” teriak Sammy dari seberang sana.
Astaga! Mengagetkan saja. Kirey menjauhkan ponsel dari telinganya. Suara Sammy memekakkan telinganya.
“Kamu bisa nggak bantuin aku?” tanya Sammy. Seraya meminta bantuan. Suaranya terdengar panik.
“Bantuin apa, Sam?” Kirey ikut-ikutan panik mendengarnya.
Sammy adalah sahabat terbaiknya di kantor. Seorang pria muda teman sekampus Kirey dahulu.
“Kamu bisa nyetir, kan?” Sammy memastikannya lagi. Dia lupa-lupa ingat kalau Kirey pernah membawa mobil ke kampus waktu itu.
“Bisa. Kenapa memangnya?” Kirey mengiyakannya.
“Kamu mau nggak, gantiin aku jemput seseorang? Malam ini dia tiba di stasiun jam 7. Tolong, ya! Gantiin aku jemput dia. Aku sedang ada urusan keluarga,” Sammy memohon.
“Berapa bayarannya? Kalau nggak dibayar aku nggak mau bantuin kamu, Sam,” tawar Kirey.
“Ayolah, Kirey! Nanti aku akan membayarmu setelah gajian. Kamu tahu sendiri, kan akhir bulan begini bagiku yang hanya anak kos untuk makan saja susah dan…” cerocos Sammy panjang lebar.
“Ya-ya-ya. Sudahlah. Aku sudah tahu keadaanmu,” potong Kirey.
Kirey malas mendengar alasan Sammy yang bermacam-macam. Sudah hatam sekali Kirey dengan ulah Sammy. Julukannya saja ‘Pria Seribu Alasan’. Hah? Ngeselin.
“Aku mau saja bantuin kamu. Tapi ingat, awal bulan aku akan menagih bayaranku. Kamu setuju?” Kirey bernegosiasi sebelum mengiyakannya.
“Deal,” sahut Sammy terburu-buru. Sudah tidak ada waktu lagi bagi Sammy untuk berdebat dengan Kirey.
“Jadi, siapa yang harus kujemput malam ini?” tanya Kirey menanyakan identitas kliennya.
“Namanya Gio. Aku mau kamu saja yang menjemputnya. Kamu bisa memakai mobil inventaris perusahaan. Kunci mobilnya ada di Satpam,” Sammy memberitahu.
“Iya. Aku tahu,” Kirey segera berjalan menuju pos Satpam.
Usai jam kantor, Kirey terpaksa harus bekerja freelance lagi menggantikan Sammy. Kali ini menjadi supir pengganti. Lumayan, bisa nambah-nambahin uang jajannya.
“Thanks ya, Kirey. Kamu memang sahabatku yang terbaik,” putus Sammy.
Hah? Sahabat baik katanya. Kirey tersenyum sinis mendengarnya. Sammy selalu begitu. Dia datang di saat membutuhkan pertolongan Kirey. Apa itu yang dinamakan teman? Datang di saat butuh. Menghilang saat diperlukan. Menyebalkan! Kirey menggerutu dalam hati.
Dalam waktu satu jam, Kirey harus menjemput seseorang bernama Gio di stasiun. Entah bagaimana rupa pria itu. Kirey tidak tahu. Sammy hanya menjelaskan ciri-ciri pria itu melalui pesan singkat yang dikirim via WA.
Sesampainya di stasiun, Kirey memerhatikan semua pria yang memakai sweater hodie berwarna hitam dan topi hitam. Itu informasi yang Kirey dapat dari Sammy. Aish! Ada banyak sekali yang memakai pakaian seperti itu. Bagaimana Kirey mengetahuinya? Dia kesulitan mengenali pria itu.
Satu per satu Kirey menyapa beberapa pria yang memiliki ciri-ciri yang sama. Namun, ketika Kirey menanyakan nama pria asing itu, tak satu pun ada yang mengakuinya. Lantas, Kirey harus bagaimana? Sammy mengalihkan pekerjaan yang cukup rumit. Lebih rumit dari revisi pekerjaannya di kantor.
Kirey membalikkan badan. Dia menabrak seseorang karena tidak memerhatikan jalannya.
“Maaf,” sesal kirey. Dia melihat ke arah pria jangkung yang sedang memerhatikannya.
“Apa kamu pria yang bernama Gio?” tanya Kirey memberanikan diri. Karena pria yang ada di hadapannya kini memiliki ciri-ciri persis seperti yang disebutkan Sammy.
“Ya. Itu namaku. Apa yang bertugas menjemputku itu kamu?” tanyanya dengan nada angkuh dan sombong.
Lagaknya berlagu banget. Songong dan arogan. Bahkan, pria itu memerhatikan Kirey dari ujung kaki hingga ujung kepala. Gio tersenyum sinis. Seolah-olah seperti sedang mengejek Kirey.
“Ya ampun! Katanya yang menjemputku seorang pria. Nyatanya, wanita jelek buruk rupa,” gumam pria itu. “Sama sekali tidak menarik.”
Kirey mendengar gumamannya. Ejekan itu sudah sering Kirey dengar dari pria lain. Dia tak pernah menghiraukannya. Terserah, orang lain mau bilang apa. Kirey tidak pernah peduli. Yang paling penting di dunia ini adalah uang, katanya.
“Maaf? Ke mana aku harus mengantarmu?” tanya Kirey.
“Ke hotel,” sahut pria galak itu.
Apa? Hotel? Kirey membelalak. Memangnya dia tidak punya rumah, apa? Sampai harus menginap di hotel? Atau jangan-jangan dia itu turis domestik yang sedang berlibur, pikirnya.
Bodo amatlah. Kirey tak harus memikirkannya. Yang penting, dia mengantarkan tamunya ke hotel dengan selamat. Setelah itu, dia mendapatkan bayarannya dari Sammy.
Sepanjang perjalanan, pria itu hanya melihat ke arah kaca mobil. Ehem! Kirey berdehem. Tadinya, dia ingin mengajak pria itu mengobrol. Habisnya, suasana di dalam mobil terlihat seperti di kuburan, hening. Dingin dan mencekam.
“Aku sedang tidak ingin bicara. Perhatikan jalanmu dan fokus saja menyetir. Mengerti?” perintah pria itu. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kirey yang sedang mengemudi.
“Oke, baiklah.” Kirey mengurungkan niatnya. Tadinya, dia ingin bersikap baik di depan kliennya.
Benar-benar songong pria yang duduk di jok belakang mobilnya itu. Lagian, siapa juga yang mau berbincang-bincang dengannya. Kirey tidak dibayar untuk itu.
Sesampainya di hotel, Kirey membukakan pintu untuk penumpangnya. “Silakan,” Kirey mempersilakan.
Pria itu begitu dingin. Dia segera keluar dari mobil setibanya di hotel. Huh, dasar manusia nggak ada akhlak! umpat Kirey dalam hati. Lihat saja dari caranya berjalan. Mentang-mentang orang kaya. Lagaknya sudah seperti sultan beneran, cibir Kirey.
“Gio, sayang!”
Gio disambut oleh seorang wanita cantik yang sudah menunggunya di depan hotel. Kirey menoleh lagi ke arahnya. Sebelum masuk mobil. Jangan-jangan, mereka ke hotel hendak menghabiskan malam bersama. Wow! Kirey tidak ingin ikut campur masalah pribadi pria itu.
Itu bukan urusannya. Terserah, mau ngapain juga. Mereka sudah sama-sama dewasa, pikir Kirey. Sudah tidak aneh lagi pria dan wanita yang belum menikah berduaan berada di kamar hotel. Tetapi, bagi Kirey, itu sangat bertentangan dengan prinsipnya
Malam ini, Kirey harus kembali ke kantor untuk mengembalikan mobil perusahaan. Usai menyerahkan kunci mobil kepada Satpam yang bertugas, Kirey berjalan kaki pulang menuju rumahnya.
“Sudah hampir jam 9 malam,” kata Kirey sambil melirik jam digital di ponselnya.
Kirey berjalan sampai halte bus. Semoga masih ada angkot yang melewatinya malam ini.
Aish! Sialan! Jam segini mana ada angkot yang masih lalu lalang di jalan raya. Terpaksa, Kirey berjalan kaki.
TIIIDDD!
Seorang pria membunyikan klakson motor maticnya tepat di depan Kirey. “Kok lemas banget jalannya? Mau kuantarkan pulang, nggak?”
“Sammy?!” Kirey antusias sekali melihat kedatangan sahabatnya.
“Aku kebetulan lewat sini. Buruan, naik! Sebelum aku berubah pikiran ninggalin kamu sendirian di sini,” kata Sammy sambil menyerahkan helm untuk dipakai Kirey.
Kirey mengenakan helm kemudian duduk di boncengan. “Wah, gawat!” ucap Sammy.
“Ada apa?” tanya Kirey.
“Bannya kempes.”
***
“Apa? Bannya kempes?” Kirey terkejut. Masa sih?“Ya sudah. Aku cari tambal ban dulu, ya. Kirey, bantuin dorong dong! Berat nih,” Sammy meminta bantuan lagi.“Dorong?” ulang Kirey. Sambil menghela napas panjang. Seharian ini dia sudah kelelahan. Ditambah harus mendorong motor Sammy pula. Ya Tuhan, ada apa dengan hari ini? tanya Kirey dalam hati.Mau tidak mau, Kirey ikut mendorong motor sembari melihat-lihat sekitar. Siapa tahu ada tukang tambal ban di sekitar sini, pikirnya.Satu jam lamanya, Kirey menemani Sammy di tukang tambal ban. Katanya, ban motornya menginjak paku. Jadi harus ditambal. Oke, tidak masalah. Lakukan saja. Sialnya, setelah selesai tambal ban sekarang malah Kirey yang harus membayar ongkos tambalnya.“Pinjam duit kamu dulu, ya. Nanti awal bulan kuganti semuanya,” kata Sammy dengan wajah memelas.Kirey mendengus kesal. “Ini namanya perampokan,” gerutu Kirey.
Tidak mungkin. Kirey tidak memercayainya. Jika pria semalam yang bernama Gio itu adalah Presdir di tempatnya bekerja.“Wanita jelek itu bekerja di sini rupanya. Dan namanya adalah Kirey. Hmm…” pikir Gio. Dia masih memandangi Kirey secara keseluruhan. Tetap saja, di mata Gio, Kirey sangat tidak menarik.Kirey masih menundukkan pandangannya. Dia tak berani menatap Gio. Pria itu pasti akan mengejek penampilannya lagi, pikir Kirey jadi berburuk sangka. Gio beranjak dari tempat duduknya. Dia berjalan mendekati Kirey.Tidak! Tidak! Jangan mendekat! Kirey memejamkan matanya. Dia tidak ingin melihat Gio yang kini berhadap-hadapan dengannya. Gio menyentuh rambut ikal Kirey, mengacungkannya sambil terheran-heran. Apaan nih? Rambut Kirey lengket banget. Belum sampoan, ya? tebak Gio sambil menunjukkan ekspresi jijik.“Kamu berpenampilan seperti ini ke kantor? Setiap hari?” tanya Gio. Apa?Kirey membelalak kaget. Memangnya kenapa?
Gio tergelincir dan jatuh di lantai. “Aaauuuuww!” dia mengerang kesakitan.Kirey menoleh ke belakang. “Ya ampun, Pak Presdir! Kenapa Bapak duduk-duduk di lantai yang basah?” sindir Kirey.“Apa katamu? Duduk-duduk?” Gio sewot.Kirey segera membantu Gio berdiri. Cari muka dulu di depan Presdir Gio. Padahal, di dalam hatinya dia sedang tertawa ngakak. Sukurin! Berlagu banget jadi Presdir.“Kamu tidak tahu, kalau aku tergelincir dan jatuh di lantai yang basah ini, hah? Ini semua gara-gara kamu pastinya,” semprot Gio langsung menuduhnya.“Oh, Pak Presdir terjatuh. Maafkan saya kalau gitu, Pak!” sesal Kirey. Namun, dia terlihat seperti sedang menahan tawa.“Kenapa ekspresimu begitu? Kamu senang ya, aku jatuh kayak gini?” Gio curiga.“Ah, bukan begitu, Pak. Lagian, suruh siapa saya harus mengepel lantai di sini? Bapak, kan?” Kirey melawan. Dia memutarbalikkan
TIIIIDDDD!“Wanita gila! Ngapain kamu di situ?” Seseorang memunculkan kepalanya ketika kaca mobilnya dibuka.Samar-samar Kirey melihatnya. Karena tersorot lampu mobil. Sepertinya itu suara seorang pria dikenalnya. Ketika dia membuka matanya lebar-lebar, dia membelalak kaget.Astaga! Itu Presdir Gio. Kenapa bisa bertemu di saat-saat seperti ini sih? gumam Kirey. Ya ampun! Ngapain juga tuh Presdir Gio turun dari mobil lalu mendekati Kirey? Pasti bakalan dimarahi lagi pegawainya itu.“Kamu lagi. Kamu lagi. Kenapa kamu selalu berkeliaran di sekitarku, hah?” semprot Gio.Yeh? Mana Kirey tahu. Tiba-tiba saja mereka bertemu. Ini hanya kebetulan saja, kok. Kirey sama sekali tidak merencanakannya.“Kamu sengaja mau menggangguku terus, ya?” tuduh Gio. Dih, kegeeran banget dia.“Siapa yang mau mengganggu Anda, Pak Presdir? Saya hanya kebetulan lewat sini. Bapak bisa lihat sendiri, kan, kalau saya sedang
“Apa ini semuanya adalah uang?” Kirey hampir tidak memercayainya.Mata Kirey membulat. Lalu, dia mengedip-ngedipkan matanya. Seolah, apa yang dia lihat saat ini tidaklah nyata. Pasti hanya mimpi dan dia berhalusinasi. Mana mungkin, di hadapannya kini ada tumpukan uang ratusan juta rupiah tertata rapi di dalam sebuah koper.“Ya. Itu semua uangku,” Gio meyakinkan Kirey.“Lalu, kenapa Anda memperlihatkannya kepada saya?” Kirey tidak habis pikir. Apa Presdir Gio yang kaya raya, keturunan konglomerat itu sengaja ingin pamer di depan Kirey?Kirey menelan ludah. Jujur saja, dia tergiur melihat uang sebanyak itu. Tidak. Itu bukan miliknya. Kirey mengelus dada. Menarik napasnya panjang. Kemudian, dia menutup kembali koper milik Gio. Dia merasa tidak mungkin memilikinya. Ikhlaskan saja.“Kamu bisa menggunakan uang itu,” kata Gio. Alam bawah sadar Kirey tersentak. Seakan-akan Kirey dipaksa bangun dari mimpi inda
Kirey membelalak saat saldo di rekeningnya bertambah. Sulit dipercaya. Namun, kenyataannya memang begitu. Ada sejumlah uang, nilainya mencapai jutaan rupiah terkirim ke dalam rekeningnya. Hampir setara dengan satu bulan full gajinya.“Apa aku sedang tidak berimajinasi?” Kirey berusaha menyadarkan dirinya. Dia mencubit pipinya.Auw! Terasa sakit. Itu artinya Kirey tidak sedang bermimpi. Ini… kenyataan yang harus ia terima. Benar begitu? Aneh tapi nyata. Sukuri saja! Kirey merasa seperti sedang mendapat durian runtuh. Rejeki nomplok namanya.Besok, Kirey akan mempergunakan uang itu dengan sebaik mungkin. Potong rambut ke salon, membeli riasan wajah, memborong sepatu high heels, tas, dan beberapa pakaian setelan untuk bekerja. Itu sudah sesuai dengan amanat yang diberitahukan Gio kepada Kirey melalui pesan singkatnya.Kirey membuka notebooknya. Dia mencatat semua kebutuhannya besok. Jangan sampai ada yang terlewat. Biar uangnya nggak mubaz
Waduh, kedengaran ya sama Presdir Gio? Tadi, Kirey tidak sengaja menggumamkannya. Dan menyebut Presdir Gio pelit. Kirey tidak menyangka Gio mendengarnya. Tajam sekali indera pendengarannya jika ada yang mengumpat tentang dirinya. Mungkin itu salah satu kelebihan yang dimiliki Presdir Gio.“Beri waktu kepada saya beberapa menit lagi, Pak Presdir. Saya akan merinci pengeluarannya terlebih dahulu,” kata Kirey meminta toleransi waktu pada Gio.“Berapa menit kamu mengerjakannya? Lima menit atau tujuh menit, cukup?” Gio memberi pilihan. Aish! Sebentar sekali waktunya.“Lima belas menit, Pak!” tawar Kirey. Mereka saling berdebat saat menegosiasikannya.“Tidak. Itu kelamaan! Sepuluh menit saja!” tegas Gio.“Sepuluh menit?” ulang Kirey bingung. Dia masih mempertimbangkannya.“Oke, tujuh menit. Deal?”“Ah, tidak! Sepuluh menit saja!” sanggah Kirey. Dia menyanggu
“Antar ke mana, Pak?” tanya Kirey.“Ke rumahnya,” sahut Gio.Kirey menoleh ke arahnya. Gemas. Iya, tahu. Tetapi, diantarinnya ke mana? Presdir Gio tidak jelas nih memberitahu alamatnya.“Aku mau ke rumahmu saja, Gio sayang,” kata wanita itu. Nada suaranya bernada manja.“Kita lakukan sekali lagi, sayang. Aku belum puas,” katanya lagi. Apa? Kirey jadi salah mengartikan perkataan wanita itu.Kirey menatap curiga ke arah Gio. Apa yang sudah mereka lakukan di hotel? Tuh, kan. Kirey semakin penasaran.“Maaf, aku tidak bisa. Aku sangat sibuk malam ini,” tolak Gio. Dingin sekali sikap Gio pada wanita itu. Membuat Kirey berspekulasi. Jangan-jangan, wanita itu memaksa Gio untuk…“Kirey, cepatlah! Jangan membuang waktuku!” perintah Gio.“Ah, iya. Baiklah.” Kirey menurut.Kirey segera menuju mobil Gio. Tidak lupa, dia juga membukakan pintu untuk Presdir dan wanita tidak jelas itu. Mereka duduk di jok belakang. Kirey segera mengemudikan kend