Selesai cuti selama seminggu, kini aku kembali berangkat ke kantor lagi. Baru kemarin rasanya tiba di kampung, sekarang sudah ada di kota lagi, dengan segala hiruk-pikuknya, dengan segala kesibukan yang ada.
Lalu, apa selama cuti kemarin, hatiku sekarang sudah membaik?
Jawabannya tidak. Tepatnya belum membaik.
Yang harus aku hadapi ke depannya, bagaimana caranya berhadapan dengan Gaza, apalagi rencananya nanti aku akan dijadikan sekretarisnya. Bukankah itu semakin membuat hatiku memburuk?
Menghela napas berat, aku turun dari motor. Sekarang aku, dan Alena berangkat ke kantor dengan menaiki motor masing-masing, meski kami satu kost. Kata Alena, sayang kalau motor baruku nggak dipake, nanti dikira aku nggak suka.
"Dah, yuk, masuk," ajak Alena setelah dia selesai berdandan.
"Len, gue sanggup nggak, ya? Gue nggak yakin bisa kerja secara profesional," keluhku.
"Pilihan ada di tangan lo. Kalau lo ya
Dan orang itu adalah Lashira, dan juga ....Dari perawakan laki-laki yang bersama Lashira, sepertinya bukan Gaza. Lalu, kenapa mereka sedang berc**man di halaman rumah pak Abraham? Apa Lashira nggak takut ketahuan dia sedang selingkuh?Benar-benar keterlaluan. Aku relakan Gaza buat menikah dengan dia, tapi baru beberapa hari saja mereka menikah, Lashira sudah berani-beraninya selingkuh, di halaman rumah mertuanya, lagi. Sungguh perempuan yang nggak punya hati.Aku nggak rela Gaza dikhianati sama Lashira. Oleh sebab itu, sekarang aku mengeluarkan ponsel dari dalam saku blazer, kemudian memotret mereka. Ini akan menjadi bukti yang akan aku tunjukkan pada keluarga Alexander, terutama pada Gaza.Setelah mengambil beberapa gambar, kuhampiri dua makhluk menji**kkan itu. Kalau perlu, aku kasih pelajaran sekalian."Heh! Apa yang kalian lakukan di sini?!" teriakku ketika sudah di dekat Lashira, dan laki-laki yang entah siapa itu.&nbs
"Mama ... liat nggak di mana dress aku yang kemarin dipake wak--, Alula!" Lashira tiba-tiba datang, dan langsung terkejut melihatku.Aku tersenyum ke arahnya."Apaan sih, Lashira. Ada tamu kok teriak-teriak," ucap bu Maura."Maaf, nggak tau kalau ada tamu," kata Lashira. "Oh, ya, Alula, kamu ngapain ke sini?""Mau ambil berkas," sahut bu Maura, "sana coba kamu tanyain ke kak Gaza, mungkin dia tahu. Nyuruh Liora buat manggil papa dari tadi, belum datang-datang juga.""Mm ... kamu udah tahu yang sebenarnya, Alula?" tanya Lashira dengan raut wajah ketakutan. Sepertinya dia khawatir rahasianya kini terbongkar.Aku melotot ke arah Lashira. Ya, kan cuma itu saja yang sekarang bisa kulakukan padanya. Nggak mungkin dong, harus marah-marah ke Lashira di depan bu Maura. Bisa-bisa setelah ini aku dipecat dari perusahaan milik mereka.Pelototan mataku justru membuat Lashira cengengesan. Dia kemudian duduk di sebelah mamanya, lalu menatapku.
Gaza melotot ke arahku. "Alula!""Apa?" tanyaku dengan rasa tak bersalah, padahal sekarang di hadapanku ada seekor singa yang menyeramkan."Jangan mentang-mentang kamu sudah tau semuanya, lantas membuat kamu bisa menyindir saya seenaknya, ya," ucap Gaza."Cieee ... yang ngerasa kesindir," godaku sambil memasang senyuman maut.Gaza mendengkus, lalu meraup wajahnya. Dia bangkit dari duduk, berdiri sambil berkacak pinggang."Hentikan semua omong kosong kamu, Alula.""Lho, omong kosong? Bukannya yang saya bilang tadi semuanya benar ya, Pak?" Kini aku ikut berdiri sejajar dengannya.Jangan bilang kalau Gaza masih mau sandiwara sama aku, dan menganggap kemarin nggak ada apa-apa."Iya, memang saya cuma pura-pura menikah dengan Lashira. Tapi, kamu jangan kepedean. Saya melakukan itu bukan untuk membuat kamu cemburu, tapi hanya membantu agar Lashira tidak lagi dikejar oleh laki-laki buaya,
Aku kembali pada aktivitas seperti biasanya. Bekerja di Alexander Corp sebagai karyawan di divisi marketing. Meski hanya berada di divisi marketing, namun menurutku gajinya lumayan tinggi, belum lagi bonus serta tunjangan yang lainnya. Dulu sewaktu baru lulus kuliah, Alena mengajakku untuk melamar kerja di perusahaan ini, namun kutolak. Alasannya karena waktu itu aku berniat untuk melamar di perusahaan Wijaya Company, yang saat itu aku pikir perusahaan yang lebih besar daripada Alexander Corp. Ya, waktu itu Alexander Corp belum sebesar, dan seterkenal sekarang.Bekerja di dua perusahaan itu, sebenarnya sama-sama enak untukku. Di Wijaya Company, aku mendapat posisi yang lumayan bagus di sana. Gaji, dan tunjangannya pun cukup besar. Sebaliknya, di Alexander Corp, posisiku hanya sebagai karyawan divisi marketing, namun gajinya tidak kalah besar sewaktu bekerja di perusahaan sebelumnya, apalagi di sini aku masih terbilang karyawan baru. Meski sudah beberapa bulan bekerja, j
Kepalaku rasanya mau meledak memikirkan semua sikapnya Gaza kepadaku selama ini, terutama tadi siang di kantor. Okelah, kalau emang nggak suka sama aku, setidaknya jangan bikin aku malu di depan orang tuanya, kan?Merebahkan badan sama sekali tak membuatku nyaman, terlebih beban pikiran yang kini menggerogoti. Gelas plastik di atas meja rias kusambar, mungkin air dalam gelas ini bisa kembali menjernihkan pikiranku.Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, tapi Alena masih saja asyik cekikikan dengan Bagas di depan kost-an. Entah apa yang dibicarakan oleh pasangan yang sedang dimabuk asmara itu, hingga dari dalam sini kudengar mereka beberapa kali tertawa.Ngenes emang jadi jomlo, apalagi sekarang kudengar Alena menyebut kata 'sayang'. Alay banget percakapan mereka berdua. Hingga saat ada suara motor berhenti di depan kost, Alena, dan Bagas kompak diam.Tak lama kemudian, Ale
"Sebenarnya ... waktu itu saya yang membuat kamu dipecat dari perusahaan Wijaya Company, tempat kerja kamu dulu.""Apa?! Kenapa bapak ngelakuin itu?" tanyaku syok. Gimana nggak syok, coba, kalau ternyata dalang dibalik dipecatnya aku dari perusahaan lama, adalah Gaza."Dengar dulu, Alula ... dengar penjelasan saya dulu," ujar Gaza sembari memegang tanganku.Kuhempas tangan Gaza, lalu kembali melipat tangan ke dada. "Jelasin kalau emang penting!""Sebenarnya perusahaan Wijaya Company sudah diakuisisi oleh Alexander Corp sejak satu tahun sebelum kamu dipecat. Dan saya juga sering ke sana, sering melihat kamu juga, tapi kamu sama sekali tidak sadar akan kehadiran saya." Gaza menjeda kalimatnya. "Dari orang-orang saya, saya mendapat informasi bahwa pak Deni selaku bendahara diduga menggelapkan uang perusahaan dengan jumlah yang cukup besar. Dan waktu itu kamu menjadi bawahannya pak Deni
Suara adzan tiba-tiba terdengar. Perlahan kelopak mataku terbuka. Tapi, tunggu dulu, kenapa badanku rasanya berat? Seperti didekap seseorang dari belakang. Kepala ini bergeser pelan untuk melihat siapa yang memelukku. Apakah Alena? Tapi kok rasanya beda, sih, karena biasanya Alena tidak seperti ini."Aaargh!" Aku menjerit, dan refleks bangun dari tidur, setelah tahu siapa yang berada di sebelahku saat ini. Tepatnya yang tidur sambil memelukku.Dia pun terkejut, dan perlahan membuka mata. "Ada apa sih, Alula? Ini masih subuh, kenapa kamu teriak-teriak?" ucapnya dengan suara serak khas orang bangun tidur."Gaza! Kamu kok bisa sesantai ini, sih?" kataku kesal."Namanya orang bangun tidur ya, santailah.""Iih! Bukan gitu maksud aku! Kenapa bisa kita tidur seranjang gini, dan kamu biasa aja nanggepinnya?"Gaza bangun dari posisinya berbaring, lalu duduk sambil bersandar pada kepala ranjang. Matanya menatap ke arahku,
"Ma, tadi saya, dan Alula lepas kontrol."Si*l! Kenapa Gaza malah ngomong kek gitu, sih? Bisa-bisa bu Maura jadi tambah salah paham nanti.Raut wajah bu Maura kini kembali tegang. Kulihat dia mengepalkan kedua tangannya. Lalu, tanpa diduga dia menyerang Gaza dengan brutal."Gaza! Siapa yang ngajarin kamu jadi kayak gini?! Kenapa kamu tega-teganya merusak anak gadis orang? Kalau seperti ini, mama nyesel udah ngelahirin kamu!" teriak bu Maura seraya terus memukuli anaknya itu.Merasa bersalah, aku pun bangkit dari ranjang, dan menghampiri ibu, dan anak itu, berniat mau melerai.Dipukuli begitu, Gaza pun seakan pasrah menerima. Mungkin karena yang memukuli ibunya sendiri."Bu, udah, Bu. Ini nggak bener," ujarku sembari memegang lengan bu Maura, menghentikan aksinya. "Yang dikatakan Gaza tadi itu bohong. Kami nggak ngapa-ngapain, kok."Mendengar perkataanku, bu Maura pun refleks berhenti memukuli anakny