Di tempat lain, Vivian sudah memutuskan untuk tetap di kota itu untuk mencari sang pria misterius.
Hanya saja, Vivian malah diusir dan dimaki oleh setiap pemilik penginapan kecil yang dihampirinya akibat berita yang tersebar.Bahkan, dirinya dihina oleh semua orang yang melihatnya. Kini, langit sudah gelap. Vivian pun akhirnya hanya bisa duduk di terminal–tanpa tujuan. Haruskah dia menyerah sekarang?"Tanpa pria asing itu pun, aku pasti akan menjadi korban Keluarga Salveston. Cepat atau lambat,” lirihnya, menghibur diri, “Tapi, bagaimana aku bisa pulang dalam kondisi seperti ini?"Cit!Sebuah taksi tiba-tiba berhenti di depan Vivian yang tengah menunduk."Nona, sudah begitu malam. Kenapa masih duduk sendirian di sana?" tanya supir taksi itu yang seorang wanita."Bibi, Aku sedang menunggu bis," jawab Vivian, sopan."Sekarang sudah pukul 23.00. Mana ada bis yang akan singgah? Lebih baik, kau naik taksi saja!""Tidak apa, Bi. Aku akan menunggu sampai pagi dan berangkat ke desa.""Tapi, di sini sangat sepi. Sungguh bahaya kalau kau sendirian."Ucapan Bibi Taksi itu membuat Vivian memandang sekitaran lokasi yang memang sangat gelap dan tidak terlihat apa pun. Menyadari itu, Vivian pun bangkit. “Baiklah.”Gadis desa itu menyeret kopernya ke dalam bagasi taksi yang sesaat kemudian pergi meninggalkan terminal."Nona, kamu ingin ke mana?" Bibi Taksi itu memulai percakapan kembali.Meski ragu, Vivian pun akhirnya menjawab, "Bi, tolong carikan aku penginapan yang paling murah, Aku akan tinggal untuk semalam sebelum kembali ke desa.""Karena hanya untuk semalam, bagaimana jika tinggal di rumahku saja!""Ha...tinggal di rumah, Bibi?""Iya! Bibi hanya tinggal seorang diri karena anak-anak sedang sekolah di luar negeri. Nona hanya sendirian dan bahaya kalau tinggal di penginapan. Di sana, banyak preman yang bawa pasangannya keluar masuk," jawab wanita itu yang masih mengemudi."Bibi, terima kasih!" ucap Vivian, penuh rasa syukur."Tidak apa-apa! Kelihatannya, Nona menjalani hari-hari yang sulit." Deg!Vivian terkejut. Dia takut Bibi Taksi akan mengenalnya dan membatalkan niatnya tadi."Apakah Bibi mengenalku?""Tentu saja. Siapa yang tidak mengenalmu setelah berita itu? Tapi, tenang saja. Aku tidak terlalu mudah percaya. Terlebih, pada keluarga Salveston," jawabnya, lembut."Mereka terkenal sombong. Kian Salveston juga adalah seorang playboy sejati! Bibi pernah menjemput penumpang di sebuah Night Club dan Kian sedang bercumbu bersama dua wanita di sana!” Mata Vivian terbelalak. "Aku mengenalnya selama tiga tahun dan tidak tahu kalau dia adalah pria tipe yang suka main wanita.""Nona, pria itu tak lantas dicintai! Kamu justru harus bahagia dan beruntung. Karena kamu bebas dari pria pembohong itu," hibur sang Bibi Taksi membuat Vivian terkejut.Di satu sisi, dia lega karena lolos dari pria brengsek macam Kian. Tapi, siapakah yang akan percaya padanya?Vivian bahkan sanksi jika keluarganya akan percaya padanya….Malam itu, Vivian terus saja berpikir bagaimana cara dia menghadapi hari ke depan.Tanpa terasa, hari sudah pagi.Begitu keluar kamar, Bibi Taksi tampak menyediakan sarapan untuk Vivian."Nona, Apakah kamu ingin pulang?" tanyanya, ramah.Vivian mengangguk. “Iya, Aku harus pulang ke desa untuk menjelaskan kepada orang tuaku," jawabnya. "Apakah kamu akan kembali ke sini?""Tidak, Sekarang bukan waktunya aku di sini. Semua orang masih ingat dengan wajahku. Ke mana pun aku pergi mereka tetap akan merendahkan aku. Akan sangat sulit untukku bekerja membiayai diri sendiri," jawab Vivian."Baiklah, untuk saat ini lebih baik kamu pulang dulu. Setelah beberapa bulan, mereka akan melupakan kejadian ini," ujar wanita itu bijak, “Sekarang, habiskan sarapanmu agar kita bisa ke terminal.” “Tapi, ingat kamu harus mengenakan masker agar tidak ada yang mengenalmu," nasehatnya lagi."Iya, Bi," jawab Vivian terharu, “sekali lagi, terima kasih.”Hanya saja, rasa bahagia Vivian tak berlangsung lama.Begitu tiba di rumah, Vivian segera disambut tamparan sang ibu.Plak!"Untuk apa kau pulang lagi? Apakah masih tidak cukup mempermalukan kami?" bentaknya keras."Ma, Pa, tolong dengarkan penjelasanku! Kian yang mengkhianatiku, dia berselingkuh dengan mantannya di malam pernikahan kami," jelas Vivian menahan rasa pedih.Bukannya ibu, ayah Vivian langsung menarik putrinya ke dalam rumah.Bugh!Pria yang emosi itu langsung memukul Vivian dengan keras, hingga terkapar.Tampak jelas, darah di sudut bibir Vivian.."Seharusnya, kau menjadi istri yang baik. Tapi, apa yang terjadi? Kau merusak persahabatanku dan Kane! Apa kau puas sekarang?" bentak ayahnya dengan gusar."Apakah hubungan kalian lebih penting dari aku yang adalah putrimu, Pa? Kenapa Papa tidak simpati dengan kondisiku?" tangis Vivian pedih."Jangan menuduh Kian yang bukan-bukan! Dia adalah anak yang baik, tampan, dan kaya. Harus ke mana lagi kau menemukan pria sempurna seperti dia?" timpal ibunnya, ketus.“Susah payah aku melahirkan dan membesarkanmu, Vivian. Sekarang, kami sudah tua dan berharap bisa hidup mewah. Akan tetapi, kau malah pulang dengan membawa berita memalukan ini," bentaknya lagi, "seharusnya, kau tidak pernah kubesarkan. Hanya membuang tenaga dan waktu saja.”Vivian bangkit dan berdiri di hadapan kedua orang tuanya dengan perasaannya yang sakit dan kecewa."Pa, Ma, dari sejak kecil aku tidak berbohong pada kalian. Kenapa kalian tidak percaya dengan kataku?" tanya Vivian."Karena semua yang kamu katakan tidak benar," jawab ayahnya.Deg!Vivian terluka mendenga tuduhan itu semua.Dia sungguh berharap mendapat perlindungan dari kedua orang tuanya. Tapi, sebesar itu juga dia dikecewakan.Tangannya mengepal. "Apakah Papa mengira keluarga Salveston sangat baik pada keluarga kita?" tanya Vivian, pada akhirnya."Apa maksudmu?" tanya ayahnya dengan membesarkan matanya."Kane yang kamu anggap sebagai sahabat sama sekali tidak menganggap keluarga kita. Kalau tidak kenapa kalian tidak tinggal di hotelnya dua malam yang lalu?""I–tu karena kami tidak ingin meninggalkan rumah terlalu lama" ujar ibunya penuh alasan.Vivian menahan tawa. "Di mata mereka, orang desa seperti kita, bukan siapa-siapa, Aku tahu Kane Salveston menghubungimu di malam sebelum kami menikah, kan? Itu karena bagi mereka kita orang rendahan. Mereka–”"Jangan bicara sembarangan!” potong pria berambut putih itu cepat. Tanpa basa-basi, ditariknya Vivian dengan kasar ke salah satu kamar.Setelahnya, dia mendorong putrinya ke dalam kamar yang dikunci itu. “Sekarang, renungkan kesalahanmu!" Pria tua itu mengabaikan gedoran dan tangisan Vivian yang minta dikeluarkan.Diusapnya peluh di wajah.Rencananya dan sang istri untuk hidup mewah, gagal total karena kebodohan sang putri!"Ruby, Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa, Putri kita sangat memalukan. Kita akan menjadi bahan lelucon para tetangga," ujar pria itu lelah pada sang istri."Ryan, aku ada satu cara. Kita nikahkan saja Vivian dengan bos besar pabrik roti!" "Apa? Dia ‘kan sudah 60 tahun dan memiliki 6 istri," syok ayah Vivian, “bukankah–”"Tapi, dia sudah tidak perawan! Vivian tidak akan laku bagi pria muda dan kaya. Justru Bos roti yang sudah tua itu akan menerima Vivian. Setidaknya, dia masih muda."Senyum sinis Ruby begitu mengerikan.Jika orang tak tahu, mereka jelas akan meragukannya sebagai ibu kandung Vivian."Aku sependapat denganmu, Anggap saja dia membalas jasa kita yang telah besarkan dia," jawab Ryan."Kecilkan suaramu! Kalau sampai dia tahu kita bukan orang tua kandungnya. Dia pasti tidak akan patuh pada kita lagi." Ruby menegaskan suaminya."Benar katamu!" ucap Ryan.Vivian duduk di pojok kamar dengan lutut ditekuk dan tangan memeluk kedua lututnya. Kepalanya bersandar pada dinding yang dingin, matanya terpejam, wajahnya menampakkan kepedihan yang mendalam. Betapa hancurnya hati gadis itu saat ini. Kekecewaan yang dirasakannya tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dalam hatinya, Vivian merasa terpukul oleh perlakuan kedua orang tuanya yang sama sekali tidak mempercayainya. Seolah-olah mereka menganggap anak mereka ini sebagai makhluk asing yang tidak berharga. Kepalanya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa dijawab. Tangisannya terdengar lembut, memecah keheningan kamar. Hati Vivian teriris-iris oleh kebenaran pahit yang harus diterimanya. "Bahkan orang tuaku sendiri me
"Cepat lepaskan aku, Jangan sakiti aku!" teriak Liza yang mengerang kesakitan dengan tubuhnya yang diseret oleh pria itu hingga ke mobil.Mereka mengangkat tubuhnya dan memasukkan ke dalam mobil dengan paksa."Aaahh!" teriak Liza yang kesakitan. Ia berusaha melawan dan kemudian ditekan oleh salah satu pria asing itu."Lepaskan aku, Siapa kalian? Kalau kalian menyakitiku...Keluargaku akan melapor kalian ke polisi," bentak Liza.papan...Tamparan keras yang dilakukan oleh pria itu."Aaahh!""Melaporkan kami? Sedangkan dirimu saja ditahan oleh kami. Kau sudah diserahkan oleh mantanmu kepada kami," ujar pria itu yang merobek pakaian wanita itu."Hentikan, jangan sentuh aku!" teriak Liza yang berusaha melawan dan kemudian ia ditampar oleh pria itu.papan...Liza pasang surut sadarkan diri, setelah menerima sinyal tersebut."Dia sudah pingsan, Kau sungguh kejam!" kata teman mereka yang sedang mengemudi."Biarkan saja! bukannya kita diperintah tuan Alexa untuk tidak disungkan pada wanita ini
Liza yang dipaksa melayani tujuh pria itu hanya bisa menangis pasrah. Wajah wanita itu membengkak sebagai akibat dari pemukulan mereka. Tubuhnya tanpa balutan dan terletak di atas tanah."Kenapa...Kalian melakukan ini padaku?" tanya Liza yang terisak."Kian Salveston sudah bosan denganmu, Oleh karena itu dia ingin menggunakan cara ini untuk menyingkirkanmu," ketus pria itu yang sedang mengenakan celananya."Tidak mungkin...," teriak Liza yang histeris. Ia menangis tanpa henti."Liza Ocyman, Kian Salveston memiliki banyak wanita, Kamu hanya salah satu saja. Setelah dia merasakan tubuhmu...dia akan bosan dan mengincar yang lain.""Aku tidak percaya! Aku tidak percaya!" teriak Liza yang bangkit dan menahan sakit."Saat dirimu dalam bahaya, dia sama sekali tidak peduli, bukan? Pria kaya seperti dia mana mungkin peduli dengan mantan yang tidak memiliki kelebihan apa pun!""Kalian adalah ba.jin.gan...," teriak Liza."Lihatlah dirimu sekarang, hanya seorang wanita yang tertidur." ucap pria i
"Kami sedang mengajar putri sendiri. Apa perlu minta izin darimu?" tanya Ryan. "Tidak perlu izin dariku, Hanya saja bekas merah di wajah putrimu bisa dijadikan bukti sebagai tindakan kekerasan di rumah tangga. Kalian sebagai orang tua menampar dan memaksanya menikah. Ini adalah satu tindakan yang salah. Percaya atau tidak aku akan membuat kalian dihukum dan diadili di konferensi," kecam pria itu yang kemudian mengeluarkan kartu pengenalan. "Kamu siapa, berani sekali ikut campur urusan keluarga kami," bentak Ryan. Sambil menunjukkan kartu nama, ia berkata, "Baca dengan teliti, ini namaku!" Mata Ryan langsung memelotot saat membaca nama pria itu, "Jaksa Micheal Loas?" “Tuan, Anda seorang Jaksa?” tanya Vivian. "Benar! Aku adalah warga baru di sini, Apakah Nona ingin menuntut apa yang mereka lakukan padamu?" "Tidak!" jawab Vivian. “Mereka memaksamu menikah, Apakah kamu akan menuruti keinginan mereka?” tanya Jaksa itu. "Tentu saja aku menolak menikah, aku hanya ingin pergi dari si
"Terima kasih karena telah membantuku, kalau tadi Tuan tidak datang. Mungkin saja aku tidak bisa kabur," ucap Vivian sambil menunduk. Ia sedih setiap mengingat sikap orang tuanya. "Jangan sungkan! Semua itu sudah berlalu. Kamu akan mulai hidup baru setelah tinggal di kota," jawab Jaksa dengan senyum. "Dengan tersenyum, ia mengucap," Aku tidak akan mengecewakanmu." *** Di sisi lain rekaman Liza yang digilir oleh beberapa pria telah tersebar. Kejadian tersebut menjadi bahan pembicaraan bagi masyarakat. Keluarga Ocyman adalah salah satu pengusaha yang mempengaruhi bagian Amerika. Kejadian yang menimpa Putri tunggal keluarga kaya raya itu telah mencemarkan nama baik keluarga besarnya. Daniel Ocyman adalah sang ayah yang dikenal tegas dan kejam. Pria paruh baya itu sedang duduk di ruangan kantor melihat rekaman di televisi berukuran jumbo yang di depan matanya. "Tuan, Nona dia...." seorang pria muda yang adalah asistennya baru masuk ke ruangan itu. Keti
Vivian merasa sangat gugup saat berada di dapur besar kediaman itu, diapit oleh peserta lain yang juga bersemangat untuk menunjukkan kemampuan mereka. Ia menarik napas dalam-dalam dan mencoba untuk berkonsentrasi pada tugas yang diberikan. Kepala koki, seorang pria paruh baya dengan wajah tegas, berbicara dengan suara keras yang menggema di seluruh ruangan."Kalian semua harus ingat, setiap makanan dan minuman harus perhatikan dengan teliti. Bagi yang lulus harus memahami apa kesukaan majikan kalian dan apa yang tidak disukai oleh beliau," kata kepala koki tersebut sambil mengawasi para peserta yang sibuk menciptakan hidangan terbaik mereka.Vivian gugup dan mengigit bibirnya karena dirinya yang sama sekali tidak begitu mahir dalam menyediakan hidangan.Di sekelilingnya, para peserta lain juga tampak serius dan fokus. Beberapa di antara mereka saling berbicara, berbagi resep atau berdebat tentang cara terbaik untuk mengolah bahan tertentu. Namun, Vivian memilih untuk tetap diam dan be
Jenderal yang tinggi besar itu berdiri tegap, alisnya menyatu tanda kesal mendengar jawaban Vivian. "Lantas, untuk apa kamu minta maaf kalau tidak mengaku salah?" tanyanya dengan suara yang berat dan tegas. Gadis itu tak gentar, tatapannya tetap tajam menatap mata sang Jenderal. "Gadis ini cukup berani melawan, unik sekali," gumam Jenderal dalam hati, sedikit terkesan dengan keberanian Vivian. "Ini adalah perintah dari kepala koki, saya hanya menurut saja," jawab Vivian dengan suara yang tenang namun penuh keyakinan. Ia tak ingin disalahkan atas sesuatu yang bukan kesalahannya. Di sekeliling mereka, asisten rumah tangga, kepala koki, serta semua pelayan di sana hanya bisa diam dan cemas. Mereka menahan nafas, menunggu reaksi sang Jenderal yang terkenal keras kepala dan galak. Siapa pun yang berani melawan sang Jenderal tentu saja harus menanggung akibatnya. "Luar biasa sekali, Sepertinya kamu datang bukan untuk menjadi pekerja bagian dapur. Akan tetapi, datang untuk mengantar
Sang Jenderal kini duduk tegak di kursinya sambil menatap tajam ke arah Vivian yang berdiri tegak di hadapannya. Di atas meja makan, terlihat sepiring pancake bermotif Hello Kitty yang baru saja diletakkan oleh Vivian di depan sang jenderal. "Tuan, ke-kenapa tidak makan? Walau ini adalah pancake, tapi bahannya berbeda dari yang saya buat siang tadi," ujar Vivian dengan nada ragu, menyadari bahwa pancake yang ia buat mungkin tidak sesuai dengan selera majikannya. Jenderal mengernyitkan dahinya, mencoba menahan amarah yang mulai membara di dalam dadanya. "Apakah selain motif bodoh ini, masih ada motif lain?" tanyanya dengan suara yang terdengar dingin dan tajam. Vivian menelan ludah, merasa ketakutan dengan tatapan jenderal yang menusuk. "Masih, Tuan. Motif Pokemon, Pikachu, Dragon Ball, dan Donald Duck," jawabnya dengan terus terang, berusaha menjelaskan bahwa ia memiliki banyak pilihan motif yang mungkin lebih disukai oleh jenderal. "Ternyata kamu bisa semuanya, Kalau begitu kerjak