"Happy birthday Anin!" teriak semua orang. MC acara ulang tahun langsung memberi arahan supaya Anin segera meniup lilinnya dengan diiringi musik. Lilin yang semula nyala kini kian meredup kala tiupan itu menyeluruh sampai lilin berangka lima ikut padam. Semua orang serempak tepuk tangan kala lilin tersebut sudah mati semua. Aku yang semula tak ingin datang, dipaksa ikut oleh Mbak Yuni. Bukannya hanya aku dan Mbak Yuni saja, melainkan Ibu dan Mas Rifki juga ikut sebagai perwakilan pihak dari keluarga kami. FYI, acara ini diselenggarakan di rumah orang tua Mbak Kinan. Kini, sesi potong kue dimulai. Di sana sudah ada Mas Samuel, Anin, Mbak Kinan dan keluarga dekat mereka. Aku menatap dari kejauhan. Menyaksikan kebahagiaan itu sendiri. Senyumku terasa sakit. Mereka tampak seperti keluarga yang harmonis. Mereka tak menyadari keberadaanku, sebab aku memang tak ikut absen muka di hadapan Anin maupun keluarganya. Mas Samuel juga tampak tak peduli, pria itu tak mengabari atau sekadar basa-
Acara pun selesai. Kini, aku sedang menatap kolam renang dengan tatapan kosong. Ya, aku memang pengecut, selalu lari dan menghindar. Semua orang ada di ruang tamu, tetapi aku malah di sini. Berdiam diri seperti orang bodoh. Aku melihat ketenangan di bawah sana. Airnya tampak jernih. Entah sedalam apa kolam renang tersebut. Yang jelas, itu tampak menakutkan karena bayang-bayang tenggelam saat usiaku tujuh tahun terus saja menghantui. Dan sampai saat ini, keberanian itu seakan hilang, padahal berenang merupakan hal yang paling ku gemari sejak kecil. Aku mendekat ke tepi kolam. Memberanikan diri menyapa air yang ternyata dingin saat menyentuh telapak tangan. "Serena?" ucap seseorang. Aku menoleh masih dengan posisi sama, yaitu berjongkok. Mbak Kinan menghampiriku dengan kursi rodanya. Aku mengerutkan kening heran. Bukannya tadi ia bergabung di dalam? "Mbak ngapain ke sini?" tanyaku langsung berdiri. Sejujurnya, aku takut perempuan itu jatuh ke dalam sana. Apalagi posisi kami sanga
Byur! Seseorang rupanya menyelamatkan kami. Namun, samar-samar kulihat seseorang itu langsung menyelamatkan Mbak Kinan. Seakan tak melihat keberadaanku. "M-mas," ucapku terbata-bata hendak meminta tolong. Meski samar-samar, aku meyakini bahwa si penolong itu adalah Mas Samuel, suamiku sendiri. Sayangnya, sampai pandanganku mengabur hingga semuanya menggelap, tak ada satu tangan pun yang menarik aku ke atas sana. Mas Samuel justru malah menyelamatkan Mbak Kinan. Perlahan, kesadaranku mulai pulih. Aku memegang kepalaku, rasanya pusing. Namun, pegerakan itu terhenti saat menyadari di tanganku sudah terdapat selang infus. Mirisnya, di sini tak ada siapa pun. Aku seorang diri tanpa ada yang menemani. Ke mana semua orang pergi? Saat kulihat jam dinding, sekarang sudah pukul tujuh malam. Berapa lama aku tertidur di berangkar rumah sakit? Ingatanku kembali pada saat kejadian di kolam renang. Rasanya benar-benar memilukan. Tiba-tiba pintu terbuka, ternyata Mas Samuel yang datang. "Saya
—Pukul tujuh pagi. "Saya antar," ucap Mas Samuel menghentikan pergerakanku. Aku menoleh padanya. "Biar saya yang antar kamu ke rumah ibu," katanya. Aku sudah siap pulang setelah menginap satu hari di rumah sakit. Namun, aku bersyukur Mas Samuel bisa memahami keputusanku yang masih butuh waktu dalam beberapa hari ke depan. "Mas enggak ke kantor emang?" tanyaku. Dan yang ditanya pun hanya diam. Aku merasa ada yang tak beres, entah apa aku pun tak tahu. "Kenapa, Mas?"Mas Samuel tersenyum hangat. "Enggak ada, Serena. Mau langsung pulang?" "Aku bisa pulang sendiri, Mas.""Enggak usah, saya yang antar." Mas Samuel menarik tanganku keluar dari gedung serba putih itu sampai ke tempat parkir. Genggaman itu terlepas, ia membukakan pintu mobil sebelah kiri. Namun, aku tak beranjak sama sekali. Tetap diam di tempat. "Masuk?" Aku merasa ini bukan Mas Samuel yang asli. Pria itu jarang sekali melakukan hal romantis seperti sekarang ini. "Serena?" panggilnya karena aku malah membisu. Ak
—POV Samuel"Pagi, Pak," sapa para karyawan. Aku menyapa kembali hanya beberapa detik, setelahnya melanjutkan perjalanan menuju ruang meeting dengan langkah kaki lebar. Setibanya di ruang meeting, aku langsung menduduki tempat kosong yang tak lain adalah bangku CEO Amor's Group. "Maaf saya terlambat, tadi sempat ada kendala." Yang lain mengangguk seakan memaklumi keterlambatanku. Aku meminta berkas pada Reno dan melihat apa yang terjadi dengan project yang 20% sudah berjalan lancar. "Kami sudah menghubungi pihak manajemen Bu Angel, Pak David bilang, Bu Angle kecewa karena konsep awal yang sempat disetujui justru malah melenceng dari apa yang sudah disepakati di awal, Pak."Hendra terus menjelaskan sebab-akibat kenapa Angel sampai mengeluh dan berniat mengganti jasa kami dengan jasa orang lain saking kecewanya. Aku menyadari kesalahan ada di tim perencanaan dan desain, tetapi aku tak bisa menyudutkan mereka. Aku harus memastikan project ini bisa kami selesaikan dengan baik. "Kamu
—POV SerenaSiang ini aku sedang berbelanja kebutuhan dapur di minimarket terdekat. Selama tinggal di rumah ibu, aku tak ingin merepotkan siapa pun. Makan dan segalanya adalah tanggung jawabku. Ibu hanya perlu menerima aku di rumahnya. Namun, dua hari sudah berlalu ibu belum juga bertegur sapa denganku. Ia tak menanyakan apa masalah kami dan kenapa anaknya memutuskan pulang ke rumah. Ibu terus mendiamiku.Melupakan masalah yang ada, aku bergegas mendorong troli belanjaan menuju rak buah-buahan. Di sana buahnya terlihat segar. Aku mengambil beberapa buah kesukaan ibu dan menaruhnya di troli. Saat hendak mengambil apple, tiba-tiba lenganku menyenggol seseorang. Aku terkejut bukan main. Itu Bayu. Kalian masih ingat Bayu kan? Bayu yang sempat memberikan cokelat kepada Anin. "Serena?" ucap Bayu seakan tak percaya kami bisa bertemu di sini. Aku tersenyum kikuk ke arahnya. Tak langsung menjawab, hanya tersenyum saja. Sampai pada akhirnya Bayu kembali membuka suara. "Apa kabar, Ser?" ta
—POV Samuel"Saya rasa Bu Kinan belum bisa pulang dalam waktu dekat, Pak." Kedua pundakku seketika melemah. Mungkin hal itu terjadi karena Kinan sempat tenggelam dan mengakibatkan dokter Fahmi khawatir akan kondisi yang menimpa pasiennya. "Mau bagaimanapun, Bu Kinan salah satu pasien dengan penyakit depresi ringan yang tak bisa kami lepas begitu saja. Saya sebagai dokter yang menanganinya merasa belum cukup untuk memulangkan Bu Kinan. Beliau masih harus melakukan proses pemulihan, mengingat bagaimana kemarin beliau mendapat kecelakaan kecil. Saya takut psikisnya kembali terganggu, Pak Samuel," jelas dokter Fahmi. Sontak aku mengusap kasar wajahku sendiri. Bulan lalu, ada harapan Kinan bisa segera pulang dan kembali beraktivitas seperti biasa di luar rumah sakit. Namun, rupanya keadaan perempuan itu tak sepenuhnya membaik. Karena sampai detik ini, ia belum juga diberi izin pulang ke rumah. "Berapa lama Kinan harus dirawat lagi, Dok?" tanyaku. "Kemungkinan satu atau tiga bulanan la
"Kembalilah Serena, pulang ke rumah suamimu. Ibu selalu dukung apa pun keputusan kamu," ujar Ibu. Ibu mendekatiku, lalu memeluk erat tubuhku. Mendapat pelukan itu justru air mataku luruh dalam hitungan detik, tangisku pecah. Aku menangis di pelukan Ibu. Ini hal menyakitkan yang pernah aku terima. "Kamu kuat." Ibu melepaskan pelukan itu, lalu mengusap air mataku. "Saat kamu bilang dan kamu yakin, ingin menikah dengan Samuel. Ibu tak bisa mencegah itu, walau Ibu tau badai dalam rumah tangga pasti selalu ada. Ibu percaya sama kamu. Kamu pasti bisa melewati ini semua."Aku mengangguk setuju. Walau dengan napas tercekat sekalipun, sakit yang tak ada habisnya. Aku harus berdiri tegak. Bukan melawan badainya, tapi melewatinya. Ibu menepuk pundakku, lagi lagi senyum itu terpancar dari bibirnya. Ibu menyemangati diriku lewat senyuman. Aku tak bisa apa-apa, kepergian Ibu kembali meruntuhkan segalanya. "Kenzo! Gelasnya jangan dibawa lari, nanti jat–toh," ucap Mbak Yuni langsung memelankan s