“Hai D, lama tak berjumpa,” suara berintonasi besar dan berat menggaung dari langit.
Bersamaan itu mendung yang menggelayut kelam seusai badai dan masih tersisa petangnya perlahan terbelah. Ada cahaya terang menyeruak dari belahan awan, ada cahaya memancar bagai petir lurus menghunjam ke bawah jatuh di atas bukit Tunggorono.
Ada sayap berbulu emas besar menyeruak dari balik awan. Dengan panjang tiada dapat di ukur dan lebar sudah tak dapat di jangkau. Sosok dari atas langit dengan kaki-kakinya yang kekar berkuku tajam turun perlahan.
Lalu berdiri pas di belakang pak tua bertopi caping mirip pak tani yang sedari tadi hanya berdiri terus mengawasi kehancuran kota Jombang di bawah tebing curam bukit Tunggorono.
“Kau Garuda memang benar sudah terlalu lama kita tiada berjumpa kembali,” Pak tua bertopi caping hanya mematung terus menatap lekat kotanya yang tinggal sisa puing-puing.
“Apa yang kau lihat D, kotamu sudah hancur sekarang. Kota yang dahulu selalu dipertahankan mati-matian oleh para leluhurmu. Kenapa kau tidak kunjung bergerak D, apa yang membuatmu terus terdiam?” ucap Garuda yang ikut memandang kota Jombang dengan keadaan yang menyedihkan.
“Sebenarnya aku ingin mengembalikan kejayaan kota ini Garuda. Bahwa dulu pernah ada sebuah organisasi tua yang menopang kota dari serangan para setan dan siluman bahkan iblis sekalipun tak akan bisa menembus kota ini. Karena para leluhurku terus menjaganya hingga titik akhir perjuangan mereka. Tapi miris diantara mereka masih ada penghianat sehingga organisasi tua tersebut hancur dan porak-poranda akibat perang saudara. Lalu para cenawan mengambil kesempatan ini dan pada akhirnya mereka dapat menguasai kota dengan mudahnya,” jawab pak tua bertopi caping mirip topi pak tani berjubah hitam-hitam dan memakai tongkat sejenis dari kayu cendana.
“Begitulah sifat manusia D dengan keserakahan mereka. Mereka selalu haus akan kekuasaan dan harta, sekuat apa pun iman didada mereka. Jikalau hati tanpa ilmu tauhid yang benar, sudah dapat dipastikan akan kembali terlena oleh godaan para setan durjana,” lantang suara Garuda berkata dengan sesekali mengepakkan sayapnya sehingga membuat pohon di sekitar bukit Tunggorono bergoyang kencang layaknya ada sebuah badai menerpa.
“Tetapi masih ada terlihat Garuda. Walau gelap merata di seluruh kota, masih ada harapan dari anak-anak keturunan yang dulu pernah kami bina. Mereka masih melakukan perlawanan. Sayangnya kali ini mereka tinggal sedikit dan tengah terdesak mundur hingga ke hutan Wonosalam,” ucap Pak tua bertopi caping seraya duduk sambil menyulut rokok ditangannya.
Garuda jua ikut mengubah posisi dari berdiri sekarang tampak terduduk dengan gaya bertopang dagu. Sambil terus mengawasi kota Jombang dengan reruntuhan dan kebakaran di mana-mana.
“D apa yang kau dapat dengan mengumpulkan bayi-bayi keturunan itu?” tanya Garuda menatap Pak tua bertopi caping dengan sesekali menghembuskan nafas dari hidungnya sehingga tanah di sekitar Pak tua seakan debu berterbangan bagai tornado melanda sebuah desa.
“Aku hanya inginkan harapan Garuda. Setelah kepergian sang guru petapa menuju nirwana semua menjadi kacau tak terkendali. Suatu saat nanti aku jua akan menyusulnya mendaki tangga langit menuju nirwana tujuh. Aku ingin saat aku pergi dengan cara moksa atau hilang secara utuh tanpa kematian. Kota Jombang masih berdiri dengan penjagaan penerus-penerus organisasi lama yang berasal dari bayi-bayi keturunan yang aku selamatkan,” ujar Pak tua bertopi caping terus menghisap rokok dimulutnya yang telah keriput termakan usia.
“Setelah kehancuran besar akibat peperangan tiga puluh tahun yang lalu memang tak bisa dilupakan D. Sehingga kami para hewan langit sebagai pendamping kalian para kesatria dan pejuang organisasi lama harus kembali ke langit tempat asal kami. Tetapi yakinlah D masih ada harapan di setiap kegelapan. Bukankah pemimpin mereka para anak-anak keturunan adalah cucumu Raja yang telah kau didik sedemikian rupa dan menuruni semua ilmu leluhurnya. Kenapa kau harus cemas akan keberlangsungan kota Jombang. Yakinlah suatu hari Jombang sebagai pusat peradaban para pendekar hebat akan berdiri tegak kembali,” tutur Garuda mencoba menenangkan Pak tua bertopi caping yang sering Garuda panggil dengan nama D.
“Tentu Garuda aku akan terus mengamati. Aku akan terus mengawasi pergerakan cucuku dan para anggota anak-anak keturunan yang tengah berjuang. Aku akan selalu membantu mereka di setiap kesulitan mereka tanpa harus memberitahu mereka bahwa aku ada berdiri disini untuk mereka dan untuk kota Jombang,” Pak tua bertopi caping kembali berdiri sembari menghela nafas panjang akan lelahnya perjuangan.
“Aku tak akan pergi sejengkal sekalipun untuk meninggalkan kota ini. Aku akan terus berjuang dengan caraku untuk mempertahankan kota Jombang. Dengan cara membentuk generasi penerus dari organisasi lama yang telah runtuh masa kejayaannya. Selama kuburan-kuburan leluhurku masih berada di bukit Tunggorono ini. Aku akan terus berdiri di sini hingga akhirnya aku mendapat perintah langit untuk kembali menuju langit. Seperti dahulu pernah kalian lakukan para hewan langit,” ucap Pak tua bertopi caping yang telah membuat sebuah rumah pohon disalah satu sisi di atas bukit Tunggorono. Demi mengasuh bayi-bayi yang iya selamatkan dari setiap desa yang telah dihancurkan para cenawan.
“Yah, ya, aku tahu perasaanmu D, semua pasti akan kembali seperti semula. Sebagaimana kedamaian saat kau masih berwujud anak-anak hingga masa dua puluh tahun sampai kau remaja seperti dahulu. Aku jua bersama hewan langit lainnya tetap menunggu perintah untuk kembali berjuang bersama kalian para manusia. Mendampingi kalian hingga akhir seperti dahulu kala. Saat kota ini masih dipimpin seorang yang arif, tangguh lagi bijaksana. Yakni Ayahmu sendiri Jaka Muhammad bin Haji Wachid,” kata Garuda yang ikut menghisap rokok diambilnya dari sebungkus milik Pak tua bertopi caping mirip topi Pak Tani.
“Aku bukanlah dendam Garuda sebab ini semua sudah garis takdir Allah. Kota kami hancur dan rumah leluhurku jua hancur tak bersisa. Para sanak-saudara terbunuh di depan mataku sendiri akibat perang saudara yang tak berkesudahan. Semua itu ulah mereka yang menari-nari hari ini di atas penderitaan kami bangsa manusia. Ya mereka para setan dan golongan siluman memang hari ini ku biarkan mereka berpesta tetapi saat nanti pada masanya aku dapat membentuk suatu pasukan dari para pejuang anak keturunan. Akan ku kembalikan kejayaan kota Jombang sebagaimana tiga puluh tahun silam pernah terjadi. Bahkan kota ini pernah menjadi pusat peradaban pejuang-pejuang tangguh dari segi gaib dari kelima kota sekitar,” kata Pak tua bertopi caping yang kerap dipanggil Garuda dengan panggilan D.
“Baiklah D kalau kau membutuhkanku kau sudah paham bukan aturan main memanggil kami. Seperti biasa panggil namaku tiga kali dalam hatimu aku akan datang. Aku pergi dahulu untuk sementara waktu sampai kau benar-benar siap berperang kembali D,” ucap Garuda kembali terbang ke atas langit dan kembali ditelan awan lalu menghilang.
Meninggalkan Pak tua bertopi caping mirip topi pak tani. Menegun dan terus mematung mengamati kehancuran penuh kota Jombang di bawah bukit Tunggorono.
Seorang tua bertopi caping mirip topi pak tani berjalan membawa tongkat dari kayu cendana. Bibir keriputnya terus bersuara berulang-ulang dengan lafaz Allahuma Shalli Ala Muhammad. Wajahnya tertunduk ke bawah tak mau menatap apa saja yang ada di depannya. Berjubah serba hitam memegang tasbih ditangan kanan yang terus diputar perbutir.“Allahuma Shalli Ala Muhammad,” terus berulang keluar dari lisan dan bibir si pak tua bertopi caping.Sedangkan hari semakin gelap saja di sekitar sungai Konto. Namun seakan tiada peduli apa saja yang mewujud dari gelapnya malam tepian sungai iya terus menyusuri sungai Konto.Sejenak langkahnya terhenti saat bayangan rembulan pas di tengah sungai pertanda petang telah sempurna di tengah-tengah malam. Ada sebuah wujud menghentikan langkahnya, menghadangnya dari depan dan tiba-tiba ada menghalangi jalan si pak tua bertopi caping mirip topi pak tani.Sebuah wujud yang lebih tua dari dirinya. Wujud
“Assalamualaikum Nyi Sekar Arum,” MR. D berjalan perlahan menuju sebuah rumah berdinding papan di atas bukit Tunggorono Sebuah rumah sederhana yang iya buat ala kadarnya bersama sang istri tercinta Nyi Sekar. Sebuah gubuk tua berdinding dari papan separuh anyaman bambu. Beratap dari dedaunan rumbia dan beberapa daun lain yang diambil dari hutan sekitar bukit Tunggorono. Sebuah gubuk tanpa listrik dan hanya lampu templek mirip jaman dahulu kala menempel di ruang tamu. Bahkan lampu tersebut dibuat sendiri oleh Nyi Sekar.MR. D dahulu pernah tinggal di sebuah desa pinggiran kota Jombang. Sebuah desa bernama Mojokembang, desa besar sebagai pusat peradaban para pejuang atau pendekar kebatinan dari organisasi lama dan anak keturunan.Namun sebab peristiwa besar memilukan dua puluh sampai tiga puluh tahun yang lalu membuat iya dan sang istri harus terusir dari tempat asal desa mereka. Mereka memilih tinggal jauh dari kota yang kali ini tengah m
“Assalamualaikum, halo disini Gilang ketua divisi dua kelompok anak keturunan. Kita sudah habis, tetapi bukannya tanpa harapan. Sekali lagi disini Gilang putra Elang ketua divisi dua kelompok anak keturunan. Terus berjuang kawan sambil terus bergerak mundur ke pinggiran kota. Bukan untuk menyerah dan membiarkan mereka para setan terus membabi buta memusnahkan kita. Tetapi untuk mengatur ulang strategi sesuai yang diperintahkan Raja sang panglima seluruh divisi. Sekali lagi disini Gilang putra Elang ketua divisi dua wakil dari Raja ketua divisi pertama. Bagi semua divisi yang mendengarkanku terus melawan namun perlahan kita mundur kita berkumpul di titik koordinat yang telah di tentukan,” ucap Gilang pada sebuah alat komunikasi yang para kelompok anak keturunan rancang sendiri. Serupa HT namun agak lebih canggih di lengkapi sensor pelacak keberadaan setan. Aaa...! Sebuah teriakan terdengar dari sisi utara dari kelompok gilang yang tengah berjuang melawan t
“Assalamualaikum Warahmatulahi Wabarakatuh,Assalamualaikum Warahmatulahi Wabarakatuh,” ucap lirih MR. D dari dua kalimat salam setelah menunaikan fardu subuh. Kali ini tiada MR. D tiada memakai jas kebesaran atau baju yang biasa iya kenakan saat berkelana menyusuri sudut-sudut kota Jombang hingga ke pelosok pinggiran.MR. D tengah khusyuk di atas sajadah lusuh warna merah bata pemberian sang ayah dahulu kala. Memakai sarung hitam kotak-kotak dipadu-padankan dengan baju kokoh warna putih serta peci hitam tersemat di atas kepala menutupi rambutnya. MR. D terus memutar tasbih butir demi butir dalam genggaman jemari tangan kanan.“Allahuma Shalli Ala Muhammad,” lafaz Shalawat Rasullah terus bergetar lirih walau perlahan tapi pasti mengudara dari bibirnya.Matanya memang terpejam, tetapi hati dab batin bersahutan menghimpun udara-udara murni dari alam. Sesekali nafas iya hirup perlahan di sela-sela zikir lalu meng
“Ah kurang ajar, kenapa setan tengkorak ini tidak bisa dihancurkan? Seakan mereka bisa hidup kembali walau tulang belulang mereka berserakan di tanah,” teriak Michael Ucup begitu marah tak terkendali.Wajahnya teramat kalut memerah seakan tenggelam dalam api amarah kelam. Semua ini sebenarnya luapan emosi Ucup akan kepedihan sebuah perpisahan dari sang kekasih yang mati di tangan setan api.Tangan Ucup terus mengeluarkan api dari dalam tubuhnya. Sebuah api kemarahan yang terbentuk dari gesekan partikel magnetik dalam tubuh yang melampaui batas. Bergesekan dengan aura negatif yang di sebar oleh otak kala manusia tengah marah secara lampaui batas kemarahan.Tetapi sejatinya tenaga dalam bola api yang dilontarkan dari efek jurus kemarahan seperti demikian tiada begitu kuat. Karena terlampau banyak muatan aura negatif yang disalurkan oleh otak. Sehingga api cenderung tak berbentuk dan hanya sedapatnya menyambar lawan.“Ucup
Ada satu divisi dari keempat divisi kelompok anak keturunan yakni divisi keempat yang masih bertahan di tengah kota. Divisi ini hanya memiliki lima orang anggota, tetapi kelima orang anggota tiada pernah berkumpul di satu tempat secara bersamaan. Mereka selalu terpisah di lima tempat terpisah dengan pusat tengah kota dimana satu orang dari divisi ini terus berjuang dengan taktik gerilya. Dia adalah Si Petir Putra Halilintar yang menjabat sebagai ketua utama divisi keempat kelompok anak keturunan. Divisi berpanji hitam berlambang singa yang menggigit pedang di mulutnya ini adalah divisi terkuat walau bukan sebagai divisi utama. Mereka adalah kartu As dari kelompok anak keturunan. Tanpa mereka mungkin seluruh kelompok anak keturunan sudah habis berguguran. Divisi keempat yang beranggotakan dari Si Petir sebagai ketua divisi. Rohanah istri dari Si Petir yang pagi ini terkonfirmasi berada di daerah barat, tepatnya di daerah Megaluh dan sekitarnya. Sebab set
Tap, tap, tap, Kletek, Suara langkah sepatu hitam dari celana jin hitam dan kemeja serta jas hitam. Berpadu padan dengan kolaborasi apik pada tubuh D. Langkah kaki bersepatu berpaut dengan bebatuan kerikil atas bukit Tunggorono. Matanya tajam memandang luas ke arah bawah. Sebuah kota mati penuh kehancuran terpampang jelas menyedihkan. Ada jeritan pilu menekik leher dan menjerat lidah seorang ibu akan kematian anaknya. Ada suara tangis istri memukul-mukul tanah dengan bekas genangan darah kematian suaminya. Ada tangis anak kecil merangkak tak tentu arah sambil terus memanggil ibunya. Keadaan kengerian yang terus bercampur baur dengan harum bau busuk darah. Aroma anyir dan sengau sudah jadi pemandangan lumrah pada kota ini. Ada suara rintihan gadis tengah terenggut mahkota kegadisannya. Lalu kepala sang gadis menggelinding begitu saja dengan mata mendelik dan lidah menjulur. Bahwa setiap sudut kota Jom
“Ning, Ning, kamu dimana? Ning gawat ini Ning,” ucap Haji Farhan tampak tergopoh-gopoh sambil membenahi letak sarungnya yang hampir melorot.“Ada apa ya Abah, tenang dahulu. Memangnya ada apa? Kok sampai Abah sangat ketakutan begitu,” sahut Ning Sol istrinya yang sedang menidurkan bayi mereka yang baru saja lahir berjenis kelamin laki-laki dan diberi nama Sapto Aji.“Cepat-cepat Ning kamu kemasi barang-barang kita ikut pergi mengungsi sama warga lainnya. Kamu dengar badai yang datang sejak kemarin malam yang tidak berhenti-berhenti hingga sore ini. Abah punya firasat buruk Ning, seolah-olah petir-petir itu bukan asli tapi buatan orang sakti yang hendak menghancurkan kota Jombang,” tutur Abah Farhan sambil merapikan beberapa pakaian yang sekiranya digunakan di pengungsian nanti.“Loh sebentar to Abah, memangnya kita mau mengungsi kemana. Bukannya desa kita ini aman Bah. Kan selama ini desa kita aman-aman