Sehari sebelumnya di kantor polisi Wilayah Kota Yamon.
"Letnan Andi, bagaimana perkembangan kasus pembunuhan di perumahan Aman kemarin?" tanya Inspektur Andika-kepala polisi wilayah."Siap, Pak! Belum ada perkembangan yang signifikan karena pelaku tidak meninggalkan jejak sedikit pun," jawab Letnan Andi."Setelah dilakukan olah TKP, apa tidak ditemukan bukti tambahan?" tanya Inspektur Andika lagi."Siap, Pak! Tidak ada!" jawab Letnan Andi tegas."Baik! Bawakan semua berkas dan barbuk ke sini! Biar kasus ini saya ambil alih!" perintah Inspektur Andika."Siap!" Letnan Andi segera keluar dari ruang Inspektur untuk mengambil berkas yang diminta."Letnan, tolong temukan CCTV yang ada di sekitar lokasi kejadian. Bawa semua ke sini!" perintah Inspektur Andika setelah memeriksa berkas dan barang bukti yang diterimanya."Siap, Pak Inspektur!" Letnan Andi dan beberapa rekannya langsung menuju lokasi untuk menemukan CCTV yang ada di sepanjang kompleks Perumahan termaksud.Tak sampai dua jam mereka sudah kembali dengan beberapa data CCTV yang diminta oleh Inspektur Andika.Letnan Yusa yang bertugas di bagian pengecekan data segera memeriksa semua rekaman CCTV bersama Inspektur Andika."Stop! Coba di skip bagian tadi!" seru Inspektur Andika."Letnan Yusa segera mengulang rekaman ke bagian yang diminta.Dalam rekaman tersebut nampak seorang pengendara motor matic yang sedang memasuki wilayah komplek Aman. Waktu di dalam rekaman saat itu menunjukkan pukul 20.00 (jam delapan malam)."Sepertinya dia hanya seorang kurir yang mengantarkan pesanan, Pak," kata Letnan Yusa pelan.Inspektur Andika menekan tombol zoom pada keyboard saat pengendara motor matic itu berhenti di depan pagar salah satu rumah yang berjarak sekitar tujuh rumah dari TKP. Pengendara motor itu tampak meletakkan bungkusan berwarna hitam ke atas pagar dan langsung pergi setelah memencet gawainya sebentar."Sepertinya dia wanita," gumam Inspektur Andika, dia melihat pada plat motor tersebut, tertulis di sana nomor plat B 65** RAN."Segera periksa pemilik nomor plat motor ini!" perintahnya tegas seraya beranjak menuju ke ruangannya.Tak lama, Letnan Andi mengantarkan laporan yang dimintanya."Hmmmm ... Ranti, alamat komplek perumahan Royal Nomor 14," gumamnya,"Segera siapkan mobil, kita segera meluncur ke sana!" perintahnya cepat."Tunggu! Sampaikan saja surat panggilan kepolisian agar dia datang untuk memberi keterangan!" Inspektur Andika memberi perintah dengan tegas.Memang pantas kalau dia menjadi kepala polisi wilayah Yamon karena ketegasan dan wibawa serta prestasinya di kepolisian meskipun usianya masih terbilang muda, 35 tahun.
Sayangnya, kecemerlangan karirnya tidak diikuti dalam hal memilih jodoh.Bukan tidak ada yang mau menikah dengan dia, justru karena terlalu banyak yang mau sehingga membuat dia salah memilih.Pernah sekali dia sudahh bersiap naik pelaminan, ternyata kekasihnya malah kabur dengan Pengusaha kaya yang ada di kota itu.Dan, sejak itu dia malah seperti orang trauma dengan pernikahan, sehingga selalu menunda dan menjauh setiap ada gadis cantik yang mendekatinya.Padahal, ibunya sudah sering memohon pada putra pertamanya itu untuk segera menikah karena usianya sudah cukup dan kehidupannya pun sudah mapan.
Andika dibesarkan sendiri oleh ibunya karena ayahnya yang seorang tentara telah berpulang lebih dulu saat menjalankan tugas di wilayah Timor.Jiwa kesatria ayahnya ternyata diwarisi oleh Andika yang memilih melanjutkan pendidikan di Akpol selepas SMA.Dia lulus sebagai Taruna terbaik di angkatannya dan memulai karir sebagai polisi hingga menjadi kepala polisi wilayah saat ini.***Pagi iki di rumah Ranti."Selamat pagi, Pak polisi," jawab Narendra dengan ragu dan wajah pucat. Ada rasa khawatir yang menderanya," Ada yang bisa kami bantu, Pak?" Dia bertanya dengan gugup."Ada surat panggilan untuk Saudari Ranti untuk datang ke kantor polisi wilayah," jawab Letnan Andi dengan memberi hormat dan menyerahkan surat panggilan yang dibawanya."Maaf, Pak! Kakak saya melakukan kesalahan apa sampai harus dipanggil ke kantor?" tanya Narendra penasaran."Hahya untuk memberikan keterangan dan membantu tugas polisi untuk mengungkap kasus," jawab Letnan Andi dengab tegas."Ada apa, Ren?" Ranti tergopoh-gopoh keluar dari dapur saat mengetahui ada dua orang polisi' yang berdiri di depan rumahnya."Maaf, Bu Ranti. Dimohon kesederhanaannya untuk memberikan keterangan di kantor polisi siang ini!" jawab Letnan Andi.Narendra menyerahkan surat panggilan yang diterimanya kepada Ranti."Tentang masalah apa, ya ,Pak?" tanya Ranti."Untuk lebih jelasnya, silahkan Bu Ranti datang ke kantor siang ini. Kalau begitu kami mohon diri, terima kasih," jawab Letnan Andi seraya memberi hormat dan berbalik diikuti oleh temannya.Tinggal Ranti dan Narendra yang saling berpandangan, tak mengerti."Apa perlu aku antar ke sana, Kak?" tanya Narendra akhirnya."Nggak usah, Rend. Nanti ibu malah cemas," jawab Ranti."Tunggu kabar selanjutnya dari aku. Jangan pergi narik dulu sampai semuanya jelas, ada apa," ucap Ranti lagi berusaha tenang meskipun sebenarnya hatinya cukup khawatir dan bertanya-tanya.
"Baik, Kak. Kakak tenang aja, Aku pasti akan jaga ibu sama Aira," jawab Narendra meyakinkan."Ya, udah. Kakak lanjutin masak dulu. Jangan bilang apa-apa sama ibu!" tegas Ranti.Saat itu, ibunya memang sedang pergi keliling komplek bersama Aira, kegiatan rutinnya setiap pagi."Siap, Kak!" jawab Narendra sedikit kesal karena dipesan berulang-ulang.***Usai memasak, Ranti bersiao untuk pergi ke kantor polisi."Hari minggu mau ke mana, Ran?" tanya Bu Diah melihat putrinya yang sudah bersiap."Ini, Bu. Ranti mau antar pesanan online dulu. Katanya kalau nggak diantar hari ini bisa batal," jawab Ranti,"Sayang, kan, kalau sampai batal," lanjutnya.Ibunya mengangguk mengerti."Ya, udah. Aku pergi dulu, Bu," pamitnya seraya mencium punggung tangan ibunya.Ranti pun segera memacu kuda besinya yang berwarna merah melaju meninggalkan rumahnya."Baiklah, kita lihat. Apa yang akan terjadi selanjutnya!" gumamnya sambil tersenyum misterius.Setibanya di kantor polisi wilayah, Ranti langsung mengatakan tujuannya datang dan langsung diantar ke ruang pemeriksaan."Selamat siang, Pak?" sapanya saat memasuki ruangan di mana sudah ada Inspektur Andika dan Letnan Yusa."Selamat siang, silakan duduk, Bu Ranti!" Inspektur Andika langsung mempersilahkan Ranti duduk di depan mereka."Begini, Bu Ranti_!" Inspektur Andika tak sempat menyelesaikan ucapannya."Jadi, apa kesalahan saya sampai Pak Polisi memanggil saya?" tanya Ranti cepat, penasaran."Jadi begini, Bu ... Ini mengenai kasus pembunuhan yang terjadi beberapa hari lalu di perumahan Aman," Inspektur Andika mulai interogasinya."Ya, lalu ...?" tanya Ranti,"Apa hubungannya dengan saya?" sambungnya."Di malam kejadian, Bu Ranti terlihat di sekitar TKP, satu jam sebelumnya. Apa yang sedang Ibu lakukan di sana?" Inspektur Andika melanjutkan.Letnan Yusa memperlihatkan bukti rekaman yang memperlihatkan keberadaan Ranti ketika melihat Ranti mengerutkan keningnya."Oooh, itu_!" katanya,"Saya mengantar pesanan customer, Pak.""Apakah Bu Ranti seorang kurir?" tanya Andika lagi."Saya berjualan online, Pak. Tapi saya mengantarkan sendiri pesanan customer kalau memang masih sekitar wilayah sini," Ranti menjelaskan."Saat itu, apa yang Ibu kirim dan siapa penerima pesanan Ibu? Soalnya saya tidak meilhat seorang pun menerima barang yang ibu letakkan di sana?" Andika mulai mencecarnya dengan pertanyaan membuat Ranti terlihat mulai gugup.Ranti mulai mengingat lagi apa yang dilakukannya di TKP pembunuhan Siska."Waktu itu, customer dengan akun Ox memesan Hoodie berwarna hitam beserta sarung tangan yang juga berwarna hitam ke toko online saya. Dia meminta saya mengirimkan pesanannya ke salah satu rumah yang ada di kompleks Aman. Dia membayar lewat minimarket, tunai," Ranti mulai penjelasannya."Lalu? Apa Bu Ranti sempat bertemu dengan Ox ini?" tanya Andika lagi."Dia tidak mau bertemu, dia hanya meminta saya meletakkan pesanannya di salah satu pagar rumah warga yang ada di sana," jawab Ranti,"Ya, sebagai penjual, saya ikut saja apa mau dia. Bagi saya yang terpenting dia sudah membayar lunas plus ongkos kirimnya." jawab Ranti santai.Inspektur Andika memperhatikan setiap gerakan Ranti saat menjawab semua pertanyaan, termasuk juga tatapan matanya."Baik! Apa Bu Ranti membawa handphone yang ibu pakai untuk transaksi kemarin?" tanya Andika lagi.Sedikit gugup, Ranti menjawa
Perlahan, mobil yang dikemudikan Gunawan memasuki halaman Villa yang cukup luas.Tiiitttt!Dia sengaja membunyikan klakson mobil sebelum turun agar Aida datang menyambutnya dengan seyuman.Benar saja!Dengan langkah yang dibuat seanggun mungkin, Aida keluar dari dalam Villa hanya dengan mengenakan gaun pendek yang memperlihatkan kemolekan tubuhnya.Lekuk tubuh sexi-nya tergambar dengan jelas membuat Gunawan seketika menelan salivanya dengan kasar.Sementara "adik kecilnya" mulai bangun dan mengencang."Maasss, kok, lama banget sampainya? Aku udah nunggu dari subuh!" sambut Aida. Dengan manja, gadis cantik itu bergelayut di leher lelaki yang menjadi bos di kantornya.Tak tahan, Gunawan langsung memagut bibir indah Aida yang langsung membalasnya dengan panas.Mereka tak menyadari, ada dua pasang mata yang tajam penuh kemarahan, sedang mengawasi gerak-gerik mereka. Intan sedang menunggu saat yang tepat untuk bertindak atas pengkhianatan suami tercintanya."Awas kamu, Mas! Aku tidak akan
Sshhhh!Kembali terdengar suara mendesis dari bagian belakang rumah Ridho. Tentu saja, hal itu membuat Ranti semakin penasaran."Rend, apa yang mendesis itu? Kok, seperti suara ular?" akhirnya Ranti mengungkapkan rasa penasarannya."Oh! Iya, Kak! Itu memang suara ular kobra," Ridho yang menjawab seraya menatap ke arah Narendra, yang langsung mengedipkan mata seperti memberi kode."Buat apa kamu piara ular berbahaya itu?" tanya Ranti lagi, menatap Ridho penuh rasa penasaran."Anu, Kak! Bukan melihara, tapi_," Ridho menelan salivanya sebelum melanjutkan bicara."Lantas?" Ranti tidak sabar menunggu kelanjutan ucapan teman adiknya itu."Jadi, ular itu saya tangkap di hutan untuk dijual kembali, Kak," jawab Ridho lagi."Wow! Kamu tangkap sendiri? Apa nggak takut?" tanya Ranti super heran."Ada tekhniknya sendiri, Kak. Nggak bisa sembarang," jawab Ridho lagi mencoba memberi penjelasan."Hiiiii_!" Ranti bergidik ngeri, meski dalam hati ada terbersit pemikiran yang lain.Ranti kembali ingat t
Sejenak Intan menatap lurus ke wajah Ranti yang hampir kehilangan jantungnya andai saja tak dilindungi oleh tulang rusuknya."Apa sebaiknya aku ceritakan lagi pada Pak polisi, ya?" ucap Intan masih menatap wajah Ranti yang kebingungan."Memangnya, apa yang kamu lihat? Apa yang mau kamu laporkan sama dia?" tanya Ranti penasaran namun terlihat gugup."Begini! Tadi sesaat setelah pergi dari villa itu dan dikejar oleh mobil Gunawan, aku melihat sekilas ada sepeda motor yang berpapasan dengan mobil kami," jelas Intan.Ranti terlihat semakin gugup namun penasaran menanti kelanjutan ucapan sahabatnya itu."Motor apa, kamu yakin dia pelakunya?" tanyanya antusias, tapi terlihat pias di wajahnya seperti menyimpan beban sesuatu."Motor Ninja, warna hijau!" jawab Intan cepat."Kamu lihat nggak wajah pengendaranya?" selidik Ranti, persis seperti gaya Inspektur Andika saat menginterogasi Intan dan Gunawan saat di kantor polisi."Ish! Kamu udah kaya Pak Andika aja, pakai sabar dong!" jawab Intan sam
"Kamu gila, ya, Rend! Kakak bilang, ayo jalan!" Ranti menarik lengan adiknya yang hendak melangkah masuk ke dalam restoran padang."Tapi, Kak_!" Narendra memprotes tindakan kakaknya dan bersikukuh hendak melaksanakan niatnya semula, menghajar kakak iparnya, Yuda."Rendra! Kamu nggak kasihan sama Aira. Lihat keponakan kamu ini kedinginan. Ini udah malam!" Akhirnya Ranti membentak adiknya itu agar berhenti melakukan hal yang bodoh dan merugikan diri mereka sendiri.Narendra langsung meredup menatap Aira yang tertidur dalam pelukan ibundanya."Maaf, Kak. Aku terlalu emosi tadi," jawab Narendra menyadari kekeliruannya."Biarkan dulu mereka, Rend. Akan ada saat dimana kita bisa membalas semuanya," gumam Ranti meskipun dengan hati yang sangat sakit.Di sini, di tengah malam yang dingin, dia berjuang untuk kesembuhan putrinya. Sementara di sana, suaminya tanpa rasa berdosa, sedang berbagi kebahagiaan dengan wanita yang baru hadir dalam hidupnya."Diam-diam, Ranti menyusut air mata yang tak m
"Ular! Kamu gila, ya, Rend. Malam-malam begini bawa ular ke rumah?" teriak Ranti histeris. Sementara Andika mengerutkan keningnya meski tersungging senyum tipis di bibirnya."Ridho titip sebentar, Kak. Katanya besok diambil," jawab Narendra santai sambil mengangguk hormat pada Andika."Kalau begitu, saya pamit saja dulu!" Tiba-tiba, Inspektur polisi tampan itu bangkit dari duduknya dan berpamitan."Maaf, Pak! Apa kedatangan saya dan ular ini mengganggu Bapak?" tanya Narendra terlihat gusar."Oh, nggak! Ada panggilan tugas dari kantor polisi," jawabnya tegas."Terima kasih, Pak! Kalau ada yang bisa kami bantu akan segera kami laporkan ke kantor polisi secepatnya," ucap Ranti mengantarkan Andika sampai pintu.Pria bertubuh atletis itu mengangguk.Ternyata, dia mengendarai motor besar untuk sampai ke rumah Ranti."Apa tujuannya datang ke sini, Kak?" tanya Narendra saat Andika telah pergi."Sstttt!" Ranti langsung meletakkan telunjuknya di depan bibir, agar Narendra mengecilkan volume sua
Ternyata, Sang "Malaikat Maut" itu pintar bela diri sehingga dengan mudah menangkis serangan Viina yang asal saja.Bahkan, dengan gerakan cepat yang hampir tak terlihat, tiba-tiba tangannya yang memegang alat suntik telah berhasil menancapkan alat suntik ke leher Viona yang putih jenjang. Dengan cepat pula dia menekannya hingga semua isi yang ada dalam tabung suntik berpindah ke pembuluh darah korbannya.Viona hanya bisa menjerit dan mencoba menepiskan tangan irang tersebut, namun semua sudah terlambat.Dalam hitungan detik, tubuhnya yang seksi menegang dan bergetar hebat.Kejang-kejang sesaat dengan kulit wajah dan tubuhnya yang mulai membiru. Dari mulutnya keluar buih seperti orang keracunan.Di menit berikutnya, tubuhnya mulai ambruk dan tak bergerak. Sungguh mengenaskan, dengan mata yang masih membeliak seperti tak rela hidupnya harus berakhir seperti itu.Sementara Orang yang menyebut dirinya Malaikat Maut segera mencabut kembali alat suntiknya, tak lupa dia menyelipkan selembar
"Ada berita apa, Kak?" tanya Narendra yang tiba-tiba muncul bersama Aira. Mereka berdua masih tertawa-tawa dengan ceria. Tapi melihat wajah Ranti yang terlihat serius dan sedikit pias dengan tatapan mata yang fokus ke arah televisi, Narendra menjadi penasaran."Mama liat apa?" tanya Aira dengan polosnya seraya masuk ke dalam pelukan hangat Ranti dan menyandarkan tubuh mungilnya ke bahu mamanya."Mama lagi lihat berita, Sayang," jawab Ranti seraya cepat-cepat mengganti chanel televisi, karena dia tidak ingin putri kecilnya yang masih polos itu melihat hal yang belum pantas untuk dimengerti oleh otak kecilnya."Tuh, nggak ada berita, Ma. Malah ada Upil Ipil kesukaan Ira!" seru gadis imut itu dengan mata bersinar ceria."Iya, Sayang. Beritanya udah selesai," jawab Ranti,"Sekarang Ira sarapan dulu sambil nonton Upil Ipil, ya!" lanjutnya sambil menuangkan nasi goreng buatan ibunya ke dalam piring."Iya, Ma. Suapin_!" rajuk Aira dengan manja. Dia merasa senang sekali saat Ranti mengangguk.