Share

Bab 5

Pov Ifan

Setelah aku tamat SMK, aku langsung merantau ke ibukota. Jika tetap tinggal di desa ini, aku tidak bisa memanfaatkan ijazahku yang walaupun hanya tamat SMK. Mencoba peruntungan, bagaimanapun lebih bagus di kota dari pada di desa. 

"Doain Ifan ya Bu, Pak!" ucapku sambil mencium telapak tangan Ibu Bapakku. Tampak Ibu menitikkan air mata. 

Tak butuh waktu lama, aku bekerja sebagai mekanik, bermodalkan ijazah SMK ku. Tak lepas dari campur tangan seorang kenalan yang berasal dari desa yang sama. 

***

Larasati namanya. 

Gadis polos yang berhasil mencuri hatiku pada pandangan pertama. Selain cantik, dia terlihat baik dan juga solehah. 

"Mbak orang sini ya!" tanyaku ketika tak sengaja kami berpapasan. 

"Bukan Mas. Saya orang Sumatera."

"Ohh orang Sumatera!" Aku hendak melanjutkan percakapan kami tapi Laras sudah berlalu. 

Tiga hari kemudian kami tak sengaja berpapasan lagi. 

"Mbak namanya siapa?" Tanyaku lagi. 

"Laras Mas."

"Sumatera mana Mbak asalnya?"

"Sumatera Utara Mas. Kenapa ya?"

"Ohh gak. Cuma nanya aja."

***

Sebulan berlalu. Tak butuh waktu lama untuk mendapatkan hati Laras. 

Namun aku patah hati ketika kutahu usia kami terpaut 5 tahun dan aku lebih muda dari Laras. Laras juga seperti menjaga jarak dariku. 

Aku seakan tak rela. Aku ingin memilikinya. Akhirnya kuputuskan mengajak Laras nongkrong disebuah kafe yang tak jauh dari kosan kami. Ya, kami sama-sama ngekos di dekat tempat kerja kami. 

"Mau pesan apa Mbak?" tanya waiters. 

"Aku nasi goreng kampung sama teh tawar hangat aja ya Mbak!" kata Laras. 

"Sama aja ya Mbak. Biar cepat!" jawabku. 

"Fan, aku ke toilet dulu ya!" kata Laras. 

Ketika pesanan kami sudah datang, Laras belum kembali juga dari toilet. Ini waktu yang pas. Kumasukkan "serbuk ajaib" yang sengaja kubawa dari kost tadi. Aku tidak tau apakah "serbuk ajaibnya" bekerja atau tidak. Tiba di perantauan, ketika aku membuka tas, ntah kenapa tiba-tiba ada di dalam tas ku. Ketika aku tanya ke Bapak, beliau hanya bilang suatu saat pasti aku butuhkan. Mungkin ini lah saatnya. 

Lambat laun, Laras yang sudah menjaga jarak denganku perlahan mendekat lagi. Ternyata "serbuk ajaibnya" bekerja. Bahkan dia terlihat sangat bucin kepadaku. Aku senang, karena tak perlu menggunakan  berbagai cara untuk merebut hatinya kembali. Laras bahkan rela menghabiskan duitnya untukku. 

"Mas, kapan kita menikah?" 

"Nanti lah. Tunggu ada modal dulu. Atau bulan depan aja" jawabku setelah kami siap "bergelut" dikosannya. Ya, Laras telah memberikan semuanya padaku, tak terkecuali dengan harta satu satunya. 

"Janji bulan depan ya Mas."

"Iya, kamu tenang aja. Asalkan nikahnya dirumah Mas ya. Kalau ke rumah kamu jauh banget!" jawabku. Yang sebenarnya aku takut. 

"Iya Mas dirumah kamu aja. Yang penting kita nikah." 

***

Dua hari sebelum kami berangkat ke kampungku, Laras mengajak ku kerumah Tantenya untuk mengembalikan barang-barang yang Laras bawa ke kosannya. 

"Mas takut kesana Ras. Nanti tante kamu nanyain Mas gimana." 

Jujur aku takut. Apalagi setelah aku tau, keluarga Laras semua berpendidikan. Apalagi Tantenya bukan orang yang neko-neko. Dan aku, baru kemarin sore aku lulus SMK. Aku memang pengecut. 

"Ngantarnya nanti sekitar jam 1 aja Mas. Biasanya cuma Tia yang dirumah."

"Yasudah. Tapi Mas ga ikut kerumah ya."

Sesuai kesepakatan, aku menunggu Laras di depan rumah tetangganya. Ada anak kecil dirumah. Sepertinya Tia, anak Tantenya. 

"Ga nunggu Ummi pulang dulu ka, baru kakak pergi lagi?" kudengar Tia bertanya pada Laras. 

"Ga usah Tia. Sekarang aja. Kakak buru-buru soalnya. Salam sama Ayah dan Ummi ya!" jawab Laras. 

Besoknya, kami berangkat ke kampungku. 

"Ras, orangtua kamu sudah kamu kabari?"

"Belum Mas."

"Kabari aja sekarang. Jangan tunggu sampai rumah baru kamu kabari."

Laras menelpon orang tuanya. Entah apa yang dikatakan orangtuanya, Laras menghela nafas berat. 

"Tak apa. Yang penting kamu sudah kasih tau!" hiburku sambil menggenggam tangannya. 

'Bodohnya kamu Ras.' Batinku. 

Setibanya dirumah, Bapak Ibu dan juga Andy sudah menyambut kami dirumah. Bapak dan Ibu tidak kaget lagi karena sebelumya kami sudah pernah pulang. Saat itu, Bapak menatapku dengan penuh tanda tanya. Anak nya yang masih ingusan sudah berani bawa anak gadis orang kerumah. Kujelaskan pada Bapak berkat "serbuk ajaib" yang Bapak berikan, Bapak dan Ibu dapat mantu yang sudah sarjana. Bapak dan Ibu terlihat senang. Makanya tidak perlu ada drama setelah kuberitahu Bapak bahwa kami mau menikah, Bapak langsung mengiyakan saja. 

"Akhirnya Mbak, selamat datang dikeluarga Danar." Ucap Ibu dengan wajah sumringah. 

Aku masih tak bisa tenang sebelum akad nikah dilangsungkan. Bukan karena takut Laras berubah pikiran. Bagaimana pun Laras sudah memberikan segalanya untukku. Jadi aku yakin, walaupun dia sadar, dia tak akan bisa pergi dariku. 

Aku takut jika tiba-tiba salah satu keluarga Laras datang kesini. Matilah aku jika itu terjadi. Bapak dan Ibu seakan tau apa yang aku pikirkan. 

Pagi-pagi, Ibu sudah menyiapkan teh dan pisang goreng. Dan aku yakin ada sesuatu di dalam teh yang dibuatkan Ibu.

Kami tidak terlalu paham agama. Kami lebih mengikuti ada istiadat disini. Itulah sebabnya kenapa kami tak berpikir panjang menggunakan sesuatu seperti serbuk ajaib disini. 

***

"Mas, Mas Rey minta jemput di terminal sekarang. Mas Rey udah sampai di terminal." pagi-pagi Laras mendapat telpon dari abang iparnya. 

Bagaimana ini? Aku panik. Pun Bapak dan Ibu. Hanya Laras yang terlihat santai. Aku takut. Pak, Bu. Apa yang akan aku lakukan tanyaku melalui tatapan. Aku masih belum berpengalaman dalam hal seperti ini. 

Mau tidak mau, aku harus menjemput Mas Rey ke terminal. Tapi pertama - tama aku pastikan Mas Rey tidak membawa polisi. Jika Mas Rey datang sendirian, maka masih aman. Bapak dan Ibu pasti bisa mengatasi. Aku bawa Mas Rey keliling kampung untuk memastikan apakah Mas Rey sendirian. 

"Kenapa kamu malah mutar - mutar? Takut kamu ya? Kalau takut jangan bawa lari anak orang!" Mas Rey setengah berteriak padaku. 

'Iya Mas. Aku takut.' Batinku. 

Tak kujawab pertanyaan Mas Rey. 

"Apa yang sudah kamu lakukan pada adikku?" tanya Mas Rey lagi. 

Aku tetap diam. Tak berani menjawab karena memang aku takut. 

"Laras bukan orang yang seperti itu kecuali kamu sudah melakukan sesuatu padanya!"

"Kenapa kamu diam aja? Sudah kuduga. Kamu pasti ketakutan sekarang."

Perjalanan yang hanya memakan waktu kurang lebih lima belas menit, rasanya seperti berjalan bertahun-tahun. Akhirnya tiba juga dirumah. 

Bapak dan Ibu berdiri di depan rumah dengan wajah yang sangat tegang. Laras masih tetap terlihat santai. Entah apa yang akan terjadi setelah ini. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status