"Kamu kenapa sih Nis? Dari kemarin uring-uringan gara-gara ibu terus?" tanya Mas Ridwan tiba-tiba.
Aku tidak boleh menceritakan perihal pertemuanku tadi dengan ibu. Takut memang ini sebagian rencana dari Mas Ridwan."Enggak mas. Nisa cuma ingat ibu saja. Kan baru kali ini lagi Nisa merasakan sosok seorang ibu.""Yang penting keluarga ibu itu setiap bulan diberi nafkah ya udah. Selebihnya jangan kamu pikirkan."Aku hanya mengangguk pelan walau dalam hati tidak terima atas semua kalimat yang dilontarkan Mas Ridwan. Aku harus mengatur jadwal kapan aku bisa ke rumah ibu.Tapi mungkin jika dalam waktu dekat, aku takut ibu masih dalam sikapnya seperti tadi. Biarlah aku jeda beberapa hari dulu.Handphone Mas Ridwan berdering menandakan ada pesan masuk dari aplikasi hijau tersebut. Mumpung Mas Ridwan masih di toilet, aku reflek membuka nya walau hanya di layar kunci, pesan itu terlihat.[ Mas, besok lunch yuk. Sudah lama nggak hang out bareng ]Pesan dari kontak bernama R. Sudah ku pastikan itu Ratih. Ingin aku buang saja sampah yang bersamaku ini ke tong sampah, tempat seharusnya dia ada.Aku masih cemberut kala Mas ridwan sudah balik. Tak ku sampaikan jika tadi ada pesan dari wanita ular itu."Nis, ke dokter yuk program hamil lagi," ajaknya tiba-tiba.Sudah mati rasa aku. Sudah enggan berharap mendapat momongan dengan dia. Tetapi kenapa Mas Ridwan terlihat ingin sekali mendapat momongan. Apa dia pikir anak adalah yang akan mengunci pernikahan?Sebelum aku hamil, aku pastikan sudah menendang dia dan para ularnya keluar dari perusahaan almarhum ayah."Nisa sudah capek mas. Udah lah pasrah aja. Kalau waktunya hamil pasti hamil kok.""Kok kamu sekarang pasrah gitu sih Nis? Dulu usahamu kencang sekali. Kamu tidak sayang dengan apa yang sudah kamu perjuangkan?""Untuk apa terus berjuang? Kalau hanya satu sisi?""Maksudmu Nis? Kok ngomong gitu?"Aku salah tingkah. Baper. Semakin ngelantur ucapanku."Ehm nggak mas lupakan saja. Aku capek mau tidur dulu."Aku beranjak tidur tanpa memperdulikan Mas Ridwan.Mungkin memang sebaiknya tidak usah aku mendapat anak dari nya.Inginku segera melihat mentari terbit, agar bisa memastikan sang wanita ular tidak dapat makan siang dengan suamiku. Jika selama ini mereka berhubungan tanpa hambatan layaknya jalan tol, sekarang aku lah yang akan menjadi kerikil tajam tersebut.*Mendekati jam makan siang, aku bersiap untuk segera menyusul Mas Ridwan ke kantor, menggagalkan acara makan siang nya dengan Ratih. Tentu penampilanku tidak seperti kemarin. Karena memang pakaian lusuh yang kupakai kemarin punya nya Dewi. Hari ini aku lebih modis dan segar tentunya.Saat melewati meja resepsionis. Clara hanya mengangguk terhadapku. Aku melengos, enggan menatapnya lama. Aku tidak dendam. Tapi aku ingat apa yang dilakukanya.Aku juga ingin tau bagaimana pintu untuk memasuki ruang empat. Apakah ada pintu khusus tadi. Sebelum aku mulai memasuki ruangan semakin ke dalam, aku kembali ke belakang meja Clara. Bersembunyi agar tidak diketahui.Dan benar dugaanku. Ia menghubungi seseorang untuk membuka pintu lantai empat. Benar- benar muak dengan sikap mereka. Dibayar berapa hanya untuk sekedar mengadu jika aku datang. Silahkan menikmati sandiwara kalian sebelum kalian angkat kaki dari sini.Saat ku buka pintu lantai empat. Seperti suasana kerja pada umumnya. Sang sekertaris duduk di meja nya. Aku tau dia memendam kepura-puraan.Aku lewati dia tanpa menoleh sedikit pun."Selamat siang bu," sapanya.Aku hanya menatap dengan tatapan sinis dan ku tunjukan ketidaksukaanku."Seperti bodyguardnya Pak Ridwan saja bu. Waktu makan siang sudah sampai disini," candanya."Iya soalnya di luar pengganggunya banyak mbak. Coba deh kalau mbak udah nikah, pasti juga was-was punya suami yang kerjanya diluar. Zaman sekarang itu keras mbak. Apapun itu mencoba dihalalkan," jawabku sekaligus menyindirnya halus lalu berlalu pergi."Sayang, kamu kesini lagi ?" tanya Mas Ridwan sedikit kaget."Memangnya nggak boleh gitu mas? Aku kan istri sah kamu. Daripada perempuan lain yang kesini ya kan?""Kamu ngomong apa sih, Nis. Dipesenin makan siang saja ya. Tugasku masih banyak nih Nis."'Ya iyalah banyak. Secara cuma asyik berdua dengan sekretarisnya. Kucing kalau sudah lapar, dikasih ikan asin pun juga mau,' batinku.Aku pesan makanan lewat online saja. Biar lah dianter kesini. Aku tunjukan kemesraanku dengan Mas Ridwan, agar Ratih semakin panas."Mas, panggilin sekretaris dong. Aku sudah pesan makanan lewat online. Suruh dia ambil ke bawah. Aku juga memesankan dia lho."Tanpa banyak kata, Mas Ridwan menelepon Ratih. Dan dia mulai menghadap."Ehm Ratih, bisa saya minta tolong. Saya pesan makanan lewat online untuk seluruh karyawan disini. Kamu bisa menunggu dibawah? Dan membagikannya?""Iya bu," jawabnya setengah terpaksa."Ini uangnya. Kebetulan saya bawa cash,".Aku mengeluarkan sejumlah uang dari dompet."Bu, istri Dirut kok dompetnya biasa saja?" celetuknya.Aku menoleh tajam ke arahnya."Yang penting kan isinya. Bukan dompetnya..."Yang penting kan isinya. Bukan dompet nya," jawabku sinis.Ratih hanya tersenyum kecut dan melenggang pergi. Ku tarik nafas, ku keluarkan pelan pelan. Panas. Iya hati ku panas. Melihat raut wajah Ratih. Melihat lirikannya pada suamiku. Oh Tuhan jika memang Engkau menganggap ku kuat menerima ujian ini, maka kuatkan aku. Sabarkanlah hatiku.Ya aku memang rapuh. Tapi aku tidak mau terlihat lemah di depan mereka. Di depan orang-orang yang memang harusnya aku singkirkan dalam hidup. Bukan hanya karena cinta dan merasa di khianati. Tapi hatiku lebih sakit ketika kepercayaan almarhum ayahku disia-siakan. Lelaki yang dianggap baik, yang dititipi amanah, yang di percaya bisa melindungi ku, kini menggores luka hati dengan sengaja. Aku butuh ketenangan. Ya setelah aku mengikuti saran Mas Ridwan untuk program hamil dan lebih banyak beristirahat, aku meninggalkan kebiasaan ku dulu."Mas, nanti sore aku mau ikut pengajian lagi di masjid Al Furqon setelah itu ikut berpartisipasi mengajar anak-ana
" Aku hanya teman biasa dengan Clara," jawab Hisyam." Hah serius ? Tetapi sewaktu di pesta kemarin, Clara sepertinya marah kamu menyapaku,"" Ah masak iya sih ? Kebetulan kemarin Clara meminta ku menemaninya. Malu sama teman-temanya katanya kalau tidak bawa pasangan. Kalau aku memang ada hubungan dengan Clara, harusnya kemarin aku takut dong menyapamu,"Kami tertawa bersama. Aku terakhir kali bertemu Hisyam sewaktu SMA. Selepas SMA, kami melanjutkan kuliah di kota yang berbeda." Bukanya Clara itu bekerja di kantor suamimu ya Nis ?"" Iya,"" Kenapa dia terus menatapmu sinis. Penuh perasaan tidak suka ?"" Memangnya Clara tidak cerita Syam ?"Hisyam salah tingkah. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang mungkin tidak gatal." Iya cerita. Tapi aku tidak serta merta mempercayainya Nis. Kamu wanita yang baik, pintar, insya Allah solehah. Kurang apa lagi dan dengan alasan apa dia menduakanmu ?"" Kurang cinta. Kurang cantik mungkin Syam," jawabku sambil tersenyum." Kalau semua menuruti nafsu,
Pagi ini setelah Mas Ridwan pergi, aku memanasi mobil ku. Kali ini kuajak dia bepergian jauh ke luar kota. Dan memutuskam untuk menyetir sendir agatbtifak ada seorang pun yang tau tentang apa yang akam terjadi nanti. Ya aku ke rumah ibu mertua. Mencari tau apa yang sebenarnya terjadi.Kini aku telah berdiri di depan rumah mertua ku. Rumah yang masih sama, tidak ada perubahan sedikitpun. Tapi rumah itu tampak lengang tak seperti biasanyaAku ketuk pintu, ku ucapkan salam. Tapi lama tidak ada sahutan. Lama akhirnya ada suara dari dalam menyahut." Iya sebentar,"Aku tunggu. Dan seorang perempuan muda mebukakan pintunya. Anggun." Mbak Nisa,"Aku tersenyum. Belum sempat aku mengajakmya bicara terdengar sahutan lagi dari dalam." Siapa Nggun ?" teriaknya. Anggun hanya diam mematung tanpa mampu menjawab. Kenapa dia melihat aku seperti momok yang menakutkan." Ngapain kamu kesini ?" tanya Mbak Mira kakak pertama Mas Ridwan.Aku mengulurkan tangan untuk sekedar berjabat tangan. Tapi dia men
Sungguh hatiku berada di persimpangan dilema. Logika serta nurani ku bertabrakan. Ada rasa kasihan yang mendalam dengan keadaan keluarga Mas Ridwan.Baik kini saatnya aku berdamai dengan hati. Karena jiwa dan hatiku juga berhak bahagia bukan. Tentang keluarga Mas Ridwan, biarlah keyakinanku yang berbicara." Mas, Anggun itu sudah semester berapa ya ?" tanyaku disuatu malam." Entahlah Nis. Aku lupa. Urusanku bukan cuma Anggun saja. Lagi pula kalau waktunya lulus juga lulus kok. Kenapa ? Kamu keberatan dengan biaya kuliahnya ?"" Kamu itu yang kenapa mas ? Setiap aku bahas keluarga mu selalu saja sensitif. Bukanya bersyukur istrinya masih memikirkan keluarga suami. Aneh kamu mas,"" Banyak yang bisa dibahas daripada sekedar membahas keluargaku kan Nis," kata Ridwan tidak mau kalah." Aku tidak mau membahas yang lain. Apalagi membicarakan orang lain. Aku hanya ngin mengurus apa yang memang menjadi urusan kita,"" Ya sudahlah, kalau begitu kamu mau tanya apa lagi ?" tanya Ridwan dengan k
" Kenapa kamu disini Nis ?" tanya Mas Ridwan. Yang bisa aku tangkap adalah wajahnya menyimpat gurat kemarahan mendalam.Tapi justru aku tersenyum manis untuknya. " Perbaiki dulu pertanyaanmu Mas,"Mas Ridwan salah tingkah. Ia menunduk penuh gusar." Sudahlah Nis maksud kamu itu sebenarnya apa ?"" Aku ingun mengelola kembali perusahaan ayahku. Ada yang salah ?"" Tapi kan Nis. Ayahmu sudah memasrahkan ini ke aku. Dan kamu tetap fokus pada program hamil."Aku nenyilangkan tangan ke dada. Menatap Mas Ridwan seperti kucing yang tengah menatap tikus yang lemah." Memasrahkan bukan berarti memberi kan ? Lagipula aku sudah pasrah untuk hamil. Kalau Allah menakdirkan aku hamil, pasti juga hamil kok,"Dia menjambak rambutnya sendiri. Dan Brakkkk....Mas Ridwan memukul meja." Lalu kamu anggap suamimu ini apa ?"" Tenang mas. Kamu tetap disini membantuku. Kamu berada di posisi wakil dirut. Sudah lama semenjak ayah tiada, posisi itu kosong karena kamu telah meniadakanya,"" Kenapa harus begini
" Lihat ada yang tidak setuju kan kalau kamu menjadi pucuk pimpinan perusahaan ?". Ternyata Mas Ridwan mengikuti ku dari belakang.Aku berbalik badan dengan tatapan tenang dan penuh senyum. Menghabiskan tenaga, pikirku jika terus melayani emosi Mas Ridwan." Biarlah. Nanti akan ku buktikan bahwa aku memang pantas menduduki pucuk pimpinan perusahaan ini. Lagipula enam puluh persen saham perusahaan ini adalah punya ayahku kok,"" Lalu bagaimana kalau dalam satu semester kamu tidak dapat menaikan statistika perusahaan. Kamu rela akan melelang jabatan pada pemegang saham. Lalu kamu anggap suamimu ini apa ?"Sebenarya aku benar-benar muak dengan pertanyaan Mas Ridwan. Seolah-olah memang ia hanya mengincar harta semata." Pak Ridwan, ayah saya menyekolahkan saya sampai luar negeri itu dengan harapan saya dapat berkembang dengan baik. Saya sudah membawahi cabang perusahaan di Bali. Hingga dapat membuka cabang-cabang di pulau lain seperti di Maluku dan Makasar. Jadi tolong hormati keputusan s
Mata Ratih membulat sempurna. Para karyawan juga menatap penuh tanya. Untuk apa Ratih saya panggil ?Ratih maju ke depan dengan pias wajah yang kesal. Sementara Mas Ridwan ? Ia seolah-olah melotot kepadaku atas apa yang aku lakukan." Kalian pasti bertanya-tanya mengapa saya memanggil rekan kerja kalian. Si Ratih. Jadi begini kalian disini saya gaji atas kerja kalian. Jadi ibaratkan kalian itu menjual jasa, bukan ?". Para karyawan mengangguk setuju." Jadi tolong perbaiki penampilan kalian. Jangan terlalu terbuka dan terlalu ketat seperti Ratih. Ingat kalian disini menjual jasa kan bukan menjual diri ?" lanjutku dengan sindiran tajam.Ekspresi Ratih bukan main. Tatapanya bengis. Seperti harimau yang siap menerkam mangsanya. Sedikit pun aku tidak takut ataupun gentar dengan apa yang menjadi tujuanku.*" Bu Anisa," panggil Ratih saat aku berjalan di lobby. Aku hanya menoleh dengan malas." Iya ada apa ?". Aku paksakan senyum semanis mungkin walau dalam hati tidak ikhlas rasanya." Ibu
" Anisa, jangan cari aku malam ini. Aku tidak pulang ke rumah,"Begitulah yang dikatakan Mas Ridwan. Sebegitu marahnya dia pada diriku ? Sebenarnya aku lumayan senang dengan ketiadaanya. Dengan tidak menatap wajah pengkhianatan itu.Tetapi tidak untuk saat ini. Dia masih suamiku.Belum sempat aku menjawab apa yang ia sampaikan, ia pergi begitu saja meninggalkanku. Kemana dia akan tidur. Apa dia tidur di kediaman Ratih. Ataukah dia tidur di hotel ?Aku tidak kehabisan ide. Aku blokir akses kartu kredit nya. Entahlah ada berapa uang di atm dia. Aku berharap itu tidak banyak.Saat aku mulai keluar dari ruangan, ku lihat Mas Ridwan sudah tidak ada. Aku pejamkan mata. Apakah memang dia menikah denganku hanya karena harta semata ? Setelah ayah meninggal, dimana bisa ku temukan sosok lelaki baik itu ?Aku mulai menaiki mobil. Tapi ada suara yang mengejutkanku." Bagaimana Bu Anisa tawaran saya tadi ?". Suara serak itu jelas aku hafal suara Pak Albert." Maafkan saya Tuan Albert. Tanpa mengura