Share

Bab 5 Apa Itu Pernikahan?

“Mama Serena,” lirih Anin.

Aku menoleh ke belakang. Di sana ada Anin sudah berdiri tegak bagai patung. Dengan kegugupan yang melanda, aku pun berjalan mendekat. Anin menatapku tanpa ekspresi. Bagaimana kalau Anin mendengar percakapanku dengan Mas Samuel?

“Anin ngapain keluar?” tanyaku berusaha terlihat baik-baik saja.

“Papa pergi ke mana, Ma?”

Deg!

Sontak pandanganku beralih ke arah gerbang yang masih terbuka lebar. Bohong kalau aku tak ingin menangis. Bahkan saat pria itu pergi tanpa memedulikanku saja rasanya seperti tertancap pisau, sakit.

“P-papa, Papa ada kerjaan Sayang,” jawabku menahan sakit di dada.

Aku tersenyum, meyakinkan bahwa yang kuucapkan barusan adalah fakta, bukan kebohongan.

“Papa sibuk, ya, Ma?”

Tanganku mengusap pelan rambut panjang milik Anin. Bernapas lega, sepertinya Anin tak mendengar ucapan kami. “Papa ‘kan kerja, pasti sibuk, Sayang. Sekarang Anin masuk lagi ya? Mama harus pergi, ada urusan di luar.”

“Anin boleh ikut?”

Kubalas senyum. “Mama janji, Mama pasti bakal ajak Anin, tapi enggak sekarang, okay?”

Anin mengangguk pelan.

“Sekarang Mama udah boleh pergi?”

Anin mengambil sesuatu di dalam kantong celananya, lalu memberiku makanan favoritnya. Aku menatap kagum dan menerima makanan tersebut.

“Cokelat?”

Dia mengangguk cepat. “Iya, itu cokelat dari Om Bayu.”

“Mama terima, ya? Sekarang Anin masuk ke dalam, gih. Jangan nakal, okay?”

“Siap, Ma! Dadah!”

Aku ikut melambaikan tangan ke arahnya. Perlahan kakiku meninggalkan kediaman rumah orang tua Mbak Kinan. Aku tersenyum pilu kala jarakku dengan Anin makin jauh. Ibu benar, anak adalah anugerah terindah yang ada di dalam pernikahan.

Hari ini Jakarta cukup panas. Ya, aku sudah di jalan menuju tempat di mana suamiku berada. Aku turun dari motor dan membayar ongkos ojek online tersebut.

“Makasih, ya, Pak.”

—RSJ Harapan Kasih.

Sejenak aku terdiam. Masuk ke dalam RSJ bukanlah sebuah pilihan. Orang-orang sakit di dalam sana, tidak sepenuhnya sakit. Mereka hanya bertengkar dengan dirinya sendiri, terus menyalahkan seakan semesta tak adil padanya.

Dengan sekuat tenaga, ‘ku langkahkan kaki masuk ke dalam. Apakah aku kuat? Jawabannya tidak. Aku bahkan tak siap melihat bagaimana jadinya seseorang yang begitu kucintai tampak peduli dan menyayangi mantan istrinya. Meski dengan alasan belas kasihan sekalipun, itu tak mengubah apa pun. Kesakitanku tetap tanggung jawabku. Mereka tak akan mengerti. Tak akan pernah.

“Serena?”

Aku menoleh, terkejut mendapati Ibuku ada di rumah sakit. “Ibu? Ibu ngapain di sini?”

“Ibu habis jenguk Kinan,” katanya tersenyum tipis.

Kutatap matanya lekat-lekat. “Bu—“

“Serena, ada apa dengan pernikahan kamu?”

Jelas aku tak mengerti apa yang Ibu katakan. Keningku mengerut. Memang ada apa dengan pernikahanku dengan Mas Samuel? Kenapa tiba-tiba pertanyaan itu bisa terlontar dari mulut Ibu? Hei, kenapa aku seperti orang bodoh di sini?

“Maksud Ibu?”

Namun, Ibu malah terdiam. Wanita itu dengan tulus memandang wajahku. Pandangan seorang Ibu terhadap putri kecilnya yang tak menyangka anaknya sudah tumbuh sebesar ini. Aku melihat semuanya. Melihat bagaimana kekhawatiran di mata Ibu.

“Bu, aku sama Mas Samuel baik-baik aja, begitu pun pernikahan kami. Aku tau Ibu pasti cemas, ‘kan? Gak apa-apa, kami baik-baik aja.”

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Ibu masih saja terdiam. Aku makin bingung dibuatnya.

“Ibu sekarang pulang, ya? Serena mau ke ruangan Mbak Kinan dulu. Mau diantar keluarnya?”

Ibu pun menggeleng. “Pintu rumah selalu terbuka buat kamu, Serena. Pulanglah saat kamu merasa lelah.”

Setelah mengatakan itu, Ibu langsung pergi meninggalkanku dengan berbagai jenis pertanyaan di kepala. Pulang memang sebuah jawaban dari penatnya berpetualang. Akan tetapi, apakah Mas Samuel cukup menjadi tempat berpulangku ketika lelah?

Dengan berat hati, aku pun melanjutkan perjalanan menuju ruangan Mbak Kinan. Pintu itu terbuka sedikit, perlahan aku mendorong pintu itu dan menatap tak percaya atas apa yang kulihat sekarang.

Mereka sedang berpelukan dan Mas Samuel dengan beraninya memberi satu kecupan di pipi Mbak Kinan!

Hatiku perih. Aku merasa dikhianati. Pikiran aneh mulai menghantui. Selama ini, berapa kali mereka melakukan hal semesra itu tanpa sepengetahuanku? Sebab, yang aku tahu pun Mas Samuel sering kali mengunjungi Mbak Kinan secara diam-diam. Lantas, berapa puluh kebohongan yang pria itu sembunyikan dariku?

“Serena?” ucap Mas Samuel usai menoleh ke belakang.

Tak peduli se-terkejut apa mereka, yang pasti lari adalah jalan yang kuambil. Aku ingin menenangkan diri. Tak ingin diganggu siapa pun. Otakku langsung mencerna perkataan Ibu. Jadi, apakah ini yang dimaksud pulang? Sejauh mana Ibu tahu masalah ini?

Tuhan ... kali ini jalan mana yang harus kutuju?

“Serena tunggu!” teriak Mas Samuel berhasil menarik tanganku.

Kami berhasil saling tatap di lorong rumah sakit yang kebetulan sedang sepi. Saat kedua bola mata kami bertemu, tak ada satu pun kata yang keluar. Aku menatapnya dengan sorot marah dan kecewa. Ya, tentu saja aku menangis. Tak peduli Mas Samuel kasihan atau tidak.

“Kenapa lari? Terus ini juga kenapa kamu nangis?” tanya Mas Samuel setelah lama terdiam.

Aku menepis tangannya yang hendak menghapus air mataku. “Kenapa? Harusnya aku yang tanya itu ke kamu!”

“Serena, hei, ini rumah sakit,” ucapnya berusaha menenangkan.

Aku tak peduli.

“Kenapa selalu Mbak Kinan?” Kutatap sendu matanya.

Mas Samuel membisu.

“Terus tadi di ruangan kalian ngapain? Pelukan? Ciuman? Apalagi, hah? Udah sampai mana hubungan kotor itu, Mas. Jawab aku!”

“Kecilkan suara kamu, ini rumah sakit.”

“Kamu ninggalin aku demi Mbak Kinan, Mas.” Aku memandangnya pilu.

“Kinan sakit. Mana mungkin saya diam aja. Di mana rasa kepedulian kamu, Serena?”

Aku terkekeh mendengar jawabannya. Lucu sekali. Untuk apa? Mbak Kinan bukan tanggung jawab dirinya, untuk apa sampai sepeduli itu kalau memang tak ada rasa?

Aku benci melihat ketenangan Mas Samuel.

“Peduli? Kamu bahkan gak peduli sama perasaan aku, Mas! Kamu selalu jadiin aku opsi terakhir.” Air mataku turun makin deras. “Kamu peluk Mbak Kinan bahkan sampai cium dia, kamu pikir hati aku gak sakit? Sakit, Mas!”

“Dan kamu malah tanya di mana rasa kepedulian aku? Kalau aku gak punya hati, bahkan dari dulu aku udah larang kamu buat ketemu sama Mbak Kinan!” kataku tersulut emosi.

Napasku naik turun dengan sorot mata kecewa menatap wajahnya. “Sekarang aku tanya sama kamu, apa arti pernikahan ini buat kamu, Mas?!”

Dengan gerakan cepat, Mas Samuel mendorongku ke belakang sampai tubuhku beradu dengan dinginnya dinding rumah sakit. Tanpa panjang lebar pria itu langsung menghunjam bibirku habis-habisan. Kasar dan penuh amarah. Ciuman itu tak ada manis-manisnya.

Mas Samuel tampak rakus. Sampai suara ciuman itu terdengar nyaring. Tentu saja aku mendesah. Napasku bahkan hampir habis. Meski sedari tadi aku berusaha menolak dan menghindar, tetapi pria yang berstatus suamiku itu malah menggigit tanpa henti supaya bibirku terbuka dan dirinya lebih leluasa.

“Mmphh-ah, Mas, stop!” kataku akhirnya berhasil menghentikan ciuman panas itu.

Namun, belum sampai satu menit. Mas Samuel membawaku masuk ke dalam tangga darurat. Pria itu kembali melancarkan aksinya. Kali ini bukan hanya bibirku saja yang jadi sasarannya, tetapi tangan kekarnya sudah sampai di kedua gunung kembarku. Sialan tangannya sangat nakal!

“M-mas, stop!”

Pria itu rupanya berniat menyiksaku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status