Umma, atas nama Salwa Abah benar-benar minta maaf atas segala sikap dan perkataannya." Hamdan membuka percakapan setelah sekian menit terjadi keheningan pasca mereka melepaskan rindu satu sama lainnya."Umma sudah memaafkan Salwa, Abah." Jawab Najma sambil mengeratkan pelukannya mencari kenyamanan dalam pelukan sang suami.Saat ini mereka tengah berada di kamar mereka. Saling mencurahkan rasa rindu karena tidak berjumpa selama dua pekan."Sayang, kapan jadwal untuk periksakan kandunganmu?" tanya Hamdan sambil memeluk sang istri dan mengusap perut yang terlihat sudah sedikit membuncit."Biasanya kemaren Abah, tapi Umma nunggu Abah dulu buat periksa anak kita." jawaban Najma berhasil menyentil hati Hamdan membuat lelaki itu merasa nyeri pada hatinya karena lagi-lagi dia belum bisa menjadi suami yang siaga."Benarkah Umma? Kalau begitu kapan kita ke rumah sakitnya, sekarang?""Jangan sekarang, Abah pasti lelah habis dari perjalanan jauh, besok saja." tolak Najma karena dirinya pun sedang
"Ya Allah! Baik, Bu, Hamdan akan segera ke sana."Melihat raut wajah Hamdan yang terlihat khawatir, membuat Najma juga ketularan khawatir entah pada siapa."Ada apa, Bah?""Salwa tak sadarkan diri, Umma. Kita harus ke sana dulu, baru kita barengan berangkat ke rumah sakit. Tak apa 'kan, Umma?""Iya, Abah. Tak apa."Akhirnya kini mereka berangkat menuju rumah sakit bersama. Salwa di letakkan di jok belakang dengan kepala di letakkan di pangkuan sang ibu. Sedangkan Najma tetap pada posisinya duduk di samping kemudi."Umma ambil antrian saja dulu, nanti Abah nyusul setelah membawa ummi Salwa ke ruang UGD," pinta Hamdan mereka sudah tiba di rumah sakit.Tanpa berpikir panjang, Najma mengiyakan usulan sang suami."Baiklah, Abah. Kalau begitu Umma ke poli kandungan dulu, semoga dik Salwa tidak apa-apa,""Iya, Umma. Umma hati-hati," pesannya sebelum membawa Salwa menuju ruang IGD untuk diperiksa."Iya, Abah."Najm
Mendengar itu, tanpa terasa air mata Najma menetes haru mendengar bahwa kandungannya sudah sehat, tidak lagi lemah. Namun, lagi hatinya terluka saat tak mendapati suaminya ada di sisinya. Namun, ia paksakan tersenyum saat dokter menatapnya dengan sendu. Bagaimana tidak di tatap demikian, wajah yang awalnya berbinar berubah menjadi sayu setelah di perdengarkan detak jantung sang bayi yang berdetak dengan sangat normal."Anda baik-baik saja?" tanya dokter khawatir."Saya tak apa, dokter. Saya baik-baik saja. Saya hanya terharu karena janin saya sudah sehat,"Setelah diperiksa dan mendapatkan foto hasil USG, Najma langsung berpamitan kepada dokter. Setelah keluar dari ruangan dokter Arini, Najma menuju apotek untuk menebus obat yang telah diresepkan.Selesai menebus obat, Najma kembali melanjutkan langkahnya menyusuri koridor rumah sakit untuk menemui suaminya yang mungkin masih berada di UGD. Buku KIA yang di dalamnya terdapat foto hasil USG terbaru dari ja
Maaf, kami tak bisa menyelamatkan kandungan Mbak Najma. Beliau keguguran, dan sebentar lagi akan dilakukan kuretasi agar darah benar-benar bersih dari rahimnya."Pernyataan dokter Arini membuat seluruh tubuh Hamdan terkulai lemas. Bayi yang selama enam tahun dia dan istrinya harapkan harus pergi terlebih dahulu sebelum dirinya melihat rupanya. Haruskah dia mengatakan bahwa dunia begitu kejam? Kenapa harus diambil sebelum dia dan Najma melihat rupanya? Belum cukupkah kesabarannya dan kesabaran sang istri selama enam tahun menantikan buah hati? Kenapa harus menunggu lagi?Jangankan Hamdan, dokter Arini saja merasa tak percaya akan apa yang terjadi pada Najma hari ini. Padahal tadi dia melihat Najma begitu bahagia karena kandungannya tak lagi lemah. Bayinya sehat dan tumbuh dengan sangat baik, tapi sungguh takdir tak dapat di tebak. Hanya berselang beberapa menit, janin itu sudah pergi menghadap Sang Pencipta."Ya Allah, aku percaya Engkau tak akan menguji hamba-Mu di luar batas kemampua
Assalamualaikum,"Ucapan salam dari arah pintu membuat ketiga orang yang tengah terdiam di dalam ruang rawat Najma itu menolehkan suaranya ke asal suara. Bingung? Tentu saja. Mereka tak tahu siapa orang-orang itu yang kini tengah berdiri di ambang pintu, tapi tak urung mereka menjawab salam dan mempersilahkan mereka masuk."Begini, kedatangan kami kesini mau meminta maaf kepada keluarga mbak yang kini tengah terbaring di brankar ini." kata ibu Risfan memulai obrolan."Maksudnya gimana ya, Bu?" tanya Salwa sambil beranjak dari tempat duduknya."Maafkan saya, Mbak. Saya yang nggak sengaja nabrak mbak ini hingga membuat beliau keguguran. Saya benar-benar minta maaf, saja janji saya akan tanggung semua biaya rumah sakit."Mendengar itu, Hamdan langsung saja melayangkan pukulannya ke wajah Risfan membuat lelaki tersebut tersungkur.****"Astagfirullah, Abah." Salwa memegangi tangan Hamdan yang hendak maju untuk kembali memukul lelaki yang
"Yang kuat ya, Mbak. Ikhlaskan! Insyaallah Allah punya rencana yang terindah untuk mbak Najma."Dokter Arini berusaha menguatkan Najma yang sedari tadi hanya diam dengan pandangan kosong, tapi air matanya tak berhenti mengalir. Bahkan saat dilakukan kuretasi, Najma mengikuti semua instruksi dengan hanya diam tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya.Wanita yang panda menyembunyikan lukanya dibalik senyuman yang selalu ia umbar, wanita yang terlihat tak pernah sedih, wanita yang begitu pandai untuk terlihat selalu baik-baik saja, kini tak lagi bisa menyembunyikan lukanya. Senyumnya kini telah sirna terhapus air mata yang tiada hentinya mengalir. Tatapannya kosong. Luka yang selama ini disembunyikannya rapat-rapat, kini telah muncul ke permukaan terlihat dari kedua matanya yang begitu tergambar jelas bahwa wanita pemilik manik hitam legam itu begitu terluka. Luka yang selama ini menumpuk dan terbungkus rapi, kini keluar sudah semuanya.Najma menolehkan kepalanya kepada dokter Arini ya
"Abi akan membawa pulang Najma."Suara Abi memecah keheningan yang terjadi di sore itu. Abi dan Hamdan yang sedang duduk di gazebo samping rumah, ditemani oleh dua gelas kopi hitam serta goreng pisang yang menemani sore mereka, yang tak di hiasi indahnya senja karena gerimis yang sedang menyapa bumi. Sedangkan Najma berada di kamar bersama sang umi.Hamdan menautkan kedua alisnya menatap lekat kepada sang mertua dengan jantung yang berdentam keras."Biarkan Abi dan Umi membawanya pulang dulu. Dia masih sangat terpukul atas insiden itu, mungkin Najma akan cepat melupakan kesedihannya jika ia banyak berbaur dengan santri," ujar Abi menjelaskan lebih detail maksud perkataannya yang yang pertama tadi. Beliau yang baru tiba di Jakarta tiga puluh menit yang lalu langsung mengatakan niatnya untuk membawa pulang sang putri untuk sementara waktu. Hal ini sudah ia diskusikan dengan sang istri sebelum berangkat ke kota tempat tinggal anak mantunya."Tapi, Abi, saya tak bisa meninggalkan Salwa ja
Najma tetap tak menjawab, dia hanya mengeratkan pelukannya pada sang suami. Berusaha mencari ketenangan atas hatinya yang tengah gelisah, atas hati yang belum sepenuhnya ikhlas berbagi cinta.Ia akan belajar lebih banyak lagi saat tiba di Malang. Ia akan mempelajari tentang poligami kepada kakak sepupunya, ia ingin memperdalam ilmunya dan ingin memperluas kesabaran serta keikhlasannya. Najma ingin benar-benar ikhlas berbagi suami, benar-benar ikhlas menerima adik madunya, dan juga benar-benar ikhlas menerima takdir yang Allah gariskan untuk rumah tangganya.Ia berjanji, tak akan pernah menyerah dalam rumah tangganya sekalipun ketidak adilan yang ia dapatkan. Ia akan berusaha untuk terus bertahan hingga maut yang memisahkan mereka.Najma tak hanya berharap jika dirinya yang di berikan keikhlasan, tapi juga sang madu yang ia harapkan untuk ikhlas saling berbagi suami, ia juga berharap semoga sang suami bisa bersikap adil kepada dirinya dan adik madunya