"Kami sedang mengajar putri sendiri. Apa perlu minta izin darimu?" tanya Ryan.
"Tidak perlu izin dariku, Hanya saja bekas merah di wajah putrimu bisa dijadikan bukti sebagai tindakan kekerasan di rumah tangga. Kalian sebagai orang tua menampar dan memaksanya menikah. Ini adalah satu tindakan yang salah. Percaya atau tidak aku akan membuat kalian dihukum dan diadili di konferensi," kecam pria itu yang kemudian mengeluarkan kartu pengenalan.
"Kamu siapa, berani sekali ikut campur urusan keluarga kami," bentak Ryan.
Sambil menunjukkan kartu nama, ia berkata, "Baca dengan teliti, ini namaku!"
Mata Ryan langsung memelotot saat membaca nama pria itu, "Jaksa Micheal Loas?"
“Tuan, Anda seorang Jaksa?” tanya Vivian.
"Benar! Aku adalah warga baru di sini, Apakah Nona ingin menuntut apa yang mereka lakukan padamu?"
"Tidak!" jawab Vivian.
“Mereka memaksamu menikah, Apakah kamu akan menuruti keinginan mereka?” tanya Jaksa itu.
"Tentu saja aku menolak menikah, aku hanya ingin pergi dari sini." Vivian menetapkan hatinya untuk pergi jauh dari mereka.
"Kau tidak boleh ke mana pun, Kau harus menikah dengan pria itu," ketus Ryan.
“Aku lebih rela mati setelah menikah,” jawab Vivian dengan tegas.
"Berani sekali kau menantang kami, Apa kau sudah menjadi anak yang lupa budi orang tua," ketus Ruby.
"Membesarkan seorang anak adalah tanggung jawab setiap orang tua, undang-undang tidak menetapkan bahwa setiap anak harus membayar budi orang tuanya dengan cara dipaksa menikah. Apa yang kalian lakukan aku bisa menuntut karena aku adalah saksi di sini," kecam Jaksa itu.
Ryan sedikit gemetar dengan ancaman dari Jaksa tersebut.
“Pa, Ma, Aku tidak ingin menikah, Aku ingin pergi dari sini. kalian juga tidak menyambutku dan membenciku atas semua yang terjadi,” ujar Vivian.
"Kalau kamu berani pergi, jangan pernah kembali!" kecam Ruby yang mencubit lengan putri.
"Aaahh!" mungkin Vivian yang kesakitan dan menjauh dari ibunya.
"Anak tidak tahu diri, Berani sekali kau meminta orang luar melindungimu. Aku akan menuntut pria ini," ketus Ruby dengan nada kesal.
"Tuntut saja, dan aku akan melayani Anda. Wajah putri anda terdapat bekas auditorium. Dan putri Anda juga harus menikah dengan paksa. Kasus ini menjadi kasus berlapis. Apakah kalian berdua bersedia menanggungnya?" tanya Michael dengan mengancam.
Vivian kemudian menuju ke kamarnya dengan langkah yang cepat.
"Ryan, Ruby...," teriak seorang wanita yang sedang tergesa-gesa.
"Ada apa denganmu?" tanya Ruby pada wanita itu yang tetangganya.
"Saya mendengar kabar, pria pemilik pabrik roti telah bangkrut."
"Apa?" tanya Ruby dan suaminya dengan serentak.
"Banyak karyawannya yang demo di luar pabriknya. Upah mereka tidak bisa dibayar sehingga menimbulkan kemarahan mereka. Tidak ada yang tahu ke mana Carlos menghilang."
"Kenapa tiba-tiba saja? Bukankah malam masih baik-baik saja?" tanya Ruby.
"Berita menyebarkan bahwa dia berhutang keliling pinggang sehingga tidak mampu membayarnya. Semua asetnya dari tujuh kediaman dan semua mobil ditarik oleh pihak bank. Enam istrinya juga sudah kabur. Pria itu menghilang begitu saja."
"Kenapa bisa begini? Bukankah sangat kebetulan," ujar Ryan dengan heran.
"Kalian hanya tidak tahu, orang yang melakukannya adalah seorang yang tidak biasa. Dia memiliki kekuasaan untuk membuat seseorang kehilangan semuanya," batin Micheal.
"Apakah karena kesi4lan dari Vivian?" tanya Ruby.
"Apa?" tanya Ryan
"Vivian sudah ternoda dan tidak bersih lagi, Dia akan dinikahi oleh Carlos. Oleh karena itu karena kesi4lan yang dibawa oleh Vivian telah menyebabkan Carlos bangkrut dan menghilang," jawab Ruby.
"Pikiran sempit! Kalian adalah orang dewasa dan bisa berpikiran seperti itu," ujar Micheal.
"Aku sudah mengerti, Putri kalian adalah seorang pembawa si4l, kalau dia tinggal di desa ini...Lama-lama kami semua juga akan kehilangan semuanya," kata wanita itu.
Pembicaraan mereka membuat Vivian semakin kesal.
"Apa yang kalian katakan, ha? Carlos runtuh apa runtuh denganku? Jangan asal menuduh."
"Kalau bukan karena kamu, pria itu tidak akan bangkrut. Ini adalah tanda bahwa bencana akan datang selagi kamu masih tinggal di sini," jawab wanita itu dengan ketus.
"Apa yang kamu bicarakan sama sekali tidak masuk akal, Kalau aku pembawa si4l kenapa kedua orang tuaku masih hidup dan masih kuat memarahiku," jawab Vivian.
“Apa kau sedang menyumpah orang tuamu, ha?” bentak Ruby.
"Aku akan pergi dari sini dan tidak akan kembali lagi, Aku tidak peduli ke depannya kalau ada bencana gempa atau banjir. itu bukan salahku," ketus Vivian yang kemudian beranjak dari sana sambil menarik kopernya.
"Pergi dan jangan pernah kembali...," teriak Ryan.
"Aku tidak memiliki anak sepertimu," teriak Ruby dengan nada kesal.
Vivian mengeluarkan air mata saat melangkah pergi. Ia pergi tanpa tujuan dan harus berpisah dengan orang tuanya.
“Aku tidak menyangka, hanya karena ulah Kian dan mantannya, aku dibenci oleh kalian,” gumam Vivian.
"Apakah kalian tahu, siapa pria yang bermalam dengan putrimu?" tanya Michael.
"Siapa dia? Dia selingkuhan Vivian dan harus ditangkap," tanya Ryan.
"Yang harus dihancurkan adalah Kian Salveston yang kalian banggakan itu, sedangkan pria yang bersama putrimu di malam itu. Adalah seorang yang lebih kuat dan berkuasa dari Kian Salveston. Tuan muda Salveston bahkan bukan lawannya sama sekali. Kedatanganku kali adalah perintah darinya. Percaya atau tidak, calon cucumu yang sudah tua itu bangkrut ada hubungan dengannya. Ketika dia bisa menjatuhkan seorang pebisnis kaya raya...dia juga bisa menjatuhkan kalian berdua yang suka menyiksa putri kalian" ujar Micheal.
Setiap ucapan Micheal mengejutkan Ryan dan Ruby sekaligus membuat mereka ketakutan.
Beberapa saat kemudian.
Vivian berjalan tanpa tujuan dengan putus asa.
Tidak lama kemudian sebuah mobil berwarna putih megikuti Vivian dari belakang.
Gadis itu menghentikan langkahnya setelah menyadari mobil tersebut sedang mengikuti.
“Jaksa Loas?”
“Masuklah, aku akan mengantarmu!” ujar Micheal yang menurunkan jendela kacanya.
"Aku tidak ada tujuan juga, Tidak tahu harus ke mana," jawab Vivian.
"Kalau kamu percaya padaku, Aku bisa menikmati mencari pekerjaan."
"Mencari pekerjaan? Aku tidak berpendidikan tinggi, Apa yang bisa aku kerjakan," jawab Vivian.
"Masuklah, Kita akan bicara di dalam perjalanan!"
***
“Setelah tiba ke kota, Aku akan memberikan pekerjaan yang tepat untukmi,” ucap Jaksa itu yang sedang menyetir.
“Apa mereka akan menerima pekerja dari desa?” tanya Vivian yang duduk di situ.
"Tenang saja! Mereka butuh pengalaman. Bukan asal-usulmu," jawab Jaksa itu yang menahan rasa senangnya.
Sudah saatnya, dia mengirim Vivian ke sisi Jenderal yang tergila-gila padanya sejak tiga tahun lalu.
"Kuharap dengan begini, dia tak segila itu lagi," batin Jaksa.
"Terima kasih karena telah membantuku, kalau tadi Tuan tidak datang. Mungkin saja aku tidak bisa kabur," ucap Vivian sambil menunduk. Ia sedih setiap mengingat sikap orang tuanya. "Jangan sungkan! Semua itu sudah berlalu. Kamu akan mulai hidup baru setelah tinggal di kota," jawab Jaksa dengan senyum. "Dengan tersenyum, ia mengucap," Aku tidak akan mengecewakanmu." *** Di sisi lain rekaman Liza yang digilir oleh beberapa pria telah tersebar. Kejadian tersebut menjadi bahan pembicaraan bagi masyarakat. Keluarga Ocyman adalah salah satu pengusaha yang mempengaruhi bagian Amerika. Kejadian yang menimpa Putri tunggal keluarga kaya raya itu telah mencemarkan nama baik keluarga besarnya. Daniel Ocyman adalah sang ayah yang dikenal tegas dan kejam. Pria paruh baya itu sedang duduk di ruangan kantor melihat rekaman di televisi berukuran jumbo yang di depan matanya. "Tuan, Nona dia...." seorang pria muda yang adalah asistennya baru masuk ke ruangan itu. Keti
Vivian merasa sangat gugup saat berada di dapur besar kediaman itu, diapit oleh peserta lain yang juga bersemangat untuk menunjukkan kemampuan mereka. Ia menarik napas dalam-dalam dan mencoba untuk berkonsentrasi pada tugas yang diberikan. Kepala koki, seorang pria paruh baya dengan wajah tegas, berbicara dengan suara keras yang menggema di seluruh ruangan."Kalian semua harus ingat, setiap makanan dan minuman harus perhatikan dengan teliti. Bagi yang lulus harus memahami apa kesukaan majikan kalian dan apa yang tidak disukai oleh beliau," kata kepala koki tersebut sambil mengawasi para peserta yang sibuk menciptakan hidangan terbaik mereka.Vivian gugup dan mengigit bibirnya karena dirinya yang sama sekali tidak begitu mahir dalam menyediakan hidangan.Di sekelilingnya, para peserta lain juga tampak serius dan fokus. Beberapa di antara mereka saling berbicara, berbagi resep atau berdebat tentang cara terbaik untuk mengolah bahan tertentu. Namun, Vivian memilih untuk tetap diam dan be
Jenderal yang tinggi besar itu berdiri tegap, alisnya menyatu tanda kesal mendengar jawaban Vivian. "Lantas, untuk apa kamu minta maaf kalau tidak mengaku salah?" tanyanya dengan suara yang berat dan tegas. Gadis itu tak gentar, tatapannya tetap tajam menatap mata sang Jenderal. "Gadis ini cukup berani melawan, unik sekali," gumam Jenderal dalam hati, sedikit terkesan dengan keberanian Vivian. "Ini adalah perintah dari kepala koki, saya hanya menurut saja," jawab Vivian dengan suara yang tenang namun penuh keyakinan. Ia tak ingin disalahkan atas sesuatu yang bukan kesalahannya. Di sekeliling mereka, asisten rumah tangga, kepala koki, serta semua pelayan di sana hanya bisa diam dan cemas. Mereka menahan nafas, menunggu reaksi sang Jenderal yang terkenal keras kepala dan galak. Siapa pun yang berani melawan sang Jenderal tentu saja harus menanggung akibatnya. "Luar biasa sekali, Sepertinya kamu datang bukan untuk menjadi pekerja bagian dapur. Akan tetapi, datang untuk mengantar
Sang Jenderal kini duduk tegak di kursinya sambil menatap tajam ke arah Vivian yang berdiri tegak di hadapannya. Di atas meja makan, terlihat sepiring pancake bermotif Hello Kitty yang baru saja diletakkan oleh Vivian di depan sang jenderal. "Tuan, ke-kenapa tidak makan? Walau ini adalah pancake, tapi bahannya berbeda dari yang saya buat siang tadi," ujar Vivian dengan nada ragu, menyadari bahwa pancake yang ia buat mungkin tidak sesuai dengan selera majikannya. Jenderal mengernyitkan dahinya, mencoba menahan amarah yang mulai membara di dalam dadanya. "Apakah selain motif bodoh ini, masih ada motif lain?" tanyanya dengan suara yang terdengar dingin dan tajam. Vivian menelan ludah, merasa ketakutan dengan tatapan jenderal yang menusuk. "Masih, Tuan. Motif Pokemon, Pikachu, Dragon Ball, dan Donald Duck," jawabnya dengan terus terang, berusaha menjelaskan bahwa ia memiliki banyak pilihan motif yang mungkin lebih disukai oleh jenderal. "Ternyata kamu bisa semuanya, Kalau begitu kerjak
Saat itu, Celine yang menyamar sebagai supir taksi menjemput Vivian di terminal dengan hati berdebar. Dia tahu betul resiko yang diambilnya, namun demi perusahaan ini, dia rela melakukannya. "Melihat gadis malang itu aku malah merindukan putriku," lanjut Celine dengan suara bergetar, menahan emosi. Matanya terlihat berkaca-kaca, namun dia berusaha tegar dan menahan air mata. Cindy hanya bisa mengangguk, Merasakan kesedihan yang dialami Direktur Celine. Dia tahu betul betapa berat beban yang diemban Celine, dan dia bersyukur memiliki seorang pemimpin yang begitu berdedikasi. "Semoga semuanya berakhir dengan baik, Direktur," ujar Cindy dengan penuh harap.Mansion Salveston."Ha ha ha ha...," suara tertawa Kane dan istrinya. Mereka sangat bahagia dengan pernikahan yang akan dilangsungkan tidak lama lagi."Kian, Mony, Kalian harus berbahagia. Pernikahan ini adalah hal yang paling membahagiakanku. Kian, kamu sangat pintar memilih pasangan. Memang jauh lebih cantik dan hebat Mony dari pa
Liza yang telah membaca koran tentang pernikahan Kian dan Mony, Raut wajahnya langsung berubah dan merobek koran tersebut."Pria sia,lan, Mencampakan aku dan menikahi seorang artis. Jangan pernah bermimpi pernikahan kalian bisa lancar," ketus Liza."Kian Salveston, Aku telah dibohongi olehmu. Sehingga begitu bodoh aku menyerahkan tubuhku. Aku mengagalkan pernikahanmu dengan Vivian. dan sekarang aku dicampakkan setelah aku menghadapi masalah," gumam Liza.Kediaman Jenderal."Jenderal, Pak Menteri berharap Anda datang malam ini," ucap Stone, pria yang merupakan asisten Perdana Menteri, dengan hormat saat berdiri di depan pintu kediaman Jenderal Charlie. Jenderal Charlie yang sedang menyeduh teh panas di cangkir mini, terkejut mendengar kabar tersebut. "Ada acara penting apa, sehingga aku harus hadir?" tanyanya dengan nada heran. Stone menelan ludah sebelum menjawab, "Beliau ingin membahas tentang pertunangan Anda dan nona Anita Fernandez, Putri Duta Besar." Mendengar nama Anita Ferna
"Tapi, ini adalah urusan tuan, Bukan kita," kata Koki."Aku bisa membuatnya diusir, Tidak perlu menunggu sebulan," jawab Elena dengan yakin."Dengan cara membiarkan dia masuk kamar tuan, Apakah kamu yakin tuan tidak akan menyalahkanmu?""Tuan tidak akan menyalahkanku, Selama ini aku yang mengawasi semua pekerja di sini. Tuan tidak akan curiga denganku," jawab Elena dengan yakin.Vivian menuju ke kamar Charlie dan mengetuk pintunya.Tuk...tuk..."Tuan, sudah waktunya makan siang!" seru Vivian dengan sopan."Seharusnya tuan ada di sini, dia tidak berada di ruangan lain. Mungkin saja belum bangun juga," ucap Vivian.Tuk...tuk..Vivian berulang kali mengetuk pintu dan tidak ada yang menyahut sama sekali."Sudah pukul satu siang, Tidak mungkin masih tidur," gumam Vivian.Vivian menghela napas sebelum membuka pintu kamar Jenderal yang megah dan luas. Begitu masuk, ia terpesona dengan keindahan dan kemewahan kamar tersebut. Dinding-dindingnya dilapisi dengan wallpaper bermotif elegan, langit
"Tuan, Aku tidak ingin melihat wajahnya lagi, Apakah ada cara lain untuk menebus kesalahanku?" tanya Vivian dengan suara parau. "Kamu tidak perlu melihat wajahnya kalau tidak mau," jawab Charlie yang menuju ke ruangan ganti baju. Ia membuka pintu lemari berukuran jumbo. Terlihat banyak pakaian mewah serta jam tangan dan dasi. "Mantan suami menikah, mantan istri sebagai salah satu tamu yang hadir. Kedengarannya sangat aneh." Gerutu Vivian sambil melipat kedua tangannya di dada. Charlie tersenyum sinis dan berkata, "Aku tidak peduli alasanmu, Aku akan menyuruh Andrew menyiapkan gaun untukmu. Kamu harus hadir di sana, tidak peduli bagaimana perasaanmu." Mendengar kata-kata Charlie, Vivian merasa tak berdaya dan menundukkan kepalanya. Ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan selain mengikuti perintah Charlie. Namun, hatinya terasa sesak dan berat, seakan-akan seluruh dunia menindihnya."Tuan, aku hanya bekerja di bagian dapur, Kenapa harus aku yang menjadi pasanganmu?" tanya Vivian."Kar