Hiraya tak tahu jika harinya yang akan dia jalani seperti biasa di dapur, mendengarkan ocehan Anna sambil tertawa dan menyusun roti yang baru saja dia beli akan terhadang oleh Helena yang mendobrak masuk ke sana.Para pelayan ikut terlonjak dengannya, beberapa mundur karena rasa takut — tak hanya Hiraya yang pernah disiksa oleh sepupunya. Gadis itu menoleh padanya, yang menatapnya dingin. Seharusnya dia berpikir bahwa Helena akan selalu menatapnya seperti itu. Namun ada yang berbeda darinya — ada satu rasa yang lebih mencekam di pandangan matanya.Dan itu menakuti Hiraya hingga ke tengkuknya.“Hel–”Orang-orang mulai berteriak ketika melihat gadis itu menyeret sepupunya pergi dari dapur. Hiraya mencoba menahan akar rambutnya, seolah itu akan membuat tangan yang menariknya berubah.Dia tak memiliki pilihan kecuali mengikuti Helena keluar dari dapur, jambakannya pedih di kepala. Dia tak tahu apa yang terjadi pagi itu padanya — mungkin dia terbangun dalam suasana hati yang buruk. Mungkin
Hiraya meringis ketika merasakan Diora mengoleskan obat ke pipinya. Orang-orang yang berada di dapur dengan tergesa memintanya untuk pulang. Tak ada satupun yang tega ketika melihatnya kembali penuh coreng moreng dan luka.Bertepatan sekali bahu dia sejalan dengan gadis itu yang tengah berjalan-jalan dengan kakaknya. Menahan membantunya membeli obat, lalu temannya itu membersihkan wajahnya yang penuh abu. Julian memperhatikan dari tempat dia duduk.Ketiganya berada di rumah kecil Hiraya, dia gadis duduk di ranjang — satu menggenggam obat sementara yang lain terlihat menyedihkan."Apa yang terjadi?” tuntut laki-laki itu.Di0ra menoleh pada kakaknya. "Jules–”“Aku rasa ini adalah giliran temanmu untuk menjawab,” tegur sang Mistwatcher, menoleh padanya. “Nah,” dia memulai. "Kan bisa menjelaskan dirimu?”Sebelum gadis itu dapat membuka mulutnya, Hiraya memutuskan untuk bicara. “Aku tak tahu apa yang harus aku jelaskan padamu,” ujarnya."Aku adalah seorang pelayan dan aku dipukuli — semudah
Hiraya menyisir rambut Helena, sementara gadis itu menatap bayangan dirinya sendiri di kaca. Dia dapat melihat bagaimana gadis itu tersenyum, memperhatikan riasan yany baru saja dia berikan padanya.“Bagaimana menurutmu jika aku mengajakmu ke promenade hari ini, Hiraya?” dia mengusulkan, walaupun dia memiliki firasat bahwa sepupunya itu takkan menerima jawaban lain kecuali bahwa dia bersedia menemaninya.Namun walaupun begitu–“Aku rasa tak pantas jika bukan walimu yang menemanimu.”“Bukankah kau sepupuku tersayang?” balasnya, racun menetes dari setiap kata yang dia ucapkan. “Atau itu bukan yang kau katakan pada Yang Mulia Pangeran?”“Aku tak pernah memperkenalkan diriku seperti itu,” dia membela diri. “Itu adalah tebakannya sendiri.”Dia mendengar Helena mendengus, namun dengungnya membuatnya memahami bahwa dia telah kehilangan kata-kata untuk menyerangnya. Dan Hiraya sendiri harus mensyukuri itu — dia tak ingin terus mengingat apa yang terjadi di antara dia dan Alaric.“Kau masih har
Hiraya memperhatikan Alaric, wajahnya begitu menyedihkan di tengah terpaan hujan. Dia dapat melihatnya berusaha mengendalikan nafas, bibir terbuka sementara mata mengerjap dan memaksa untuk terus menatapnya.Gadis itu menutupi tubuhnya, yang baru saja dia sadari bahwa dia hanya mengenakan jubah malamnya, tubuh polos tersembunyi di dalam. Kemeja sang pangeran gagal menyembunyikan tubuhnya karena terpaan air.“Aku tak bisa melakukannya,” dia mengakui, membuatnya mendongak untuk menatap matanya. “Bahkan ketika dia mengatakan bahwa dia takkan menghukummu jika aku menurutinya, aku tak bisa.”Hiraya terdiam.”Siapa?”Pangeran itu menundukkan kepala. "Nona Clearwing,” dia membalas, menangkap pandangan terkejutnya, terburu untuk menjelaskan. "Dia mengatakan bahwa dia takkan menjatuhimu hukuman jika aku pergi untuk mendampinginya.”Gadis itu menatapnya, diam.Alaric telah mempertaruhkan rasa percaya Hiraya atas pertemanan mereka untuk melindunginya. Dia menurunkan harga dirinya sebagai seorang
Hiraya menatap Alaric, laki-laki itu menurunkannya di atas ranjang, mata masih menatapnya. Bahkan dari sudut seperti ini, Hiraya harus mengakui bahwa sang pangeran masih tampak begitu tampan, dan senyum terulas ketika gadis itu menyapukan tangan pada dahi, menyingkirkan rambut dari sana.Satu tangannya berada pada lengan atasnya, jemari meremas kulit disana ketika merasakan satu kaki di antara dua pahanya, membuatnya melebarkan mereka sementara dia berada di bawahnya.Gadis itu membiarkannya menciumnya, menyapukan bibir mereka menjadi satu sementara dia menutup mata, memeluknya erat ketika dia semakin menundukkan tubuh, membuat mereka semakin menyatu.Samar samar, Hiraya berusaha mengingat jika dia telah menghentikan kobaran api yang tengah merebus air untuk sang pangeran. Dia mencoba menghentikan ciuman mereka, menahan dadanya agar dapat menatapnya."Api,” dia memperingatkan, membuatnya menoleh ke belakang. Bahkan ketika Alaric menggelengkan kepala dan berbalik padanya kembali, gadis
Alaric mengusap kening Hiraya, tersenyum kecil ketika melihatnya menghela nafas dalam tidurnya. Gadis itu menggerakkan tubuhnya, merubah posisi hingga dia mendekapnya. Dan sang pangeran menerimanya dengan senang hati, melingkarkan lengan padanya. Laki-laki itu tersenyum kembali ketika mengingat apa yang baru saja mereka lakukan. Tentu saja itu bukanlah kali pertama baginya, namun dia memahami bagaimana itu adalah kali pertama bagi Hiraya — dia menyadari betapa kesakitan dan gugupnya dia, walaupun gadis itu sama lapar dengannya.Alaric telah mencoba untuk mendekapnya, meyajinkan bahwa dia akan baik-baik saja bersamanya. Dan bahkan ketika dia mencengkram lengannya, Hiraya sama sekali tak menangis, dia hanya merintih, mata terkatup rapat dengan bibir tergigit hingga Alaric harus menciumnya agar membuka tancapan gigi pada bibir bawahnya. “Tak apa,” dia menenangkan saat itu. “Ini hanya aku. Hanya aku, Hiraya.”Saat itu, Hiraya hanya menganggukkan kepalanya, memeluknya erat dan mengataka
Hiraya menerima roti dari penjual di pasar, Diora berada di stan tak jauh darinya. Gadis itu tengah melihat-lihat pita yang terkadang dia sampirkan ke rambutnya, menatap ke arah kaca yang disediakan. Dia berjalan ke arahnya, tersenyum.“Bagaimana menurutmu?” dia bertanya, pita merah jambu tersemat. “Haruskah aku membelinya?”Dia memperhatikan temannya, matanya berbinar penuh harap. Merah jambu akan selalu menjadi warnanya, kontras dengan emas yang menjadi arti dari namanya. Jadi Hiraya mengangggukkan kepala. “Kau harus membelinya jika kau meyukainya.”“Benar ‘kan?” tawanya. “Aku memiliki gaun yang cocok untuk ini.”Hiraya memperhatikannya, mengangguk. Tentu saja, musim ini belum selesai, dan Diora tengah berusaha untuk msmikat hati putra sang duke yang mendekatinya. Namun dengan gerak-gerik Dimitri Fernthier, seharusnya mereka semua sadar bahwa laki-laki itu telah jatuh telak padanya.“Menurutmu,” mulainya lagi. “Apa kakakku akan luluh dan membiarkan Tuan Fernthier meminangku?”Gadis
Alaric berdiri dari kursinya, matanya terbuka lebar. Dia menatap Dimitri yang duduk di depannya. Keduanya tengah berada di serambi ruangannya, meja penuh berisi kudapan dan teh di depan mereka. Cahaya pagi menyinari dari gorden yang dibuka.“Selir?” dia mengulangi. "Aku meminta pada Ibu untuk memberi izin agar dia menjadi putri mahkota.”Sepupunya itu menghela nafas, menganggukkan kepala. Dan jika Alaric tidak mengenalnya, dia takkan pernah menangkap rasa sabar yang dia paksakan untuk ada di dalam dirinya.Namun sang pangeran masih menatapnya, bersikeras. “Aku sudah menjelaskannya padamu,” ucapnya. “Dia adalah–”“Putri seorang viscount,” potong Dimitri, meraih cangkir tehnya. Dia kembali menganggukkan kepala, seolah dia sudah lebih bijak dibandingkan sang pangeran yang berusaha untuk tetap tenang. “Tapi tak ada yang bisa menjamin itu.”Dia memicingkan mata. “Apa maksudmu?”“Tak ada yang bisa membuktikannya,” dia menjelaskan. “Jika yang dia katakan tentang keluarga pamannya adalah bena