"Menikmati harimu, Rey?"
Suara itu membuat Reyna menegang dan mengangkat pandangannya dari ponsel yang sedari tadi berada di tangan kirinya. Matanya bersiborok dengan mata hitam legam yang menatap tajam ke arahnya dan smirk yang tersungging di bibir seksi pria di depannya. Seketika tubuhnya meremang.
Reyna masih membisu dan berusaha fakus pada makanannya yang tiba-tiba terasa hambar padahal sebelumnya terasa nikmat.
"Beresi barang- barangmu aku sudah pesan tiket untuk kita berdua," kata Hans sedikit kesal karena sejak tadi diabaikan oleh Reyna.
Reyna berhenti menyuap dan mengangkat wajah berusaha terlihat tenang. Dia tidak mengatakan apapun tapi keningnya yang berkerut menjelaskan bahwa ia tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Hans.
"Anjas tak memberitahumu?" sekarang giliran Hans yang heran karena Reyna tetap bergeming.
"Apa?" satu kata meluncur dari bibir Reyna.
<"Loe harus bantuin gue lah.""Bantuin apaan?"Seketika senyum smirk terukir di bibir Reyna. Perasaan Rayan tidak enak melihat senyum itu. Jelas sekali Reyna punya rencana licik untuknya."Perasaan gue gak enak, Rey.""I love you too, Ray," ucap Reyna full senyum sambil mengedipkan sebelah matanya."Uhh... gue tahu loe pasti numbalin gue lagi," Rayan cemberut dan kembali menelentangkan tubuhnya kembali sambil memikirkan kata- kata apa yang harus diucapkannya pada orang tua Reyna nanti."Udah gak usah banyak mikir, ayo kita ke bawah sekarang," Reyna menyeret tubuh Rayan untuk segera bangkit. Tapi tubuh Rayan yang segede gaban tak beranjak sedikit pun."Biarin gue cari wangsit dulu, Rey," Rayan menyentak tubuh Reyna hingga tubuhnya menindih tubuh Rayan yang masih terbaring telentang.Tepat saat itulah pintu kamarnya dibuka dari luar dan muncul Anjas serta Hans di belakangnya. Empat pasang mata yang saling
Reyna tidak berani menceritakan peristiwa di Bali hampir satu bulan lalu kepada siapapun. Termasuk keluhan mual yang dialaminya akhir- akhir ini. Dia berharap apa yang dipikirkannya salah. Dia tidak mau mengecewakan semua orang terlebih lagi ia tak mau hidup bersama seorang pria bermulut sampah seperti Hans. Kalau apa yang dipikirkannya benar maka ia memilih pergi.Dengan tangan gemetar Reyna mengambil test pack yang ia beli kemarin secara sembunyi- sembunyi. Dibacanya dengan teliti tata cara penggunaannya sebelum menyobek bungkus dan mengeluarkan isinya. Lima belas menit paling menegangkan dalam hidupnya saat menunggu hasil dilaluinya dengan mondar- mandir di dalam kamarnya. Saat melihat hasilnya dia tak kuasa menahan isak tangis yang menyesakkan di dadanya. Reyna merosot duduk di ujung ranjang, mengacak rambutnya frustasi sesekali memukul dadanya yang sesak.Bagaimana masa depan anak yang dikandungnya adalah hal pertama yan
Aku menyadari om Hans sesekali mencuri pandang ke arahku melalui spion tengah. Aku pura- pura tidak peduli dengan menyandarkan kepala pada jok mobil dan memejamkan mata. Sebelum memejamkan mata sekilas kulihat om Hans melepas jasnya, gerah mungkin. "Humb..." tiba- tiba rasa mual yang aku rasakan saat pagi kembali kurasakan di saat yang tidak tepat. Spontan om Hans menoleh ke belakang diikuti om Anjas yang menatapku dengan cemas. Aku menutup mulut dan mengangkat kepala bertemu pandang dengan mata hitam kelam yang menatap mataku menyelidik. "Kamu kenapa, Rey? Sakit?" suara om Anjas terdengar cemas. "Ah enggak Om, cuman ini kan udah lewat jam makan siang, perutku sedikit gak enak mungkin maagku kambuh," dengan lancar aku berbohong, ya akhir- akhir ini aku sering berbohong. Setiap pagi aku tidak ikut sarapan bersama karena menyembunyikan rasa mual dan saat ditanya aku harus berbohong dengan mengarang berbagai
"Terima kasih Om," Reyna menerima dengan ragu dan pandangan yang masih menunduk. Masih tidak mengerti dengan tindakan Hans, berlebihan untuk sebuah basa basi sepertinya."Jaga diri baik- baik di sana."Reyna hanya mengangguk."Rey, buruan!" Rayan memanggilnya.Reyna menatap keluarganya satu persatu, merekam sebanyak- banyaknya keberasamaan hari ini dan terakhir ia menatap Hans yang berdiri menjulang di hadapannya. Tanpa mengatakan apapun Reyna melambaikan tangan sambil tersenyum kemudian berbalik. Di depan sana Rayan menunggunya dengan cemberut."Lama banget sih, Rey? Kalau liburan kan kita bisa pulang. Gak perlu banyak drama gitu," gerutu Rayan membuat Reyna tersenyum."Kita gak tahu apa yang akan terjadi nanti, Ray," Reyna menimpali masih sambil tersenyum dan menggamit lengan Rayan agar sahabatnya itu tidak cemberut lagi.'Tidak Ray, entah
Faira menatap Reyna kaget."Mau aku bantu?" tanya Reyna dengan menaik turunkan alisnya menggoda.Faira hanya tertunduk dengan wajah memerah karena malu. 'Lucu sekali, cocok untuk Rayan yang cuek dan kadang pecicilan' batin Reyna."Kamu gak marah?" tanya Faira membuat Reyna mengernyitkan dahi tanda tak mengerti."Kenapa harus marah?""Kalian kan dekat," Faira berusaha menelisik lebih dalam."Jadi kamu belum percaya kalau aku bilang kami cuma sahabat?" rupanya gadis di depannya ini masih tidak percaya."Sorry, tapi melihat kedekatan kalian kurasa banyak yang tidak percaya," dari gestur dan cara berbicara Faira, gadis itu terlihat merasa tak enak dengan apa yang ia utarakan."Aku mengerti," alih- alih marah Reyna justru tersenyum mendengar keterus terangan Faira."Aku tidak memaksamu untuk percaya."
"Udah mbak, biarin kami makan dulu ya, udah laper banget nih. Lagian makanannya kelihatan enak- enak, sayang kalau dianggurin," Hans menengahi kasihan melihat Anjas terus dibully."Jiah si kunyuk pinter banget ngambil hati calon ibu mertua," berkat ucapannya Anjas mendapat hadiah dari Hans berupa lemparan pena yang berada di saku kemeja pria itu.Ha.. ha.. ha..Anjas tertawa keras sementara Riana dan Rashad hanya mesem- mesem.Waktu begitu cepat berlalu. Kehamilan Reyna sudah memasuki bulan kesembilan artinya sebentar lagi anaknya akan lahir ke dunia. Dia pun sudah mengurus cuti kuliahnya. Saat ia bosan di rumah ia akan menghabiskan waktu untuk mencoret- coret kanvas. Memang tak semahir para pelukis profesional tapi not bad lah. Ternyata bakatnya tak hanya menggambar design dan membuat maket.Rayan dan Faira akhirnya menjadi sepasang kekasih berkat campur tangan Reyn
Tak ada siapapun di kamar perawatan ini artinya tak ada siapapun yang menungguinya. Mungkin memang seperti itu, tak ada orang yang benar- benar mengharapkannya membuka mata. Ia teringat tadi ia terbangun karena memimpikan seorang anak kecil yang menggenggam jemarinya. Rasa hangat jemari mungil yang menggenggamnya itu bahkan masih terasa di jemarinya.Terdengar suara pintu dibuka dan ditutup. Saat menoleh ternyata Anjas keluar dari kamar mandi di ruang rawat Hans."Sudah sadar?" Anjas menghampiri Hans yang hanya diam termenung melihat langit- langit kamar rumah sakit."Sebentar aku panggil dokter," karena tak mendapatkan respon, Anjas hendak menekan tombol di sebelah ranjang Hans namun dicegah oleh Hans."Tidak perlu, aku sudah lebih baik," katanya sambil tersenyum."Kamu yakin?" Anjas memastikan.Hans mengangguk sebagai jawaban."Syukurlah, kamu kok tumben nyetir gak hati- hati?""Hhh.." Hans menghela napas pe
"Siapa bilang Reyna jomblo?" nenek Michele menyela perdebatan dua sahabat itu.GotchaFaira tersenyum licik. Rencananya berhasil. Dia harus memastikan sesuatu."Nenek tahu? Jadi Reyna cerita sama Nenek tapi dia tidak cerita pada kami?" Faira bertanya dengan menggebu- gebu."Cerita apa?" Rayan tak mengerti arah pembicaraan Faira."Itu Reyna. Aku lihat kemarin dianterin pria ganteng. Tapi dia gak cerita sama kita kalau punya kekasih," Faira menjelaskan dengan bibir cemberut."Bener Rey?" Rayan bertanya memastikan."Gak bener itu. Kemarin aku emang dianter pulang sama manager aku. Tapi kami gak ada hubungan apa- apa kok," Reyna menjelaskan."Bohong!" sahut Faira. "Tadi Nenek juga bilang kalau kamu gak jomblo lagi kok. Iya kan, Nek?""Apa?" nenek menyahut."Tadi Nenek bilang kalau