Share

Korban Kedua

Perlahan, mobil yang dikemudikan Gunawan memasuki halaman Villa yang cukup luas.

Tiiitttt!

Dia sengaja membunyikan klakson mobil sebelum turun agar Aida datang menyambutnya dengan seyuman.

Benar saja!

Dengan langkah yang dibuat seanggun mungkin, Aida keluar dari dalam Villa hanya dengan mengenakan gaun pendek yang memperlihatkan kemolekan tubuhnya.

Lekuk tubuh sexi-nya tergambar dengan jelas membuat Gunawan seketika menelan salivanya dengan kasar.

Sementara "adik kecilnya" mulai bangun dan mengencang.

"Maasss, kok, lama banget sampainya? Aku udah nunggu dari subuh!" sambut Aida. Dengan manja, gadis cantik itu bergelayut di leher lelaki yang menjadi bos di kantornya.

Tak tahan, Gunawan langsung memagut bibir indah Aida yang langsung membalasnya dengan panas.

Mereka tak menyadari, ada dua pasang mata yang tajam penuh kemarahan, sedang mengawasi gerak-gerik mereka. Intan sedang menunggu saat yang tepat untuk bertindak atas pengkhianatan suami tercintanya.

"Awas kamu, Mas! Aku tidak akan tinggal diam untuk semua pengkhianatan ini!" geramnya seraya membuka pintu mobil. Tak urung, air mata yang sejak tadi ditahannya luruh juga.

Sakit menyesak di dadanya. Tapi Intan tak ingin menjadi lemah, dia menghapus kasar bening di pipinya.

Sang driver online yang mengantarnya hanya bisa melihat dengan prihatin.

Dengan kemarahan meluap, Intan keluar dari dalam mobil setelah sebelumnya sempat mengabadikan momen gila suaminya dengan sang Pelakor.

Prok! Prok! Prok!

"Hebat kamu, Mas!" Intan bertepuk tangan dengan senyum sinisnya, hanya agar Gunawan tahu bahwa dia telah menyaksikan semua pengkhianatan itu. Segera dia berbalik dan masuk ke dalam mobil sewaannya.

"Jalan, Pak!" Suaranya terdengar parau menahan tangis yang akan pecah.

Gunawan yang panik segera melepaskan pelukan Aida yangh masih tergugu menatap kepergian Intan.

Bukan apa-apa, Perusahaan tempat Gunawan berkantor adalah milik ayah Intan.

"Mas_!" teriak Aida,"Aku gimana?" tanyanya risau.

Seolah tak mendengar teriakan Aida, Gunawan langsung masuk ke dalam mobilnya dan melaju menyusul mobil yang membawa Intan.

Aida menghentakkan kakinya dengan kejengkelan yang memuncak.

"Badannya doang yang besar, mental tempe! Masa sama istri yang cuma bisa nunggu di rumah aja takut!" gerutunya. Dia pun berbalik dan masuk ke dalam villa.

"Lalu, aku harus bagaimana? Masa aku pulang juga sekarang," gumamnya seraya melangkah menuju kamar.

Kreekkkk!

Terdengar suara pintu yang terdorong di belakangnya, tentu saja membuat Aida kaget karena villa itu cukup jauh dari pemukiman.

Dia berbalik menuju pintu depan villa, hendak melihat siapa yang datang tanpa permisi, namun dia tidak menjumpai siapapun di depan.

Dengan waspada, Aida mengambil pisau dapur yang tergeletak di meja ruang tamu, bekas dia mengupas buah tadi.

Matanya nyalang menatap setiap sudut ruang tamu, menanti gerakan selanjutnya.

"Mas!" Dia berharap kalau Gunawan yang kembali untuk membawanya pulang ke kota.

"Mas!" Teriaknya lagi sambil berjalan dengan penuh kewaspadaan menuju pintu keluar.

Tetap tak ada jawaban.

"Aku harus segera pergi dari sini!" pikirnya.

Aida segera menyelinap ke kamar untuk mengambil tas dan jaketnya yang masih ada di kamar.

Dengan tetap menggenggam erat pisau di tangan kanannya.

Tak lupa dia langsung mengunci pintu kamarnya.

Selesai membereskan barang miliknya, Aida perlahan membuka pintu kamar. Dia memutar bola matanya.

"Ah! Sepertinya aku salah dengar tadi. Nggak ada siapapun di sini," gumamnya lirih. Namun tetap berhati-hati.

Dengan langkah cepat dia hendak membuka pintu keluar. Namun tiba-tiba, sebuah tangan yang kuat menarik rambutnya hingga hampir terjatuh. Namun sebuah dada menahan tubuhnya.

Aida mencoba memberontak dan mendorong telapak tangan yang membekapnya hingga hampir kehilangan napas.

"Si ... siapa kau!" bentaknya ketika berhasil melepaskan diri dan berusaha berbalik untuk melihat pemilik tangan bersarung hitam itu.

Dia ternganga menyaksikan seseorang dengan pakaian serba hitam serta menggunakan topeng yang juga hitam berdiri di hadapannya. Aida gemetar ketakutan, dengan seluruh kekuatannya dia menusukkan pisau yang digenggamnya sejak tadi. Namun ternyata, orang itu pandai bela diri hingga dengan mudah menepiskan gerakan tangan Aida. Bahkan pisau yang digenggamnya terjatuh ke lantai, menimbulkan suara berisik.

"Toll_!" Aida mencoba berteriak, namun ternyata, orang itu dengan cepat menempatkan kakinya dengan kuat ke perut Aida hingga dia merasakan sakit yang luar biasa dan tak mampu bicara.

"Aku malaikat mautmu, pelakor jalang!" Orang itu memggeram di balik topeng hitamnya seraya menusukkan jarum suntik yang diambilnya dari saku hoodienya ke leher putih Aida yang masih sempoyongan menahan sakit pada perutnya.

"Ap ... apa yang kau lakukan?!"

Tubuh Aida terjengkang ke belakang hingga membentur daun pintu.

Sesaat kemudian tubuhnya mengejang dengan wajah mulai membiru, hingga akhirnya terkulai lemas.

Melepaskan napasnya yang tinggal satu-satu.

Manusia bertopeng itu kemudian mendorong tubuh Aida menjauhi pintu. Membuka pintu dan melenggang keluar tanpa menoleh lagi.

Dengan gerakan cepat dia melompat keluar pagar villa.

~~~

"Ranti! Apa kamu ada waktu untukku hari ini?" Intan yang merupakan teman Ranti meneleponnya sambil menangis.

"Ada apa, In? Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Ranti sedikit khawatir.

"Polisi, Ran ... Polisi!" ucap Intan dengan terbata.

Degggg!

Ada apa lagi dengan polisi.

"Polisi menemukan jasad Aida di Villa," jawab Intan lagi, masih dengan isakannya.

"Tenang, In! Kamu tunggu di situ, ya. Aku akan segera ke sana," Ranti segera memutuskan sambungan telepon dan bergegas keluar membawa kunci motornya.

"Narend! Narendra_!" Panggilnya.

Namun, tak ada jawaban dari kamar adiknya itu.

"Ya, Tuhan! Jangan sampai_" gumam Ranti dengan suara cemas.

"Narendra pergi sejak pagi, Ran! Ada apa?" tanya ibunya yang muncul tiba-tiba dari arah dapur.

"Oh, nggak apa-apa, Bu. Ranti keluar sebentar, ya. Titip Aira," pamit Ranti yang dijawab dengan anggukan oleh ibunya.

"Halo, In! Kamu di mana sekarang?" tanya Ranti saat tiba di rumah besar Intan, namun ternyata terlihat sepi dan pintu terkunci.

"Aku ... aku di kantor polisi, Ran. Sama Mas Gun," jawab Intan masih terdengar panik.

"Kantor polisi, ya?" gumam Ranti tak jelas, kemudian memutuskan sambungan telepon.

"Nggak mungkin aku ke kantor polisi sekarang dengan kasus yang sama, pasti mereka akan semakin yakin aku pelakunya, apalagi_," Ranti menghentikan lamunannya.

"Aku harus bisa menghubungi Narendra!" Ranti segera memencet nomor telepon adik lelaki satu-satunya itu.

Terhubung.

"Halo! Narendra! Kamu di mana sekarang?" tanya Ranti berapi-api.

"Halo, Kak! Maaf, aku lagi di rumah temen, numpang nge-charge hp," jawab Narendra pelan.

"Dimana temen kamu? Kakak mau ke sana!" Sentak Ranti kesal.

"Di sini, Kak. Nggak jauh dari perumahan kita," jawab Narendra gugup mendengar bentakan keras kakak perempuannya.

"Narend! Kakak minta tolong sama kamu, jangan buat ulah yang macem-macem, ya!" Ranti mulai melunak namun tetap memberi penekanan pada suaranya.

"Iya, Kak. Sebenernya ada apa, sih? Kok, Rendra jadi was-was, ya!" tanya Rendra dengan nada kebingungan.

"Nanti kakak jelasin, sekarang kamu di mana?" tanya Ranti tak sabar.

”Nih, kak. Aku share lok aja!" kata Narendra.

Ranti segera melihat ke layar handphonenya.

Dengan cepat Ranti menuju lokasi yang dikirim oleh Narendra.

Ternyata tidak begitu jauh dari rumah Intan.

"Kak_!" Narendra menyambut kedatangan Ranti bersama temannya.

"Halo, Kak. Kenalin, aku Ridho, temen ojeknya Rendra," Ridho memperkenalkan diri.

Ranti pun masuk ke dalam rumah Ridho yang ternyata hanya tinggal sendiri di rumah itu karena kedua orang tuanya ada di luar kota.

Ssshhhhh!

Terdengar suara mendesis dari ruang belakang, membuat Ranti terlonjak kaget.

"Suara apa itu?" teriaknya histeris.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status